Sedikit-sedikit Angkat Duta, Jalan Ninja Kapolri Poles Citra Anti-Kritik
Percuma saja menjadikan band Sukatani sebagai duta, selama kepolisian tak memperbaiki tabiat anti-kritiknya.

Band Sukatani masih jadi buah bibir sampai hari ini. Setelah lagu “Bayar, Bayar, Bayar“ berisi kritik atas pungutan liar di institusi kepolisian viral, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo merespons dengan wacana menjadikan duo tersebut sebagai duta Polri atau juri di bidang seni.
Dikutip dari Kompas, rencana ini terlontar usai Sukatani mengunggah permohonan maaf, yang diduga dilakukan atas permintaan Polda Jawa Tengah di Instagram resmi mereka, @sukatani.band.
“Nanti kalau band Sukatani berkenan, akan kami jadikan juri atau duta Polri untuk terus membangun kritik demi koreksi dan perbaikan terhadap institusi. Ini juga sebagai konsep evaluasi berkelanjutan terhadap perilaku oknum Polri yang masih menyimpang,” ujar Sigit kepada media tersebut.
Namun, warganet ramai mendesak Sukatani untuk menolak tawaran ini mentah-mentah. Sebab, beberapa kalangan menganggap wacana mengangkat duta Sukatani sekadar pemanis kepolisian sekaligus cara meredam kritik.
Baca juga : Fakta Penting Indonesia Gelap


Penolakan terhadap rencana Listyo untuk menjadikan Sukatani sebagai duta Polri juga disorot Institute for Security and Strategic Studies (ISESS). Pendiri ISESS Khairul Fahmi, menilai langkah tersebut tidak tepat dan justru semakin merusak kredibilitas kepolisian di mata publik.
“Keputusan ini tidak tepat sasaran. Alih-alih menyelesaikan masalah mendasar di tubuh Polri—seperti integritas, profesionalisme, dan reformasi struktural—langkah ini malah memberi kesan bahwa Polri lebih mementingkan citra ketimbang substansi,” ujarnya kepada Magdalene.
Fahmi menambahkan, jika tujuan Polri benar-benar mau membangun hubungan yang lebih baik dengan masyarakat, ada sejumlah hal yang seharusnya difokuskan. Misalnya, peningkatan akuntabilitas dalam penegakan hukum, perbaikan mekanisme pengawasan internal, dan reformasi sistem yang masih centang perenang. Ia bahkan menyebut keputusan Kapolri ini sebagai distraksi dari berbagai persoalan serius yang tengah dihadapi Polri.
Baca juga : Pemecatan Vokalis Sukatani Band sebagai Guru SD
Institusi Kepolisian Belum Ideal
Di tengah kemarahan publik terhadap kepolisian, politisi Gerindra Habiburokhman justru mengunggah testimoni berjudul #UntungAdaPolisi. Dalam video yang dikutip Metro TV, ia memuji berbagai pencapaian Polri yang diklaim berdampak positif bagi rakyat.
Namun, pujian tersebut bukan berarti institusi ini sudah berada dalam kondisi ideal. Khairul Fahmi menilai ada aspek kinerja Polri yang memang patut diapresiasi, seperti digitalisasi layanan dan keberhasilan menangani kasus-kasus tertentu.
“Tapi jika pujian hanya diberikan tanpa kritik yang konstruktif, ini justru bisa jadi bumerang. Polri bisa terjebak dalam euforia pencitraan tanpa perbaikan substantif. Evaluasi kritis tetap harus dilakukan agar Polri berkembang lebih baik,” ujar Fahmi kepada Magdalene.
Senada dengan Fahmi, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menegaskan Polri masih punya banyak pekerjaan rumah. Ketua YLBHI Muhammad Isnur menyoroti dua masalah utama yang selama ini membelit institusi kepolisian: Budaya pungli dan sikap arogan dalam penegakan hukum.
“Pungli dan korupsi masih jadi masalah utama. Faktanya, masyarakat sering dipaksa membayar ini-itu: Kena tilang harus bayar, ditangkap harus bayar. Budaya ini harus dibersihkan secara masif dengan kebijakan yang tegas. Tidak boleh ada praktik pemerasan, permintaan uang, atau pungutan liar dalam penanganan perkara,” ujar Isnur kepada Magdalene, (25/2).
Kasus pungli di Polri bahkan menimpa pensiunan jenderal sendiri. Taufiequrachman Ruki, mantan Inspektur Jenderal Polisi, mengaku mengalami pungli saat mengurus ujian pembuatan SIM di Batu Ceper, Jakarta Pusat.
Selain itu, YLBHI juga menyoroti sikap arogan aparat dalam menangani kritik. Isnur menilai Polri harus lebih profesional dan tidak mudah tersinggung ketika institusinya dikritik.
“Di Aceh, seorang mahasiswa diproses hukum hanya karena membentangkan spanduk bertuliskan ‘Polisi Pembunuh’ terkait tragedi Kanjuruhan. Polisi tidak boleh menyalahgunakan kewenangannya untuk membungkam kritik. Jika setiap kritik dianggap serangan, lalu diproses hukum, itu jelas abuse of power. Polisi harusnya lebih terbuka, bukan malah baper,” ucapnya.
Menurut Isnur, standar profesionalisme kepolisian harus diperjelas. Polisi tidak boleh bertindak represif hanya karena merasa diserang secara kelembagaan. Jika aparat terus menggunakan hukum sebagai tameng guna membungkam kritik, maka kredibilitas institusi ini justru bakal semakin tergerus.
Baca juga : Seperti Hubungan Toxic, Nasib WNI Di-Gaslight Pemerintah Sendiri
Buang Gimik, Fokus pada Reformasi Lembaga
Isnur mengungkapkan, langkah Kapolri menjadikan Sukatani duta adalah gimik yang sama sekali tak menjawab persoalan sesungguhnya.
“Praktik-praktik seperti ini hanya gimik kelembagaan. Ini bukan solusi nyata, melainkan langkah reaktif yang tidak menyentuh akar masalah,” ujarnya kepada Magdalene.
Masalah utama yang harus dituntaskan bukan sesederhana bagaimana kepolisian dipersepsikan oleh publik. Namun, bagaimana Polri bisa jadi lebih transparan, akuntabel, dan diawasi ketat agar tidak jadi alat gebuk rakyat. Lebih lanjut, reformasi kepolisian yang dibutuhkan lebih dari sekadar mengangkat figur publik yang sedang populer sebagai simbol. Intinya adalah perubahan struktural yang nyata, bukan langkah kosmetik guna memoles citra.
Isnur kepada Magdalene menjelaskan, perubahan struktural itu bisa dimulai dengan berefleksi dan memperbaiki satu per satu sistem yang bermasalah.
“Jika memang ada praktik pungli atau penyalahgunaan wewenang yang diangkat dalam lagu Sukatani misalnya, maka respons yang lebih tepat adalah memperbaiki sistem, menindak tegas oknum yang terbukti bersalah, dan memastikan bahwa mekanisme pengawasan internal benar-benar berjalan secara efektif,” tuturnya.
Sementara pengawasan eksternal perlu diperkuat dengan memastikan keberadaan lembaga independen yang berwenang penuh untuk investigasi dan evaluasi. Lebih lanjut, partisipasi organisasi masyarakat sipil pun dibutuhkan dalam hal ini, menurut Mohd. Yusud DM dalam artikel bertajuk “Analisis terhadap Pembatasan dan Pengawasan Kewenangan Kepolisian di Indonesia” (2024), terbit di Milthree Law Journal. Mereka bisa melakukan advokasi, pemantauan, pelaporan, mengungkap penyalahgunaan wewenang, serta akuntabilitas kepolisian.
