December 14, 2025
Environment Issues Opini

Banjir Sumatera dan Refleksi Saya Sebagai Perempuan Batak 

Buat saya, banjir di Sumatera tak pernah berdiri sendiri. Ia terkait langsung dengan hilangnya hutan, perampasan tanah adat, dan kebijakan negara yang berulang kali menormalisasi kerusakan ekologis.

  • December 14, 2025
  • 4 min read
  • 1024 Views
Banjir Sumatera dan Refleksi Saya Sebagai Perempuan Batak 

O tano Batak 
Sai naeng hu tatap 
Dapotnohonku tano ha godangan hi 
O tano Batak andingan sahat 
Au on naeng mian di ho 
Sambuloki 

“O tano Batak” adalah ungkapan rindu terhadap kampung halaman. Lagu ini bukan sekadar kidung nostalgia, melainkan penanda ikatan emosional antara orang Batak dan tanah, hutan, sera tair tempat mereka berasal. 

Di depan Kantor Gubernur Sumatera Utara di Jalan Diponegoro, Medan, lagu tersebut kembali dinyanyikan. Ribuan masyarakat adat, mahasiswa, dan pemimpin gereja berkumpul, diiringi gondang yang dimainkan Sorbatua Sialagana. Mereka menuntut penutupan PT Toba Pulp Lestari (TPL), perusahaan raksasa industri bubur kertas dan tisu yang selama puluhan tahun beroperasi di wilayah Tano Batak. 

Kali ini, O tano Batak bukan sekadar nyanyian rindu pulang, tetapi ratapan atas kampung halaman yang keasriannya direnggut. Hutan yang dulu menjadi sumber hidup kini berubah menjadi perkebunan monokultur pohon industri. 

Sekitar empat puluh tahun lalu, PT Toba Pulp Lestari menguasai hampir 300.000 hektare lahan di Sumatera Utara. Lebih dari 30.000 hektare tanah adat milik 23 komunitas di 12 kabupaten dipaksa takluk. Hutan-hutan itu kini bertransformasi menjadi kebun kayu untuk kepentingan industri kertas. 

Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) wilayah Tano Batak, TPL telah merambah setidaknya 25.000 hektare hutan adat dan hutan masyarakat. Dampak ekologisnya dirasakan langsung, dari banjir bandang, tanah longsor, dan hilangnya ruang hidup. 

Kerusakan itu bukan hanya ekologis. Banyak masyarakat adat mengalami kriminalisasi, intimidasi, bahkan penculikan saat mempertahankan tanah mereka. 

Ironisnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membutuhkan waktu lama untuk menyegel TPL. Lebih ironis lagi, pada Agustus 2025—di tahun yang sama dengan penyegelan—pemerintah justru menganugerahkan Penghargaan Prima Wana Karya (PWK) 2025 kepada perusahaan tersebut. 

Kerinduan akan keasrian kampung halaman itu kini tersapu banjir yang melanda wilayah utara dan barat Sumatera. 

Baca juga: Tak Lagi Terlihat Pasca-Banjir, Orangutan Tapanuli Di Ambang Punah

Banjir Sumatera dan Kenapa Pemerintah Perlu Dikritik 

Di negara yang religius dan konservatif, bencana kerap dibingkai sebagai murka Tuhan. Akibatnya, kritik terhadap kebijakan negara sering digantikan dengan sikap pasrah. Kita diajak menerima banjir sebagai “cobaan”, bukan sebagai konsekuensi dari keputusan politik. 

Sebagai perempuan Batak, saya tumbuh dengan narasi serupa. Jangan melawan, mengeluh, apalagi menyalahkan penguasa. Padahal banjir kali ini bukan hasil dosa rakyat kecil yang membuang sampah sembarangan, melainkan buah dari kebijakan yang meminggirkan hutan dan masyarakat adat. 

Di media sosial, pembelaan terhadap pemerintah mudah ditemukan. Mulai dari, “jangan salahkan pemerintah terus”, hingga, “pemerintah sudah bantu kok”. Bahkan ada yang menyindir, “kalau dibantu marah, kalau enggak dibantu juga marah”. 

Narasi ini mengaburkan persoalan utama. Bantuan darurat penting, tetapi tidak menjawab akar masalah. Bahkan sebelum negara bergerak, seorang influencer bernama Ferry Irwandi berhasil menggalang donasi hingga Rp10,3 miliar. Fakta ini menunjukkan solidaritas warga, sekaligus mengungkap lemahnya respons struktural negara. 

Akar persoalan banjir di Sumatera berkaitan erat dengan deforestasi. Presiden Prabowo Subianto sendiri pernah menyatakan, “Enggak usah takut apa itu katanya membahayakan, deforestation, namanya kelapa sawit ya pohon, ya kan?” 

Pernyataan ini problematis. Kelapa sawit memang pohon, tetapi tidak memiliki fungsi ekologis seperti hutan alam. Hutan menyerap air hujan, menstabilkan tanah dengan akar yang dalam, dan mengurangi limpasan air. Sebaliknya, perkebunan sawit monokultur meningkatkan limpasan permukaan hingga 30–50 persen, memperbesar risiko banjir bandang dan longsor. 

Data menunjukkan Indonesia menjadi salah satu negara dengan kehilangan hutan tertinggi di dunia. Pada 2024, lebih dari 240.000 hektare hutan primer hilang akibat pertambangan, perkebunan, dan kebakaran. 

Hutan tropis Indonesia menyimpan 300–500 ton karbon per hektare dan mampu mengurangi banjir hingga 40–60 persen di daerah aliran sungai. Sementara itu, kebun sawit hanya menyimpan sekitar 50–100 ton karbon per hektare. Alih fungsi hutan menjadi sawit melepaskan 200–300 ton emisi karbon dioksida per hektare—setara emisi 1.000 mobil per tahun. 

Sebagai perempuan Batak, saya tidak melihat hutan hanya sebagai sumber daya. Hutan adalah rumah, ruang spiritual, dan bagian dari identitas. Ketika hutan dirusak, yang hilang bukan hanya pohon, tetapi relasi hidup antara manusia, tanah, dan makhluk lain seperti orangutan dan harimau Sumatera. 

Baca juga: Ada Apa dengan Obsesi Berlebihan Prabowo pada Sawit?

Banjir yang melanda Sumatera hari ini tidak lahir dari kesalahan rakyat kecil. Ia lahir dari komersialisasi hutan, dari kebijakan yang mengutamakan bisnis ekstraktif, dan dari negara yang memberi penghargaan kepada perusak ekosistem. 

Jika bukan pemerintah yang perlu dimintai tanggung jawab, lalu siapa? Rakyat kecil yang kehilangan rumah, atau masyarakat adat yang tanahnya dirampas? 

Sebagai perempuan Batak, saya menolak diam. Karena banjir ini bukan takdir tapi akibat yang sengaja diabaikan penguasa. 

About Author

Ruth Maria Artauli Purba