Belajar dari Kiai dan Nyai Soal Kepemimpinan dan Ulama yang Bermasyarakat
Tidak seperti 'ulama seleb', kepemimpinan pesantren tradisional di Jawa Timur berbasis gender dan dekat dengan masyarakat.
Saya masih berkabung atas meninggalnya Kiai Faqih Ghufron Ali Imrony, pemimpin Pondok Pesantren Tanjung Rejo-Mangaran, Situbondo, Jawa Timur, tempat saya menimba ilmu selama beberapa tahun. Saya kemudian memutuskan untuk menuliskan kenangan terhadap beliau dalam sebuah renungan yang, saya pikir, akan dapat menjadi obat hati, sekaligus pelajaran yang berguna bagi pemikiran Islam kontemporer di Indonesia saat ini.
Kiai Faqih adalah satu di antara banyak kiai dan nyai (perempuan pemimpin pesantren) Nusantara yang, bagi saya, mewakili kehidupan dan jiwa pesantren tradisional. Kiai dan nyai seperti ini umumnya memiliki pesantren yang lahir jauh sebelum, atau segera sesudah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 1945. Dengan demikian, keberadaan pesantren-pesantren ini dan para pemimpinnya juga tidak dapat dilepaskan dari perjuangan kemerdekaan negara ini dan visi persatuan Nusantara. PP Tanjung Rejo sendiri secara resmi didirikan pada tahun 1960 oleh Kiai Ghufron Ali Imrony dan istrinya, Nyai Siti Robi’ah.
Terdapat beberapa karakteristik penting lainnya dari kehidupan para pemimpin pesantren tradisional di Indonesia. Namun dalam catatan kecil ini saya memberikan fokus terhadap dua aspek penting, yakni pembagian kepemimpinan dengan basis gender, dan hubungan pemimpin pesantren dengan masyarakat. Kedua aspek ini kemudian akan saya benturkan dengan dimensi-dimensi kehidupan banyak “ulama” selebritas (baik yang memiliki pesantren maupun tidak) yang menghiasi keislaman Indonesia akhir-akhir ini. Tentunya, penting untuk diketahui bahwa renungan ini dilandaskan kepada kehidupan pribadi saya yang sepenuhnya terbentuk di lingkungan pesantren di Jawa Timur.
Dalam konteks aspek pertama, yakni kepemimpinan pesantren dan gender, terlepas dari fakta bahwa pimpinan pesantren tradisional hampir selalu laki-laki, para kiai ini umumnya beristrikan seorang nyai yang berkepribadian kuat dan intelektual. Dalam pola kepemimpinan, sebuah pesantren yang menerima santri laki-laki dan perempuan akan membagi kepemimpinan asrama dan pengajaran menjadi dua. Kiai bertanggung jawab atas asrama dan pengajaran laki-laki (walaupun dia juga merupakan pemimpin umum pesantren) sementara nyai akan memimpin asrama dan bentuk pengajaran dan kegiatan asrama perempuan. Inilah mengapa, ketika seorang kiai meninggal, tidak jarang tampuk kepemimpinan pesantren secara penuh jatuh kepada nyai. Salah satu contoh kepemimpinan nyai yang sukses dapat dilihat di Wilayah Al-Hasyimiyah di PP Nurul Jadid, Paiton-Probolinggo, yaitu Nyai Masruroh Hasyim yang terkenal sebagai pemimpin yang alim sekaligus strategis dalam mengembangkan pesantren yang dipimpinnya.
Di Tanjung Rejo, istri Kiai Faqih, Nyai Lilik, yang berperan besar dalam pembentukan moral-spiritual dan keagamaan saya dan santri perempuan lainnya. Seorang penghafal Alquran yang brilian, Nyai Lilik menanamkan nilai kecintaan pada kitab tersebut dan pemahaman pada maknanya melalui pengajian usai Subuh yang ia pimpin hampir setiap hari. Dalam pengajian yang berdurasi sekitar dua jam tersebut, santri di bawah bimbingannya mempreteli Alquran secara komprehensif sehingga hanya beberapa ayat saja yang mampu dituntaskan untuk dipahami setiap kali. Saya, dengan kebiasaan tidur larut malam, menjadi santri yang langganan mendapatkan benturan halus kerikil kecil di kaki dari Nyai dalam pengajian itu setiap kali saya tersuruk karena kantuk. Pendek kata, Kiai Faqih secara resmi menjadikan saya santri, namun Nyai Lilik-lah yang menginternalisasi jiwa kesantrian saya.
Hal ini bertolak belakang dengan gambaran para istri “ulama” selebritas saat ini yang umumnya terkungkung dalam imajinasi domestik. Romantisasi norma-norma pernikahan patriarkal dalam kehidupan ulama selebritas membuat gambaran istri-istri mereka hanya berkutat dalam wilayah reproduksi dan fetisisme aurat. Berita-berita tentang mereka menempatkan istri-istri tersebut sebagai perpanjangan dari kedirian suami-suami mereka dengan bumbu kualitas “sabar” dan “ikhlas”. Tidak ada pembagian kepemimpinan dalam imaji “keluarga samara” yang mereka tampilkan. Yang ada hanyalah kepasrahan yang diagung-agungkan.
Dekat dengan masyarakat
Aspek kedua dari kehidupan pimpinan pesantren tradisional yang penting untuk dicermati adalah aspek hidup kemasyarakatan. Para kiai dan nyai dari pesantren tradisional tidak memahami kehidupan keagamaan sebagai hal yang terpisah dari kehidupan kemasyarakatan. Bagi mereka, Islam adalah hal yang harus ditemui dan dipraktikkan dalam etika hidup sehari-hari. Banyak kiai dan nyai yang juga memiliki pekerjaan resmi sebagai politikus, hakim agama, pejabat Kantor Urusan Agama, dosen universitas, dan lain-lain. Di samping itu, mereka juga terlibat secara langsung dalam meringankan beban hidup masyarakat sekitar.
Hal ini berakar dari pembentukan kesadaran sosio-politik yang sangat kuat di dalam lembaga pesantren tradisional. Ada idiom umum yang tersebar luas di kalangan pesantren tradisional bahwa kehidupan sebagai santri adalah potret mini kehidupan kemasyarakatan yang akan dihadapi oleh santri ketika mereka lulus. Idiom ini benar adanya dalam dua pengertian. Pertama, secara faktual, seorang santri hidup bersama ratusan bahkan ribuan santri lainnya selama mereka berada di pesantren. Kegiatan sehari-hari mulai dari mencuci pakaian sampai menentukan posisi tidur harus dilakukan dengan negosiasi dan kompromi dengan santri lainnya. Jiwa santri terbentuk untuk saling mengakomodasi kebutuhan sesama sehingga tujuan bersama dapat tercapai. Kedua, secara kelembagaan, pesantren tidak hanya mengajarkan keilmuan klasik Islam kepada santri, melainkan juga mengasah bakat yang membantu mereka untuk menemukan tempat mereka di masyarakat kelak.
Di Tanjung Rejo, saya dikenal sebagai “tukang pidato”. Dalam kegiatan ekstrakurikuler muhadlaroh (latihan pidato), saya mengasah penguasaan podium yang kemudian berkembang menjadi bakat debat parlemen di tingkat universitas. Santri lain ada yang jago membaca salawat, menjadi MC, memasak, dan sebagainya. Yang terpenting, pesantren melatih kami untuk melayani kebutuhan masyarakat dengan pelatihan kifayah (upacara jenazah), pelatihan pertanian, dan lain-lain. Sebagian besar nyai dan kiai juga akan membawa beberapa santri bersama mereka ketika masyarakat membutuhkan para pemimpin pesantren tersebut untuk membaca doa sampai rekonsiliasi konflik. Hal ini dilakukan untuk memberikan contoh bagi para santri dalam menjalankan peran mereka di masyarakat.
Maka, tak heran jika salah satu kegiatan terakhir Kiai Faqih adalah menemui masyarakat di sebuah desa di Situbondo untuk mendengarkan keluh-kesah keseharian mereka. Bagi pemimpin pesantren tradisional seperti beliau, kepemimpinan agama tidak terbatas pada perdebatan doktrin dan dogma, melainkan juga kewajiban untuk mendekap erat permasalahan masyarakat. Saya masih ingat bagaimana Kiai Faqih sering berlayar menuju Pulau Sapudi, sebuah pulau kecil di gugusan kepulauan di arah timur Madura, hanya untuk menemui masyarakat di sana ataupun sekadar menghadiri undangan pesta pernikahan dari anggota masyarakat yang mengaguminya. Dan percayalah, berlayar dari Situbondo menuju Sapudi di akhir dekade 1990an bukanlah perjalanan yang pendek, mudah, dan menyenangkan.
Hal serupa juga dilakukan oleh para nyai yang terus-menerus mengabdikan diri kepada masyarakat dengan memimpin pengajian, menjadi tempat berkeluh-kesah masyarakat (khususnya para ibu), dan meredakan konflik.
Akar lokalitas yang kuat inilah yang juga menjadi faktor di balik tidak terkenalnya banyak pemimpin pesantren tradisional di media-media nasional. Popularitas adalah hal yang tidak tercetus dalam pemikiran figur seperti Kiai Faqih. Jika mereka memiliki banyak pengikut, hal itu lebih disebabkan oleh kemampuan mereka dalam menyentuh kehidupan masyarakat, daripada oleh ketenaran nama mereka di media massa.
Lagi-lagi, hal ini berlawanan dengan ulama selebritas yang dalam kariernya mengombinasikan penafsiran doktrin agama yang kaku dengan pemberitaan kontroversial dan dukungan membabi-buta terhadap politikus nasional.
Perbedaan signifikansi popularitas bagi kedua golongan ulama tersebut berimplikasi kepada sifat pemahaman doktrin agama mereka. Efek dramatis dan kontroversial yang penting bagi pelestarian popularitas seseorang, membuat ulama selebritas sering kali membuat klaim-klaim absolut dengan gaya penyampaian yang berapi-api dan penuh kekerasan. Sementara kebutuhan masyarakat lokal dalam menjalani hidup yang menjadi landasan utama bagi pemikiran pemimpin pesantren tradisional, dan rendahnya kebutuhan diri untuk menjadi terkenal, membuat mereka fokus terhadap penyelarasan nilai-nilai agama dengan permasalahan kemanusiaan.
Akhir kata, keislaman Indonesia tidak bisa dilepaskan dari wajah pendidikan pesantren tradisional yang humanis tanpa mengesampingkan keagungan tradisi keilmuan klasik Islam. Dari perspektif gender, konteks pesantren tradisional menghadirkan konsepsi kedirian yang tidak terikat dalam perdebatan konseptual antara perspektif individual dan perspektif komunal. Penting bagi feminisme muslim Indonesia untuk mengelaborasi konsepsi kedirian pesantren ini secara lebih lanjut. Dan yang terakhir, formasi pendidikan dan keilmuan, serta konteks kesejarahan pimpinan pesantren tradisional, seperti Kiai Faqih, patut kita renungkan sebagai antidot bagi masalah radikalisme pemikiran Islam kontemporer di Indonesia yang berakar dari budaya konsumerisme agama secara instan.
Sebagian besar media harus menjalankan fungsinya secara efektif dengan menghapuskan ketagihan mereka akan “ulama” dramatis nan kontroversial, dan memberikan ruang siar secara signifikan bagi para pemimpin pesantren tradisional yang humanis.
Lailatul Fitriyah adalah mahasiswi doktoral Program Studi Agama-agama Dunia dan Gereja Global di University of Notre Dame, AS.