Pembekuan BEM FISIP Unair: Benarkah Orba ‘Season’ 2 Kembali?
Pembungkaman para intelektual muda di kampus, mengingatkan kita pada NKK/ BKK era Orde Baru. Adakah yang bisa kita lakukan sekarang?
Soekarno pernah bilang, sepuluh pemuda sudah cukup untuk mengguncang dunia. Kalimat ikonik ini mengandung pesan bahwa anak muda berperan penting menggerakkan perubahan. Sejarah Indonesia pun membuktikan, anak muda bisa mendorong pemerintah menciptakan atau membatalkan kebijakan. Bahkan kita tentu ingat peran mereka dalam meruntuhkan rezim otoriter pada 1998.
Besarnya pengaruh anak muda inilah yang membuat negara sering ketakutan. Berbagai pembatasan dicanangkan agar anak muda tiarap dan tak lagi vokal. Yang paling anyar, BEM FISIP Universitas Airlangga (Unair) dibekukan usai memberi kritik yang dicap “enggak sopan” terhadap pemerintah. Menyadur Tempo, pembekuan ini terjadi pada (25/10) setelah Ketua Komisi Etik Fakultas memanggil BEM FISIP Unair untuk klarifikasi. Namun, meski pembekuan ini sudah ditarik pada (28/10) lalu, BEM FISIP Unair tetap dibanjiri komentar hingga pesan teror lewat media sosial mereka.
Kejadian serupa juga pernah terjadi di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) (6/2). Meskipun enggak berujung pembekuan lembaga, melansir dari Gatra.com, kritik mahasiswa dalam sebuah diskusi digagalkan pihak kampus. Rektorat tidak memberikan izin acara bertajuk “Seruan Konsolidasi: Mengundang Dosen, Mahasiswa, dan Seluruh Sivitas Akademika UNY. Sadarkan Rakyat dari Pesta Demokrasi yang Dinodai secara Terang-terangan” tersebut. Acara pun berujung batal. Bahkan, penyelenggara acara sempat ditekan akan diberi sanksi oleh beberapa tenaga pendidik.
Di Indonesia sendiri, anak muda punya peran penting dalam perjuangan bangsa Indonesia. Mulai dari organisasi Boedi Oetomo besutan Soetomo dan pelajar School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA), gerakan Sumpah Pemuda sebagai manifesto persatuan bangsa Indonesia, sampai gerakan “penculikan” Rengasdengklok yang berujung pada Proklamasi Kemerdekaan. Semua ini adalah hasil dari semangat, kritik, dan inisiasi orang muda. Namun, bagaimana jika semangat ini terus-menerus dibungkam seperti era Orba di masa lalu.
Baca juga: Visi Pemuda 2030: Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan
Pembungkaman Anak Muda di Kampus
Dalam sejarahnya, pembungkaman anak muda di kampus bukanlah hal baru. Di era Orba, tepatnya pada 1978, digulirkan Surat Keputusan Nomor 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Daoed Joesoef itu membuat kampus jadi kawasan “steril” dari aktivitas politik. Jika ada yang nekat, taruhannya di-DO, tulis Kompas.
Aktivitas politik yang dimaksud termasuk berorganisasi dan menyampaikan kritik. Saat itu memang budaya kritik terhadap rezim sedang kencang-kencangnya. Sejumlah organisasi mahasiswa seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) atau Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) tumbuh subur dengan kaderisasi yang terstruktur.
Para mahasiswa ini andil mengampanyekan “golongan putih” pada Pemilu 1971 sebagai protes ketidakpuasan atas Soeharto. Mahasiswa juga turun ke jalan memprotres pembangunan Taman Mini Indonesia Indah pada 1973. Pun, mereka memprotes dominasi modal asing di Indonesia pada 15 Januari 1974, atau familier dikenal dengan “Malapetaka 15 Januari” atau Malari, catat Kompas lagi.
Kebijakan NKK/ BKK sendiri dianggap bertentangan dengan perlindungan atas mimbar bebas—penyampaian pendapat di muka umum. Pembatasan yang mengencang di era Orba ini nyatanya menunjukkan gejala kembal lagi di akhir rezim Jokowi. Beberapa contoh pembubaran diskusi, pembekuan organisasi kampus sebagai bukti. Enggak heran jika sejumlah pihak menyuarakan ketakutannya akan karakter rezim Orbais yang kembali di pemerintahan baru.
Padahal, alih-alih membatasi aksesnya, kampus bisa memastikan agar mahasiswa dapat terus menyuarakan kritik, ungkap Muhammad Isnur, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau (YLBHI). Kepada Magdalene ia menuturkan, mengkritik pemerintah adalah hak dan kebebasan mahasiswa.
“Iya, ada namanya di konstitusi itu kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat, sampai kebebasan menyampaikan pikiran. Itu semua bagian dari kebebasan yang diminta dari konstitusi. Apalagi di kampus, ada Undang-undang Pendidikan Tinggi yang menjamin kebebasan akademik. Jadi itu bagian dari kebebasan mahasiswa untuk menyampaikan kritik,” jelas Isnur.
Kritik mahasiswa terhadap rezim dinilai penting sebagai check and balance alias alat kontrol. Haudi Irsyad, Koordinator Bidang Sosial dan Politik BEM FISIP Universitas Indonesia bilang, perlindungan kampus terhadap budaya kritik yang substansial dan tepat sasaran penting di negara demokratis.
Terlebih di tengah situasi sekarang, di mana oposisi tak punya taring dalam rezim baru, budaya kritik mahasiswa harus terus dirawat. Tujuannya untuk mencegah satu lembaga atau individu menjalankan kendali penuh atas pemerintahan.
“Kalau menurut aku sepenting itu. Apalagi kalau kita lihat sekarang buat check and balance-nya di pemerintahan itu kan udah enggak ada. Secara struktural, secara birokratis, udah enggak ada oposisi. Apalagi dengan narasi politik gotong royong yang disebut-sebut Prabowo, jadi seakan-akan enggak ada ruang untuk kita punya pandangan lain selain kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Menurut aku sekarang di sini perannya mahasiswa semakin urgent, untuk menjadi check and balance,” ujarnya.
Baca juga: ‘Laki-laki Baru’ dari Timor: Peran Pemuda Mengubah Budaya Patriarki
Jangan Berhenti Bersuara
Ke depan, Muhammad Isnur sendiri berharap mahasiswa dan orang muda tidak berhenti menyuarakan kritik terhadap pemerintah. Sebab, mengkritik pemerintah tak menyalahi Konstitusi. Di Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia pun, aturan terkait penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden hanya bisa dilaporkan oleh Presiden itu sendiri. Bukan oleh pihak lain, apalagi pihak kampus.
“Di KUHPn, penghinaan yang kasar di luar personal, itu yang hanya bisa melaporkan, yang bisa memproses, ya hanya Presidennya langsung. Tidak ada pihak lain yang bisa mewakili Presiden untuk melaporkan bahwa ‘Anda telah menghina Presiden gitu,’” jelas Isnur.
Tak cuma dijamin dalam UU KUHP, kebebasan berpendapat, termasuk kritik juga termaktub dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28E ayat (3). Dalam klausul tersebut disebutkan, setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Selain itu, Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, juga menjamin hak ini. Sebagai hasil adopsi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), Indonesia dipastikan menjamin kebebasan berpendapat sebagai hak dasar bagi setiap warga negara.
Baca juga: Jangan Saling Tuding, Gen Z dan Boomers Sama-sama Menderita karena Krisis Iklim
Aditya Gumay Ferdiyan Rahman, dari Divisi Kampanye, Jaringan, dan Dukungan Publik Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) berkomentar soal ini. Dengan saling terhubung, orang muda bisa sama-sama berangkat dari keresahan pribadi untuk menyatukan suara.
“Kita bisa berangkat secara sederhana, supaya bisa gerak bareng teman-teman muda di luar sana. Bisa mulai dengan mengumpulkan suara, ‘Apa sih yang menjadi dampak dari situasi hari ini kepada diri kita gitu?’ Kita mengumpulkan keresahan, terus mencari teman yang merasakan hal serupa. Dari sini, kita bisa ekspresikan dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang mungkin bisa mengajak orang lebih luas lagi untuk terlibat. Dengan begitu kita akan bisa lebih berani,” pungkas Adit.