Issues Politics & Society

Bicara Golput: Pemilu 2019 Bukan Hanya Pilpres

Pemilu 2019 bukan hanya soal memilih presiden dan wakil presiden, tapi empat posisi legislatif yang harus dipastikan tidak diisi figur-figur dengan rekam jejak buruk.

Avatar
  • January 30, 2019
  • 4 min read
  • 391 Views
Bicara Golput: Pemilu 2019 Bukan Hanya Pilpres

Wacana golongan putih alias golput kian mengemuka menjelang Pemilihan Umum 2019 ini. Berbagai pihak menyuarakan keresahan terkait kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden, dan banyak dari mereka menolak untuk memilih “the lesser of two evils”.
 
Untuk mendiskusikan golput lebih mendalam, Magdalene mengundang Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Kamis lalu (24/1), untuk berbincang dalam sesi diskusi interaktif Magdalene di Twitter, #MadgeTalk.
 
Titi mengatakan bahwa kondisi polarisasi politik di Indonesia yang semakin parah.
 
“Regulasi pemilu menyebabkan polarisasi karena menciptakan pilihan yang terbatas dan itu-itu saja. Akibatnya, politik gagasan cuma jadi angan-angan. Ruang publik kita penuh dengan pertengkaran, kontroversi, sensasi, spekulasi dan politik konspirasi,” ujarnya.
 
Kondisi politik yang terpolarisasi telah membuat banyak kalangan kelelahan, kecewa, dan jenuh dengan diskusi menyangkut pemilu dan proses politik, sehingga muncullah kampanye golput.
 

Namun menurut Titi, istilah golput telah bergeser maknanya dibandingkan zaman Orde Baru. Pada awalnya, golput adalah bentuk protes politik terhadap rezim Orde Baru, atas ketidakpercayaan pada penyelenggaraan Pemilu 1971.

“Pada saat itu, protes politik diekspresikan dengan tetap datang ke TPS, namun tidak mencoblos pada tanda gambar partai melainkan di kolom putih sehingga suara mereka menjadi tidak sah dan tidak diikutkan dalam penghitungan,” kata Titi.

Ia menambahkan bahwa angka pemilih yang tak gunakan hak pilih terus naik dari tahun ke tahun. Menurut data Komisi Pemilihan Umum (KPU), terdapat 7,06 persen orang yang tidak menggunakan hak pilih di tahun 1999, yang naik menjadi 15,93 persen pada 2004, dan tertinggi hingga saat ini adalah tahun 2009 dengan angka 29,01 persen.

“Istilah golput sudah bergeser dari makna awalnya, yakni ekspresi perlawanan politik. Sekarang, kata ‘golput’ digeneralisasi sebagai sebutan bagi para pemilih yang tidak datang ke TPS pada hari pemungutan suara, apa pun alasannya,” jelas Titi.

Ia mencatat bahwa penyebab orang tidak pergi ke TPS sangat beragam dan tidak terbatas hanya karena alasan politik.

“Ada pula alasan teknis, seperti tidak sempat mengurus surat pindah memilih, sedang tugas di rumah sakit, sedang dinas di luar daerah, atau tempat-tempat lain yang operasinya tidak bisa dihentikan, termasuk bandara dan tambang,” tambahnya.

Titi mengatakan masalah kelalaian negara sehingga menyebabkan orang kehilangan hak pilih, misalnya belum punya Kartu Tanda Penduduk (KTP) sehingga tidak bisa didata untuk mencoblos di hari pemungutan suara.

“Masalah KTP sering muncul ketika pemilih sedang meninggali lahan sengketa, pemilih yang merupakan bagian dari kelompok masyarakat adat, pemilih penyandang disabilitas, kelompok miskin kota, dan kelompok marginal lainnya,” terang Titi.

Konsekuensi golput

Titi menyatakan bahwa gerakan golput adalah bagian dari dinamika demokrasi, dan tidak bisa dikatakan sebagai benalu demokrasi.

“Justru dengan adanya mereka, partai politik, para calon, serta penyelenggara pemilu harus reflektif dan berbenah diri untuk memperbaiki kondisi tersebut,” jelas Titi,

Ia menyatakan bahwa golput adalah penanda bahwa sistem politik harus dievaluasi dan dibangun secara inklusif, deliberatif, dan tidak transaksional.

“Penyelenggara pemilu harus bergerak dengan inovasi dan profesionalisme untuk menjamin semua warga terlayani hak pilihnya. Tidak boleh ada warga negara yang kehilangan hak pilih hanya karena alasan administratif, seperti selembar KTP elektronik. Hak konstitusional warga negara untuk memilih adalah keniscayaan yang harus difasilitasi tanpa terkecuali,” tegasnya.

Meski demikian, ujarnya, orang-orang harus menyadari dampak golput terhadap politik.

“Saat banyak yang memutuskan tidak mau menggunakan hak pilih, maka konsekuensinya adalah mereka harus puas dan menerima siapa pun figur yang memenangkan pemilu,” ujarnya.

“Misalnya dalam Pemilu Amerika Serikat 2016, ada 46,9 persen orang yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan presiden. Maka ketika hasilnya berupa kemenangan Donald Trump, semua harus menerimanya. Tidak mungkin pemilu diulang untuk memberikan kesempatan kedua pada mereka yang sebelumnya tidak datang ke TPS,” tambahnya.

Jika memang masih tidak setuju dengan pilihan yang ada, Titi menekankan pentingnya untuk tetap datang ke TPS agar surat suara tidak dijadikan alat untuk melakukan kecurangan.

Namun, ia mengingatkan bahwa Pemilu 2019 bukan hanya soal memilih presiden dan wakil presiden, tapi juga wakil-wakil rakyat di badan-badan legislatif.

“Ada empat posisi lain yang akan kita pilih: anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten atau Kota. Masih ada calon-calon dengan rekam jejak buruk dan kita harus pastikan mereka tidak terpilih! Apa iya kita akan biarkan mantan napi korupsi menjadi wakil kita di parlemen?” tegas Titi.

Titi mengatakan bahwa pemilih dapat mulai mencermati rekam jejak calon anggota legislatif atau caleg.

“Misalnya, saya menelusuri calon dengan tagar #pilihcalegperempuan. Saya akan mulai mengidentifikasi mana yang profilnya paling bisa meyakinkan saya, tidak pernah terlibat masalah hukum, dan bukan bagian dari dinasti korup,” jelasnya.

Titi menyarankan untuk memeriksa rekam jejak caleg melalui portal resmi KPU di infopemilu.kpu.go.id atau secara langsung mencari informasi tentang caleg di kanal-kanal media sosial mereka.

“Kami juga tegas menyatakan tidak akan mencoblos calon-calon yang tidak mempublikasikan riwayat hidup mereka,” tambahnya.

Survei menunjukkan 81 persen responden mengalami pelecehan seksual di tempat kerja.

 

 



#waveforequality


Avatar
About Author

Ayunda Nurvitasari