Setidaknya sampai (25/11) mendatang, warga Jogja bisa menyaksikan praktik kesenian paling bergengsi, Biennale Jogja ke-17. Tahun ini, Biennale Jogja mengusung tema Trans-Lokalitas & Trans-Historisitas. Tujuan tema tersebut tak lain adalah untuk memperluas jangkauan geografis, setelah putaran sebelumnya cuma berkutat pada wilayah bagian selatan dunia.
“Ini merupakan langkah awal untuk mulai melihat kembali budaya dan pertemuan ideologi antarsesama wilayah bekas jajahan yang terpinggirkan,” ucap penyelenggara dalam rilis resmi yang diterima Magdalene
Dalam praktiknya, penyelenggara merangkul warga di beberapa titik yang tersebar di pinggiran Yogyakarta. Mereka diajak bercakap-cakap tentang desa sebagai ruang dinamis yang terus berubah dan bergeser. Penyelenggara juga melihat bagaimana perhelatan seni dapat menjadi ruang mencari solusi bersama untuk merawat lingkungan dan perubahan iklim.
Titen, menjadi istilah yang dipilih untuk mewakili nuansa Biennale Jogja yang erat dengan praktik observasi. Titen: Embodied Knowledges-Shifting Grounds, menjadi frasa yang mengantarkan spirit pengetahuan lokal, yang dileburkan dalam nilai-nilai keseharian. Titen menjadi ruang untuk para seniman menggunakan kembali metode penggalian pengetahuan yang berangkat dari lingkungan yang dekat dengan keseharian.
Para kurator Adelina Luft (Rumania), Eka Putra Nggalu (Indonesia), Sheelasha Rajbhandari & Hit Man Gurung (Nepal) menyejajarkan beragam realitas yang terserak dari berbagai situasi dan lokalitas. Mereka lantas membawanya dalam perayaan bersama. Tak kurang sebanyak 69 seniman dari kawasan Asia Selatan, Eropa Timur, dan Indonesia yang bakal memeriahkan Biennale Jogja ini. Beberapa seniman menghadirkan karya dengan kontribusi warga, di antaranya Arum Dayu, Unhistoried, dan Monica Hapsari.
Pembukaan Biennale Jogja 17 sendiri berlangsung pada(6/10) lalu di Kampoeng Mataraman, Panggungharjo. Acara itu menghadirkan penampilan karya kolaborasi antara Monica Hapsari dan ibu-ibu Dusun Sawit, Desa Panggungharjo. Ada pula penampilan dari Wangak Maumere. Sementara pembukaan pada (8/10) di Sekar Mataram Bangunjiwo menghadirkan karya kolaborasi antara Arum Dayu dan ibu-ibu Dusun Ngentak, Desa Bangunjiwo.
Terdapat 13 titik lokasi yang menjadi venue Biennale Jogja 2023. Lokasi-lokasi tersebut terhimpun dalam 4 area utama: Taman Budaya Yogyakarta, Area Desa Panggungharjo, Area Desa Bangunjiwo, dan Area Madukismo. Di Panggungharjo, pameran dapat diakses di Kantor Kelurahan Panggungharjo, Kampoeng Mataraman, Gedung Olahraga Panggungharjo, The Ratan, Kawasan Budaya Karang Kitri. Sementara untuk Area Desa Bangunjiwo, pameran dapat diakses di Kantor Kelurahan Bangunjiwo, Lohjinawi, Sekar Mataram, Monumen Bibis, Joning Artspace, dan Rumah Tua.
Selain pameran utama, program publik juga akan dirangkai dalam berbagai bentuk, mulai dari pertunjukan, pemutaran film, diskusi, dan sebagainya. Beberapa acara yang termasuk dalam Public Program, misalnya Tangga Teparo, Pameran Seni Rupa Anak, Baku Pandang, Tur Kuratorial, Wicara Kurator, Bentang Silir, Pilin Takarir, dan Biennale Forum.