Esai Foto: Bissu Menuju Sunyi
Sosok Bissu atau pendeta transgender dalam kultur Bugis terancam punah karena berbagai faktor.
Pamatoa Neni menyambut kami di rumah panggung kayu barunya, yang dibangun oleh Camat Segeri sebagai ganti rumah kayu yang tidak lagi kokoh berdiri. Di rumah ini, terletak kecamatan yang berada di Kepulauan Pangkajene, Sulawesi Selatan, tersimpan arrajang, pusaka utama kelompok Bissu berupa bajak kayu yang digunakan untuk upacara menyambut musim tanam.
Pamatoa Neni
Sekelompok tukang kayu masih terlihat sibuk menuntaskan daun jendela serta undakan tangga yang belum terpasang. Rumah tersebut tampak kosong. Hanya ada sebuah televisi, sebuah kipas angin, pengeras suara, dan pemutar cakram DVD sebagai penanda zaman.
Di tiang utama rumah tergantung beberapa tandan pisang yang telah mengering, sisa upacara pengalihan pusaka ke rumah barunya pada November 2018. Pada bulan yang sama, Bissu Neni ditahbiskan menjadi Pamatoa atau pimpinan kelompok Bissu yang baru, setelah posisi tersebut cukup lama kosong setelah Pamatoa Saidi wafat.
Pamatoa Neni berdiri menghadap televisi yang menayangkan berita dari ibukota ketika kami mengucap salam. Perlahan ia memutar tubuhnya menghadap kami, menatap tajam dengan senyum segaris. Dengan anggun ia mempersilakan kami duduk bersimpuh di atas tebaran alas vinil bergambar tegel masa kolonial.
Sebatang rokok kretek dinyalakan, jarinya lentik dengan kuku-kuku panjang berbentuk oval dengan sisa hiasan cat pudar. Entah apa yang ada di dalam pikirannya ketika memandang orang asing dengan lagak kota ini, canggung dengan dunia yang sama sekali berbeda dengan kesehariannya.
Ia kemudian bertutur dengan lembut dalam bahasa Indonesia, bercampur bahasa Bugis dengan sampiran beberapa kosa kata Bugis kuno yang bahkan tak banyak dimengerti oleh warga setempat.
Pamatoa Neni dan dokumentasi upacara pengukuhan.
Perangkat upacara Bissu
Sisa upacara pengukuhan
Pisang dan hasil bumi lainnya menjadi syarat dalam tiap upacara yang dilakukan oleh pendeta Bissu. Setandan pisang yang telah mengering ini adalah sisa-sisa upacara pengukuhan Pamatoa
Rokok kretek, sisa keduniawian
Kelompok Bissu atau pendeta transgender adalah gender kelima dalam kultur Bugis pra-Islam, berdampingan dengan makkunrai (perempuan), oroani (laki-laki), calalai (perempuan berjiwa lelaki), dan calabai (lelaki berjiwa perempuan). Bissu secara sosial ditempatkan sebagai mediator antara manusia dan dewata, dan kehadirannya menjadi prasyarat dalam berbagai upacara menyambut tahapan kehidupan.
Kisah I La Galigo mencatat bagaimana Bissu mendapatkan tempat istimewa ketika menjadi satu-satunya kelompok yang mampu menumbangkan Pohon Welenreng dari alam dewata sebagai bahan kapal anak Batara Guru menuju ke Negeri Cina.
Mimpi seorang perempuan dengan kuda terbang sering kali hadir saat Pamatoa Neni muda. “Ayo naik, jangan takut. Aku akan pegangi. Aku tak akan meninggalkanmu”, ujar Pamatoa Neni mengutip perempuan di mimpinya.
Ketika ia beranjak akil balig, mimpi tersebut menampakkan wujudnya lewat jendela rumah. Seekor kuda terbang ditunggangi perempuan cantik dengan rambut hitam panjang terurai, bibir merah bergincu, menghampiri dari jendela dan menghibur dirinya yang tengah dilanda kegalauan. Sejak saat itu ia tahu, dirinya telah ditakdirkan menjadi Bissu. Dan dimulailah proses panjang menjadi pendeta dengan bimbingan Sanrok (dukun) Kodira, yang tidak hanya memberi pelajaran tata cara dan ilmu dalam dunia Bissu, tetapi juga memberi pelajaran praktis keduniawian seperti keahlian bekerja di salon guna menyambung hidup dengan adab.
Kain bersulam cerita I La Galigo peninggalan sang nenek
Rumah baru
Pengukuhan Pamatoa
Di masa lalu, posisi Pamatoa dikukuhkan oleh raja. Dengan punahnya kerajaan, saat ini Camat menjadi penggantinya. Pamatoa Neni berfoto dengan Camat Segeri pada saat pengukuhan
Kehidupan para Bissu berputar di tanah dan kesuburan. Cerita Bissu di Tanah Segeri dimulai ketika pusaka bajak kayu menghilang dari Kerajaan Bone. Dititahkanlah 40 orang Bissu untuk mencarinya hingga dapat. Pencarian yang sulit dan mematahkan hati tersebut akhirnya membuahkan hasil. Pusaka ditemukan di Gunung Lanteangoro, di daerah Segeri. Namun apa daya, warga setempat tidak bersedia menyerahkan pusaka tersebut pada Kerajaan Bone. Sejak saat itu, para Bissu bermukim di Segeri guna merawat pusaka. Angka 40 hingga ini menjadi prasyarat lengkapnya komunitas Bissu, yang terdiri dari Bissu dengan berbagai keahlian, termasuk satu orang Bissu perempuan dan dua orang Bissu lelaki.
Namun, saat ini jumlah Pendeta Bissu di kawasan Segeri sangat jauh dari angka tersebut. Tercatat hanya enam orang Bissu yang telah ditahbiskan melalui upacara arraba di Segeri. Jumlah Pendeta Bissu menurun drastis setelah diterpa masa pemberontakan Negara Islam Indonesia (disebut juga DII/TII) pada 1953 serta peristiwa Gerakan 30 September-Partai Komunis Indonesia (G30S-PKI) pada 1965. Saat itu mereka diburu dan dimusnahkan karena dianggap tidak membawa spirit ketuhanan. Seiring dengan hal tersebut, para calabai maupun calalai pun semakin terpinggirkan, dan dipaksa untuk menjadi bagian dari gender biner lelaki atau perempuan.
Pamatoa Neni di dapur barunya
Hidup Pendeta Bissu selalu berada di jalan sunyi. Seorang Bissu diharuskan meninggalkan keramaian duniawi, dan mendedikasikan dirinya bagi Tuhan dan sesama. Pamatoa adalah jabatan yang disandang oleh pendeta tinggi Bissu.
Diawali dari sebuah pohon
Legenda mengisahkan kaum Bissu menyandang kehormatannya dengan keberhasilan menumbangkan pohon nirwana guna membangun kapal bagi anak dari Batara Guru menuju Cina.
Padi dan kesuburan
Kehidupan para Bissu berputar di kitaran tanah dan kesuburan.
Tepung beras, bahan utama berbagai panganan di tradisi Bugis
Seorang pamatoa tidak boleh meninggalkan rumah adat, kecuali untuk kepentingan upacara. Oleh karena itu, pamatoa menggantungkan kebutuhan hidupnya dari pemberian warga.
Meningkatnya sentimen anti-LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender) di negara ini akibat menguatnya konservatisme agama membuat kelompok Bissu juga ikut menjadi sasaran. Akhir 2018, sebuah acara olahraga dan seni untuk waria, termasuk Bissu, di Soppeng, Sulawesi Selatan, dibubarkan secara paksa oleh polisi.
“Tak ingin saya mengubah diri menjadi laki-laki maupun perempuan. Menjadi calabai adalah suratan nasib saya”, ujar Bissu Eka.
Identitas calabai telah disadari oleh Bissu Eka sejak muda. Karena pilihannya, Bissu Eka harus hidup mandiri sejak SMP dengan bekerja sambil bersekolah. Meski tergolong berprestasi, cita-citanya untuk dapat meneruskan pendidikan ke sekolah perawat kandas karena alasan biaya. Patah hati, ia pun meninggalkan Segeri menuju Balikpapan, dan mencari kehidupan di sana. Pada akhir periode 1990, ia kembali ke Segeri dan kemudian menyampaikan keinginannya menjadi Bissu. Ia ditahbiskan pada 2002 melalui upacara irebba. Pada saat itu, Puang Matowa sudah memperingatkan, “mungkin kamu akan menjadi Bissu terakhir di Segeri”.
Bissu Eka di salon binaannya
Foto Bissu Eka tergantung di kedai setempat.
Bissu Eka adalah pribadi yang pandai bergaul dan memiliki kawan dari berbagai kalangan.
Bissu Eka dan teman-teman semasa SMP
Toboto atau teman hidup Bissu Eka.
Mereka telah bersama sejak tahun 2002.
Dan itulah yang terjadi. Sebagai generasi kelima Bissu, ia tidak melihat antusiasme dari generasi muda calabai untuk meniti jalan menjadi Bissu seperti dirinya. Posisi sanrok pun telah tergantikan dengan ilmu kesehatan maupun ilmu pertanian modern. Kerajaan telah lama punah, tidak ada lagi payung yang mengayomi tradisi Bissu. Tanah adat yang menjadi sumber pendapatan komunitas Bissu telah lama lenyap, sehingga para Bissu harus berjuang sendiri dalam mengais kehidupan. Yang tertinggal hanyalah bentuk tontonan bagi kepentingan pariwisata, sebuah kenyataan pahit yang tidak hanya dialami oleh tradisi Bissu, namun juga oleh berbagai bentuk budaya tradisional di seluruh penjuru nusantara.
Bissu yang sunyi, kini meniti jalan menuju babak terakhir kehidupannya.