Politics & Society

‘Catcall’ Tak Bisa Ditoleransi

'Catcall' bukan hal yang dapat dimaklumi, dan tidak akan pernah menjadi suatu pujian.

Avatar
  • December 8, 2016
  • 4 min read
  • 1676 Views
‘Catcall’ Tak Bisa Ditoleransi

Ada satu kata yang terus mengganggu pikiran saya: catcall. Dari Google, saya menemukan artinya sebagai berikut:
 
cat·call
verb
3rd person present: cat-calls
1. 
make a whistle, shout, or comment of a sexual nature to a woman passing by.”they were fired for catcalling at women”
 
Dalam bahasa Indonesia, kata ini diterjemahkan sebagai ejekan. Jika saya coba alihbahasakan, catcall berarti siulan, teriakan, dan komentar mengenai hal-hal bersifat seksual terhadap perempuan yang lewat di jalan.
 
Inilah kenyataan yang harus dihadapi perempuan setiap hari. Hal ini merupakan alasan saya untuk lebih memilih berkendara dibandingkan berjalan kaki, alasan saya untuk menunduk ketika saya harus berjalan kaki, dan alasan saya untuk pura-pura tuli ketika berjalan kaki.
 
Ketika ada seorang laki-laki, yang saya tidak kenal, bersiul dan meneriakkan “Cewek…,” emosi saya bercampur antara marah dan takut. Saya marah, saya tidak terima dengan apa yang laki-laki itu lakukan terhadap saya. Namun saya juga takut dan tidak berbuat apa-apa mengenai hal tersebut.
 
Setiap kali saya berjalan kaki, walau hanya sekedar dari rumah saya ke warung yang jaraknya dekat, saya selalu jalan menunduk dan mengepalkan tangan. Beberapa kali saya diteriaki oleh beberapa pekerja bangunan di dekat rumah saya, disiuli. Saya sadar bahwa alasan saya menunduk adalah rasa takut saya, dan alasan saya mengepalkan tangan adalah karena saya marah.
 
Salah satu pengalaman yang sebenarnya berat saya ceritakan ke orang lain adalah pelecehan seksual di jalan atau street harassment yang pernah saya alami. Saat itu saya sedang menuju toko buku. Saya mengenakan seragam SMA dengan rok semata kaki. Atasan yang saya pakai tidak pas badan; saya bukan tipe murid yang mengecilkan baju agar lekuk tubuhnya terlihat..
 
Di depan toko buku tersebut ada beberapa anak lelaki yang saya perkirakan masih berusia SD. Saat saya melewati mereka, tiba-tiba mereka menggoda saya dan kemudian memukul pantat saya. Ya. Rasanya saya ingin menangis. Bayangkan, catcall dan street harassment dilakukan oleh anak kecil. Dan lagi-lagi, saya tidak berbuat apa-apa.
 
Catcall dan street harassment terjadi bukan karena pakaian yang digunakan, hal tersebut terjadi karena saya adalah perempuan.
 
Entah apakah hal ini benar atau tidak, namun dari apa yang saya perhatikan dari teman-teman dan lingkungan saya: banyak orang yang membiarkan dirinya menjadi obyek catcall, bahkan ada yang menganggap hal tersebut sebagai suatu pujian. Namun menurut saya, hal ini bukan hal yang dapat dimaklumi, dan tidak akan pernah menjadi suatu pujian.
 
Catcall adalah perbuatan yang mengganggu keamanan dan kenyamanan seseorang, khususnya perempuan. Catcall adalah kekerasan secara verbal. Catcall juga bentuk rasa tidak hormat kepada para perempuan.
 
Kadang saya merasa salah menjadi perempuan karena harus menghadapi catcall. Saya kesal. Saya benci. Rasanya saya ingin memaki kepada orang-orang yang melakukan catcall, “Ya! Saya emang cewek!! Terus kenapa??”.
 
Saya tidak pernah paham mengapa mereka, para pria yang melakukannya kemudian tertawa setelahnya, seolah-olah itu adalah sebuah lelucon. Apa sih yang ditertawakan?
 
Mengutip artikel dari slate.com, “Catcalling and fatcalling aren’t so different after all: They’re both products of a culture that treats women’s bodies as public property, and they both have more to do with the harasser’s insecurity and desire to exert dominance over women than they do about the harassee’s looks”.
 
Dan kini saya ingin bertanya, apakah pantas catcall masih pantas dianggap sebagai pujian? Apakah catcall harus terus dibiarkan dan dimaklumi?
 
Semua orang, perempuan dan laki-laki, punya hak untuk dapat berjalan dengan rasa aman dan nyaman. Tanpa adanya siul-siul dari orang yang tidak kenal dengan komentar mengenai tubuh kita. Tanpa adanya panggilan-panggilan tidak pantas. Tanpa adanya rasa takut dan malu menjadi perempuan.
 
MM adalah mahasiswi jurnalistik. Ia tertarik dengan film dan industri film, industri media, sejarah dunia, dan persamaan gender. Terkadang ia merasa ia tidak cocok berada di mana pun dan merasa baik-baik saja sendirian. 



#waveforequality


Avatar
About Author

MM

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *