Celana Rangkap di Balik Seragam Tanda Mengakarnya Pelecehan Seksual
Sejak di bangku SD perempuanlah yang harus berupaya ekstra melindungi diri dari pelecehan seksual.
Sejak saya bersekolah, saya sudah terbiasa memakai celana rangkap di balik rok seragam. Hal ini dilakukan oleh kebanyakan murid perempuan, dan sebagian bahkan meneruskannya hingga bangku SMA. Saat saya masih di bangku SD dan SMP, murid-murid perempuan akan seketika dipandang aneh jika ketahuan tidak memakai celana rangkap.
Saya masih ingat di pagi hari sebelum pergi sekolah, saya terkadang ribut mengganggu ibu, karena tidak menemukan celana rangkap yang bersih. Padahal sebetulnya memakai bawahan dobel seperti itu tidak nyaman, apalagi saat cuaca panas. Belum lagi kerepotan saat harus berganti pakaian untuk pelajaran olah raga. Beberapa anak perempuan, karena tidak mau repot, rela menggunakan celana rangkap dan celana olah raga sekaligus, walaupun tentu saja ini membuat keringat lebih banyak menempel.
Lalu sebenarnya apa yang menyebabkan tren celana rangkap saat bersekolah ini begitu populer? Apakah karena cuaca yang dingin di kota saya sehingga kita harus memakai pakaian lebih dan berlapis? Atau karena hanya mengikuti tren yang sudah turun temurun ada? Atau karena kita punya celana pendek cantik dan berlebih yang sayang jika tidak digunakan ke sekolah? Saya rasa tidak.
Di sekolah dasar saya dulu, satu-satunya alasan untuk menggunakan celana rangkap adalah untuk menghindari ulah nakal anak laki-laki yang gemar mengintip celana dalam anak perempuan. Saya sampai berpikir, mungkin celana rangkap yang dipakai ini bisa dijadikan sebuah patokan bahwa anak-anak tersebut sudah besar dan sudah mulai timbul ketertarikan dari anak laki-laki pada anak perempuan.
Anak-anak cowok ini secara diam-diam maupun terang-terangan mengintip atau bahkan membuka rok anak-anak perempuan di depan banyak orang. Ada kebanggaan besar yang diperoleh ketika seorang anak laki-laki berhasil mengumumkan warna celana dalam seorang anak perempuan di depan seluruh teman-temannya. Bahkan saya rasa, para anak laki-laki itu jauh lebih bangga jika mampu melihat warna celana dalam sebanyak-banyaknya dibandingkan dengan mendapat hasil nilai ulangan yang bagus. Tapi, yang dulu juga membuat sedih adalah, kadang ada anak perempuan yang tiba-tiba merasa kurang menarik dibandingkan teman-temannya, hanya karena tidak ada anak laki-laki yang berusaha untuk mengintip bagian dalam roknya.
Anehnya, hal ini tidak mendapat teguran yang tegas dari orang dewasa, bahkan hanya dianggap sebagai keisengan anak kecil. Seakan menambah celana rangkap dalam daftar pakaian yang harus dipakai adalah solusi terbaik, dibandingkan berusaha untuk memperbaiki kenakalan para anak laki-laki tadi.
Selain mengintip celana dalam, di sekolah saya dulu, kerap kali anak laki-laki yang mencoba untuk menyentuh dan mencium teman perempuannya tanpa izin, sampai ke bagian tubuh yang intim. Bahkan mereka berani secara verbal melecehkan gurunya sendiri. Parahnya, ada teman laki-laki yang suka berusaha memamerkan penisnya di depan para anak perempuan. Dia baru berhenti melakukannya ketika diejek belum berani sunat.
Saya paham, kenakalan anak-anak memang harus disikapi dengan bijak dan tidak asal diberikan hukuman yang keras. Hanya saja, saya takut jika tidak ditanggapi dengan serius, justru dari hal-hal kecil seperti itulah timbul kesalahan persepsi pada perempuan. Anak perempuan yang tidak memakai celana rangkap akan dipandang aneh oleh teman-teman perempuannya yang lain, karena seakan dia memperbolehkan anak laki-laki untuk mengintip celana dalamnya. Teman-temannya seakan lupa bahwa celana rangkap tidak termasuk seragam sekolah yang wajib dipakai, dan justru kebiasaan anak laki-laki untuk mengintip celana dalamlah yang seharusnya diperbaiki. Dan tidakkah sebenarnya hal tersebut sudah terasa sangat akrab dalam kehidupan sehari-hari? Menyalahkan pakaian yang dipakai perempuan, tapi nafsu laki-laki yang tidak dapat dibendung adalah hal yang harus dimaklumi terus menerus.
Entah bagaimana persisnya cara laki-laki menyikapi teguran untuk berpakaian pantas. Tapi bagi perempuan, bahkan sejak kecil, teguran tersebut sudah diterima sebagai anjuran agar mengamankan diri dari pandangan laki-laki. Pemakaian celana rangkap yang terus berlanjut seakan menjadi simbol bahwa dari hal kecil seperti cara berpakaian perempuan pun sebenarnya mengandung ketakutan tertentu pada laki-laki.
Bukan hanya bagi perempuan sebenarnya, masa-masa sekolah tentu juga menjadi masa yang sulit bagi anak laki-laki yang lebih feminin di antara teman laki-lakinya. Anak laki-laki yang memakai baju atau barang berwarna “perempuan” mudah menjadi bahan ejekan teman-temannya. Saya jadi bertanya-tanya, apakah memang ada seseorang, baik perempuan maupun laki-laki, yang sepanjang hidupnya memiliki cara berpakaian yang tidak berangkat dari ketakutan tertentu atau dari komentar-komentar miring di sekitarnya, tapi memang berangkat dari nilai dan keputusan yang sepenuhnya dia pegang?
Memang, pelecehan terhadap anak perempuan yang masih di bangku SD seringkali dicurigai berasal dari orang dewasa atau orang asing yang suka menculik anak. Tapi, yang sering terlewat adalah pelecehan yang terjadi di lingkungan paling dekat, bisa saja dilakukan oleh teman laki-laki sebangkunya sendiri. Tidak perlu menunggu waktu istirahat atau bel pulang sekolah berbunyi, saat proses belajar mengajar pun pelecehan tidak semata-mata berhenti.
Masih ada banyak anak-anak perempuan yang bahkan mengalami ketakutan pada teman sebangkunya sendiri. Atau remaja-remaja perempuan yang merasa tidak nyaman dengan tubuhnya, karena menjadi bahan ejekan para teman laki-lakinya. Saya sering penasaran, apa yang sebenarnya menyebabkan para perempuan spontan merasa tidak nyaman atau takut ketika hendak berjalan melewati segerombolan laki-laki, bahkan di siang hari. Mungkin, penyebabnya adalah ketakutan yang telah berakar kuat sejak perempuan masih berusia dini.
*Ilustrasi oleh Sarah Arifin