Culture Issues Politics & Society Travel & Leisure

Bagaimana Muslim Tionghoa di Kalimantan Barat Berada di Persimpangan Jalan

Muslim Tionghoa adalah minoritas ganda. Saya ngobrol dengan tiga anak muda Muslim Tionghoa dari Kalimantan Barat tentang suka duka menjalankan agama.

Avatar
  • February 26, 2025
  • 8 min read
  • 2401 Views
Bagaimana Muslim Tionghoa di Kalimantan Barat Berada di Persimpangan Jalan

Sore menjelang puncak acara Cap Go Meh 2025 di Pontianak, saya dan Redaktur Pelaksana Magdalene Purnama Ayu Rizky sedang duduk-duduk santai di cafe. Kami sengaja datang dari Jakarta untuk meliput perayaan akbar etnis Tionghoa ini yang bakal menyuguhkan pawai 39 replika Naga Bersinar.  

Saat menunggu acara dimulai, dua perempuan, Alycia Tracy Nabila, 21 dan Jessica Gowleta Gunawan, 22 menghampiri meja kami. Mereka mengenakan jilbab menjuntai hingga dada—penampilan yang lazim bagi seorang Muslimah di Indonesia. Namun, wajah yang khas etnis Tionghoa membuat kehadiran mereka mencuri perhatian pengunjung lain di kafe itu. 

 

Tracy dan Jessica adalah Muslim Tionghoa—lahir dan besar sebagai Muslim dari ibu masing-masing. Secara demografi, mereka bagian dari salah satu kelompok etnis terbesar di Kalimantan Barat. Namun, dalam hal keyakinan, mereka minoritas ganda: Muslim di tengah komunitas Tionghoa, sekaligus Tionghoa di antara mayoritas Muslim. 

Posisi ini menempatkan mereka di persimpangan budaya dan agama. Dalam banyak hal, perpaduan ini menghadirkan harmoni—tradisi Tionghoa dan ajaran Islam bisa saling bersinggungan dalam praktik sehari-hari. Namun, tak jarang pula mereka menghadapi dilema, bahkan diskriminasi dari dua sisi: Dipandang berbeda oleh sesama Muslim, sekaligus dianggap asing di tengah komunitas dan keluarga Tionghoa sendiri. 

Baca Juga: Luka Turun-temurun Tionghoa Indonesia

Keterasingan Muslim Tionghoa

Tracy tumbuh dalam keluarga Tionghoa yang memiliki pengaruh Islam yang kuat dari sang ibu. Ia beserta kakak dan adiknya diwajibkan beragama Islam walau ayahnya penganut Konghucu yang taat.  

“Dari orang tua terutama Mama, memang wajib (beragama) Islam, karena Mama sendiri sebenarnya juga pingin nikahnya sama sesama Islam, tetapi dapat jodohnya non-Islam,” jelasnya. 

Sejak kecil Tracy sudah diajari untuk salat lima kali sehari, puasa, serta mengaji. Ritual ibadah ini bisa dibilang cukup intens apalagi saat ia sengaja dimasukkan orang tua ke sekolah khusus Islam. Kedekatan dengan Islam membuat ia terkadang merasa terasing dari identitas sebagai Tionghoa.  

Ia bercerita pengalamannya pernah dibandingkan dengan peranakan Tionghoa lain. Sebab, dari kecil ia tidak diajarkan Tiochiu, salah satu bahasa sehari-hari yang digunakan etnis Tionghoa. Hal ini membuat Tracy cukup kesulitan memahami bahasa ibu ayahnya sendiri. Ia cuma bisa mengerti sedikit kosakata Bahasa Tiochiu dan tidak bisa melakukan percakapan langsung seperti peranakan Tionghoa pada umumnya.  

Bahkan di tengah keluarga sendiri, Tracy sering merasa berjarak. Keluarga besar dari pihak ayahnya mayoritas penganut Konghucu, sementara ia satu-satunya yang beragama Islam. Perbedaan ini membuatnya sulit berbaur, seolah selalu ada jarak tak kasat mata. 

Pernah, demi tak menonjol di tengah sanak saudara, ia terpaksa melepas kerudung saat acara keluarga. 

“Jangan pakai kerudung kalau ngumpul, biar enggak mencolok,” kenang Tracy menirukan komentar keluarganya. Ia menurut. “Lepaslah kerudungku itu. Setelahnya jadi lebih menyatu sih, lebih gampang ngobrol.” 

Foto: Dokumentasi pribadi Tracy

Namun, semakin hari, jurang keterasingan itu justru makin dalam. Tracy tak mau berkompromi dalam hal ibadah. Sejak kecil, ibunya mendidiknya dengan keteguhan pada ajaran Islam. Ia tak pernah ke kelenteng untuk berdoa, tak pernah menyentuh dupa—sesuatu yang dianggap lumrah dalam keluarga besar ayahnya. 

Keyakinan yang bertahan itu tak hanya memisahkannya dari keluarga besar, tapi juga membelah rumah tangga orang tuanya. Perbedaan agama yang tak terjembatani akhirnya membuat mereka bercerai—sang ayah tetap teguh pada Konghucu, sedangkan ibunya kukuh menjalani Islam tanpa kompromi. 

Keterasingan bagi Tracy enggak cuma datang dari keluarga, tetapi juga teman-teman sesama Muslim. Saat bersekolah di sekolah Islam, identitasnya sebagai Muslim Tionghoa membuat ia jadi korban perundungan. 

Ia kerap kali dijauhi. Teman-temannya enggan bermain atau kerja kelompok di rumahnya. Bahkan suatu kali bekal makanan dari rumah pun dipersoalkan teman-teman. Ibunya, yang dulu memasak masakan khas Tionghoa untuk sang ayah, tetap mempertahankan tradisi itu—membuatkan makanan khas untuk keluarga. Namun ketika Tracy membawanya ke sekolah, justru komentar sinis yang ia terima. 

Ia membawa ayam panggang berwarna merah cerah—warna yang berasal dari angkak, hasil fermentasi beras dengan jamur Monascus purpureus. Begitu membuka bekalnya, teman-temannya langsung bereaksi dengan jijik. 

Ih, kok kayak darah? Mereka kayak jijik gitu” cerita Tracy.

Baca juga: Apa yang Tidak Kita Bicarakan Saat Berbicara tentang Tionghoa Indonesia

Diskriminasi Muslim Tionghoa

Keterasingan akibat identitas sebagai muslim Tionghoa ini dialami pula oleh Vincent Chong, 24. Berbeda dengan Tracy, Vincent jadi satu-satunya Muslim Tionghoa di keluarga besar. Perkenalannya dengan Islam sebetulnya dimulai sejak Sekolah Dasar. Hatinya terketuk usai mendengar suara azan. Namun, ketertarikan menganut agama ini tumbuh ketika ia duduk di bangku kuliah semester 6 atau 2021 lalu. 

Kala itu ia memang sedang mencari kecocokan keyakinan. Ia mempelajari berbagai agama mulai dari Budha, Kristen, Katolik, hingga Islam. Saat mempelajari Islam, ia merasakan kembali ketenangan serta kedamaian serupa yang dirasakan saat kecil dulu. Ia lalu memutuskan mengucapkan dua kalimat syahadat.  

Saat itu, orang tuanya belum tahu perubahan status mualaf Vincent. Kala kembali ke rumah saat liburan kuliah, ibunya tidak sengaja menemukan iqra di dalam tasnya. Momen itu jadi titik balik kemarahan dan kekecewaan besar kedua orang tua. Vincent bahkan sampai diusir dari rumah.  

“Kamu ini anak kurang ajar, tidak tau diri, anak anjing, dicaci segala macam. Aku akhirnya diusir dari rumah dan karena semua fasilitas dicabut, uang, ATM, motor, aku pindah ke pondok pesantren,” ceritanya. 

Vincent yang tinggal di pondok pesantren mempelajari agama Islam dengan lebih intensif. Ia juga diberi pekerjaan sebagai editor video untuk kegiatan masjid dan kajian. Kurang lebih selama satu setengah tahun ia diusir dari rumah, ibu Vincent pun mulai luluh. Ia diminta pulang ke rumah.  

Diskriminasi Muslim Tionghoa di Kalimantan Indonesia
Fotor: Instagram pribadi Vincent

Walau begitu ia mengaku ibu dan ayahnya belum bisa sepenuhnya menerima agama baru Vincent. Mereka masih berusaha membujuk Vincent kembali ke agama Konghuchu dengan mengajaknya beribadah ke kelenteng. Keluarga pun menolak datang ke acara pernikahan Vincent (15/2) lalu, sehingga ia terpaksa mencari wali nikah sendiri. 

Bukan cuma orang tua saja. Tidak diterimanya identitas Vincent sebagai Muslim Tionghoa juga datang dari keluarga besar dan teman-teman. Diskriminasi tak ayal jadi makanan hariannya yang cuma bisa dia telan.  

“Sering banget disinisin. Teman-teman kuliahku enggak mau deket-deket lagi sama aku semenjak jadi mualaf. Sama keluarga besar dan orang-orang sekitarku dikatain China bego, anak pembangkang. Kayak kenapa sih kamu kamu pindah agama, enggak ngikutin kata orang tua,” ceritanya. 

Baca Juga: Imlek dan Tumbuh Sebagai Tionghoa Keturunan Indonesia Timur

Teguh Mempertahankan Tradisi

Berbeda dengan Tracy atau Vincent, Jessica bisa dibilang cukup beruntung. Ia tidak menemukan kendala dalam persimpangan identitasnya sebagai Muslim dan Tionghoa. Teman-temannya di sekolah tak ada yang mempermasalahkan identitas tersebut. Sebaliknya, teman-teman cenderung menaruh rasa penasaran terhadap dirinya yang Tionghoa tapi Muslim. 

Ia juga tidak merasa terkucilkan di lingkungan keluarga besar. Ini karena keluarga Jessica memiliki keyakinan beragam, mulai dari Buddha, Kristen, hingga Islam. Keberagaman dalam keluarga besarnya mendorong keluarganya juga lebih toleran terhadap identitas Muslim Jessica.  

Keberagaman ini pula yang membuat Jessica tak terlalu ambil pusing soal menjalani ritual atau perayaan khusus etnis Tionghoa. Sehari sebelum Imlek misalnya, keluargan masih mengadakan jamuan besar. Pun, saat perayaan Imlek, ia bebas berkunjung ke rumah sanak saudara dan ikut pergi ke kelenteng. Ia juga masih melaksanakan ceng beng atau sembahyang kubur. 

“Ini termasuk tradisi masyarakat Tionghoa. Jadi kami di pertengahan bulan 7 kalender Tionghoa mengunjungi dan membersihkan makam leluhur, orang tua, atau keluarga. Aku masih ikut (ceng beng) walau ya enggak berdoa juga karena enggak tahu doanya bagaimana,” tuturnya. 

Ketika perayaan Cap Go Meh, Jessica juga ikut merayakan bersama dengan sanak saudara Tionghoa lain. Sejak siang, ia menyaksikan persiapan pamannya yang merupakan seorang Tatung, juga persiapan saudara yang menggerakkan replika Naga Bersinar. Semua ini ia lakukan tanpa takut menggoyahkan keimanan, karena ia percaya itu tak ada sangkut pautnya dengan keyakinan pada Tuhan.  

Foto: Dokumentasi pribadi Jessica

Hal yang kurang lebih sama juga dilakukan Vincent. Ia boleh saja jadi satu-satunya Muslim di keluarga besar, tapi ia masih sangat berpegang teguh pada tradisi etnis Tionghoa. Imlek, Cap Go Meh, Bakcang atau Peh Cun, Hari Kue Bulan, dan beberapa Hari Raya Tionghoa lainnya masih ia rayakan. Ia percaya ini tidak ada sangkut pautnya dengan keyakinan beragama. Perayaan ini murni adalah budaya dan mempunyai asal usul panjang yang sangat melekat pada darah setiap etnis Tionghoa. 

Karena alasan ini, Vincent tetap teguh melestarikan tradisinya. Ia bahkan sampai ikut serta dalam ajang pemilihan Duta Budaya Tionghoa dan Pariwisata, Gege Meimei pada 2021 dan 2025 lalu.  

“Saya ikut Duta Gege Meimei karena ingin mengenalkan dan mempromosikan kebudayaan Tionghoa. Saya merasa budaya itu unik. Sesuatu yang membawa ciri khas jadi perlu dilestarikan,” cerita Vincent kepada Magdalene. 

Usaha untuk melestarikan tradisi Tionghoa inilah yang kemudian juga ia rencanakan untuk mewariskan kepada anaknya kelak. Ia berharap anaknya juga memahami dan ikut melestarikan budaya Tionghoa. Ia pun ingin istrinya memahami tradisi Tionghoa.  

“Saya melihat ini semua sebagai budaya bukan keagamaan. Sayang kalau berhenti di saya. Makanya kalau ditanya, Muslim atau Tionghoa, saya akan menjawab keduanya. Muslim Tionghoa,” pungkasnya.  

Purnama Ayu Rizky membantu dalam reportase ini. 

Magdalene meluncurkan series liputan tentang Cap Go Meh 2025 di Pontianak. Simak artikel lainnya di laman ini. 

Ilustrasi oleh Karina Tungari

  



#waveforequality
Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *