Issues

Cinta Beracun: Ketika Romansa Jadi Alat Kendali Bandar Narkotika

Bandar narkotika menggunakan hubungan romantis sebagai senjata untuk memanfaatkan kurir tanpa biaya.

Andrei Wilmar
  • January 6, 2025
  • 6 min read
  • 1015 Views
Cinta Beracun: Ketika Romansa Jadi Alat Kendali Bandar Narkotika

Pada 2000-an awal, “Linda” menikah dengan lelaki yang sejak pacaran sudah memperkenalkannya dengan narkotika. Sumpah pernikahan hanya membuat konsumsi barang terlarang itu semakin intens.

Tinggal bersama di Bogor, sang suami secara rutin membawa ganja atau sabu (metamfetamina) untuk mereka gunakan bersama di rumah. Saat Linda sadar dirinya sudah kecanduan, tidak ada opsi lain yang terlihat selain bertahan dengan suaminya yang bisa menyediakan narkotika.

 

 

Pola pikir yang dikorupsi kecanduan ini juga memengaruhi pengambilan keputusan Linda ketika mendapat kabar bahwa mantan suaminya adalah bandar narkotika.

“Setelah lima tahun menikah, aku dikasih tahu keponakannya kalau dia punya rumah kontrakan lain untuk menyimpan dan membungkus ‘barang’,” ujar Linda kepada Magdalene akhir Desember lalu. “Tapi karena aku takut ditangkap polisi juga, akhirnnya aku biarkan, enggak melapor,” ia menambahkan.

Baca juga: Merry Utami dan Kerentanan Perempuan dalam Kasus Narkotika

Relasi Kuasa Romantis

Dulu, Linda adalah penjaga kios rokok dan suaminya sering menitipkan satu slop rokok untuk diberikan pada orang-orang tertentu. Dia tidak paham mengapa orang-orang tersebut membeli satu slop rokok di kiosnya, padahal toko menjualnya dengan harga yang lebih murah. Sampai ia akhirnya diberi tahu oleh salah satu pelanggan suaminya bahwa slop khusus itu berisi narkotika.

Linda sendiri melepaskan kecanduannya karena memang sudah muak terjebak dalam dunia narkotika. Dia memutuskan untuk bergabung dengan organisasi non-pemerintah yang bergerak di isu narkotika, AKSI Keadilan, sebagai paralegal. Di sana, dia mendapatkan banyak sekali dukungan dari rekan kerjanya. Terlibat dalam pendampingan kasus-kasus narkotika, Linda selalu diberikan masukan dan arahan yang berguna.

“Mereka selalu memberikan masukan dan arahan yang baik, dan melibatkan aku dalam segi pendampingan dan penanganan kasus-kasus narkotika yang dapat dijadikan acuan untuk mengubah pola pikirku juga,” ujar Linda melalui aplikasi perpesanan, (4/1).

Sayangnya, masalah Linda tak berhenti di sini. Tiga tahun setelah memutuskan bercerai, mantan suaminya mendatangi Linda karena keberatan ia menikah lagi. Ia dianggap lancang karena tidak berkabar soal rencananya menikah lagi, padahal alasanya jelas: Linda takut sang mantan mengacaukan hajatannya. Sebuah kekhawatiran yang ternyata berubah menjadi kenyataan. 

Si mantan yang bandar narkotika itu meminta Linda untuk mengonsumsi barang haram tersebut untuk terakhir kalinya. Linda menyetujuinya dengan syarat ia membawa empat orang teman laki-laki.

Di tengah pesta, sang bandar izin keluar untuk membeli rokok, namun tidak kunjung kembali. Alih-alih, polisi datang sejam kemudian dan mendapati lima orang dalam pengaruh narkotika. Mereka diringkus dan Linda mendekam tiga tahun di penjara sejak 2012.

“Pas aku dipenjara, mantan suami ditanya sama keluarga. Dia mengaku cepuin (melaporkan ke otoritas) aku dengan alasan, dia lebih baik lihat aku di penjara daripada harus melihat aku menikah lagi dengan orang lain,” ujarnya.

Baca juga: Dianiaya, Diperkosa, Diperas: Aturan Narkotika Kita yang Bahayakan Perempuan

Dijebak Bandar, Dijatuhi Hukuman Mati

Serupa dengan Linda, Rosita Said terpaksa terlibat dalam bisnis narkotika milik suaminya, Emeka Samuel. “Saya diminta mencarikan pelanggan karena saya perempuan jadi tak mudah dicurigai,” kata Rosita, sebagaimana dikutip Harian Kompas edisi 6 Desember 2021.

Namun, jika Linda “hanya” dipenjara, Rosita divonis hukuman mati. Kuasa hukum Rosita dari Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Yosua Oktavian, menyatakan keberatan atas putusan tersebut karena hakim kurang menggali niat jahat yang dimiliki Rosita dan relasi kuasa dalam hubungannya. Pidana mati terlalu berlebihan mengingat banyak keterbatasan kliennya yang harus dipertimbangkan hakim, ujarnya.

“Ada pertimbangan-pertimbangan anak, dia enggak punya pendidikan yang bagus, itu maksud saya, tolong pertimbangkan,” ujarnya pada Magdalene akhir Desember lalu.

Menurut Yosua, Rosita berkenalan dengan Emeka, warga negara Nigeria, saat perempuan itu berjualan pakaian di Tanah Abang. Emeka memborong pakaian dan menjadi pelanggan, hingga suatu hari mengajaknya berkencan. Rosita, yang janda dua kali dan memiliki seorang anak, jatuh hati karena Emeka terlihat menyayangi anaknya. Laki-laki itu suka menitipkan uang untuk membeli susu dan kebutuhan anak, sesuatu yang bahkan tidak dilakukan mantan suaminya.

Mereka berdua akhirnya menikah pada 2015, dan hanya butuh lima bulan untuk menguak sifat asli sang suami. Tak ada lagi Emeka yang dermawan. Dia temperamental dan ternyata adalah bandar narkotika. Rosita pun diminta mencarikan pelanggan. Pada tahun yang sama, Badan Narkotika Nasional (BNN) menangkap Rosita.

Saat Yosua mendatangi kampung halaman Rosita di Padang Pariaman, ia melihat bagaimana keluarganya hidup di garis kemiskinan.

“Saya harus bilang ke orang-orang, yang kalian hukum mati yang kayak gini, bukan yang rumahnya ada kolam renang kayak Pablo Escobar, enggak. Ini orang-orang susah,” ujarnya.

Baca juga: Narkoba Artis, Pencitraan Polisi, dan Salah Kaprah Hukum Kita

Pola Penjebakan Perempuan oleh Bandar Narkotika

Linda dan Rosita hanya dua dari banyak perempuan yang dijebak bekerja untuk bandar narkotika. Data triwulan yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan pada 2021 menunjukkan, berdasarkan profesi, ada lebih dari 3.000 ibu rumah tangga narapidana kasus narkotika.

Dalam artikel di Jurnal Anifa berjudul “Women’s Exploitation Patterns as Narcotics Couriers: A Study of Participating Victims” (2024), Lestari dan Margaret (2024) menulis bahwa hubungan romansa menjadi modus utama untuk menjebak perempuan ke dalam distribusi ilegal narkotika.

Hubungan romansa mengaburkan posisi perempuan, yang disebut participating victims. “Para perempuan yang dijadikan kurir memulainya dengan menempatkan rasa percaya yang ekseksif kepada laki-laki. Kepercayaan itu kemudian disalahguanakan untuk keuntungan laki-laki,” tulis mereka.

“‘Participating victims’ merujuk kepada seseorang yang tak sengaja membuka diri untuk dieksploitasi, membuat mereka tak sengaja terlibat dalam tindak kriminal juga.”

Dengan posisi ini, penggalian relasi kuasa dan niat jahat participating victim di pengadilan menjadi elemen krusial. Akan sangat tidak adil jika hakim menjatuhkan hukuman tanpa melihat cerita personal korban, mengingat adanya keterpaksaan atas kelakuan mereka.

Sebenarnya vonis bebas tidak bisa diharapkan pula. Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika memuat ketentuan pidana minimum yang membuat hakim mau tidak mau harus menghukum korban.

Peneliti Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Siti Ismaya mengatakan, diabaikannya hal-hal personal disebabkan adanya logika berpikir yang timpang antara pembuat kebijakan dan penegak hukum. Dalam menciptakan regulasi pembuat kebijakan secara otomatis fokus kepada kesalahan, sedangkan hakim tak bisa menggunakan logika yang sama.

“Ketika hakim menghukum seseorang, tentu dia tidak hanya menilai kesalahannya, tapi juga menilai orangnya juga,” ujar Siti. “Dia perempuan, dia anak, atau dia terpaksa melakukan hal tersebut, atau misalnya ada faktor ekonomi, psikologis yang membuat dia melakukan hal tersebut.”

Karena itu, ia menambahkan, klausul pidana minimum mengesampingkan cerita manusia di balik penggunaan narkotika. Dalam kasus seorang perempuan yang dipaksa menjadi perantara narkotika oleh suami misalnya, Ismaya berpendapat, hakim harus bisa melihat faktor lain selain kesalahan perempuan tersebut.

“Mestinya hakim juga mempertimbangkan tentang in personam, bahwa pelakunya adalah kelompok rentan. Itu yang kemudian menjadi kelemahan ketika ketentuan pidana kita mengatur ancaman pidana minimum,” imbuhnya.



#waveforequality


Andrei Wilmar
About Author

Andrei Wilmar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *