Pemandangan anak-anak sekolah mengantre mencium tangan guru mereka mungkin terlihat hangat dan sopan bagi sebagian orang, terutama tamu asing yang menyebutnya “sangat Indonesia”. Dalam antrean itu, murid membungkuk, menunduk, lalu menempelkan tangan guru ke kening atau pipi. Sekilas tampak seperti simbol penghormatan dan kedamaian.
Namun jika diperhatikan lebih saksama, ada yang janggal dari interaksi tersebut. Beberapa guru menyodorkan tangan tanpa antusiasme, sebagian lainnya menariknya cepat-cepat, atau menatap ke arah lain seolah ingin cepat selesai. Momen yang tampak indah ini justru memperlihatkan ketegangan diam-diam: relasi kuasa yang tak seimbang dan penghormatan yang kerap dipaksakan.
Baca juga: Ekskul Roblox di Sekolah: Inovasi Pendidikan atau Eksperimen Berbahaya?
Kita terbiasa melihat praktik ini di sekolah, kantor pemerintahan, hingga acara seremonial. Saya jadi bertanya-tanya, apa sebenarnya makna mencium tangan ini di luar konteks keluarga dan hari raya? Apakah ini benar bentuk penghormatan, atau simbol kepatuhan yang perlahan mematikan daya nalar?
Dulu, mencium tangan adalah bagian dari tradisi penuh makna. Kita melakukannya kepada orang tua, kakek-nenek, atau tokoh agama, orang-orang yang dituakan bukan karena jabatan, tapi karena kebijaksanaan dan keteladanan. Tradisi ini hidup di ruang-ruang personal dan momen-momen sakral seperti hari raya atau pernikahan. Dari mencium tangan kita belajar untuk menghormati orang tua, menghargai petuah, dan menempatkan diri dalam tatanan sosial yang beradap.
Di dalam pembelajaran itu juga tersirat bahwa mencium tangan kepada mereka yang memiliki jabatan atau kekayaan semata sebaiknya dihindari. Bahwa hakikat mencium tangan adalah perkara yang sakral, mengakar, dan bukan simbol yang tak bernalar.
Namun seiring waktu, praktik ini merembes ke ruang publik, dari sekolah, kantor, bahkan arena politik. Ketika mencium tangan menjadi kewajiban di institusi pendidikan, muncul pertanyaan penting: apakah penghormatan masih tulus jika dilakukan karena kewajiban struktural? Apa yang sebenarnya sedang ditanamkan kepada murid—sikap hormat atau kepatuhan mutlak?
Baca juga: Juliana Melawan Stigma: Kisah Sarjana Perempuan Pertama dari Suku Anak Dalam
Cium tangan: Dari tanda hormat jadi tanda kuasa
Kalau kita umpamakan, generasi muda kita ibarat tengah bermain tarik tambang antara dua kekuatan besar. Di satu sisi, mereka kita dorong untuk jadi pemimpin masa depan, menjadi berani, berpikir kritis, dan bertanggung jawab. Tapi di sisi lain, sistem pendidikan kita justru membatasi ruang berpikir itu dengan aturan dan simbol-simbol yang menuntut kepatuhan mutlak.
Padahal, pemimpin sejati adalah mereka yang berani melakukan hal benar, meski tak selalu sejalan dengan perintah. Jiwa kepemimpinan tumbuh dari keberanian bertanya, berargumen, dan mengevaluasi perintah secara kritis.
Dengan terus menekan anak-anak untuk menurut tanpa ruang bertanya, kita tak sadar sedang mematikan rasa ingin tahu mereka. Lambat laun, suara murid terbungkam. Guru menjadi sosok yang jauh, bukan pembimbing. Ruang kelas berubah menjadi tempat satu arah, di mana murid duduk diam, guru bicara. Tidak ada dialog dan tidak ada konsep tumbuh bersama.
Kita butuh ruang pendidikan yang kondusif untuk berpikir, bukan sekadar disiplin. Tempat yang menanamkan rasa percaya diri untuk menyuarakan pendapat, bukan takut dikira “tidak sopan” hanya karena bertanya. Karena ketika rasa takut tumbuh sejak dini, nalar kritis akan mati pelan-pelan.
Sebagai guru dan orang dewasa, bentuk penghormatan sejati seharusnya bukan ciuman tangan, tapi keberanian murid untuk berdialog, untuk berpikir mandiri. Dan sebagai pendidik yang percaya diri, kita tidak seharusnya merasa terancam saat murid tumbuh lebih cerdas dari kita. Justru di sanalah letak keberhasilan seorang guru, yakni ketika murid bisa melampaui.
Bukan berarti tradisi harus dibuang. Tapi kita perlu cermat memilah mana yang masih relevan, dan mana yang perlu dikaji ulang. Tradisi tak boleh mengekang. Ia harus mampu berdampingan dengan kemajuan zaman.
Baca juga: Diam juga Kekerasan: Pengalaman Saya Jadi Pelaku dan ‘Bystander’ Perundungan
Jika kita serius ingin menitipkan masa depan bangsa pada generasi muda, kita harus bersedia melakukan refleksi dan menyesuaikan cara mendidik. Jangan sampai kita mencetak generasi yang hanya tahu patuh, tapi takut berpikir.
Indonesia memang kaya budaya. Tapi kebesaran bangsa tak hanya diukur dari jumlah pulaunya atau ragam upacaranya. Ia dinilai dari nilai-nilai yang ditanamkan: keadilan, keberanian berpikir, dan penghormatan yang tumbuh dari kesetaraan, bukan ketundukan.
Bayangkan masa depan di mana tradisi mencium tangan masih ada, tapi dilakukan atas kesadaran, bukan kewajiban. Murid dan guru berdiri sejajar, saling menatap dengan hormat dan bangga. Karena saat itu, cium tangan bukan lagi simbol kuasa, tapi pengakuan akan martabat satu sama lain.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
















