Screen Raves

Komposer ‘How to Make Millions Before  Grandma Dies’ dan Rahasia Musik Latar yang Bikin Mewek

Saya bertanya langsung pada komposer How to Make Millions Before Grandma Dies, tentang rahasia bikin musik yang berhasil bikin kita semua sesengukan.

Avatar
  • June 20, 2024
  • 5 min read
  • 1290 Views
Komposer ‘How to Make Millions Before  Grandma Dies’ dan Rahasia Musik Latar yang Bikin Mewek

Ketika artikel ini keluar, film Thailand yang didistribusikan Klikfilm ini sudah akan mencapai 3 juta penonton. Film How to make a Millions Before Grandma Dies (ke depannya akan disingkat Grandma) memang merupakan sebuah sensasi. Tidak hanya film ini sukses meraih angka penonton yang tinggi, ia juga diakui bagus oleh para kritikus dan penikmat film. Orang-orang menonton film ini bisa lebih dari satu kali karena ingin membagi pengalaman nonton mereka dengan orang yang berbeda-beda. Saya sendiri sudah menonton film ini tiga kali untuk alasan yang sama.

Selain ceritanya, scoring dalam film ini juga jadi salah satu hal yang menarik buat saya.

 

 

Baca juga: Film Thailand ‘OMG! (Oh My Girl)’: Jatuh Cinta Itu Menyakitkan!

Ada satu adegan di dalamnya yang membuat saya sadar bahwa scoring musik film ini sangat jenius. Jenius dengan level yang sama dengan scoring-scoring music yang dinominasikan di Oscar. Semakin saya menontonnya, semakin saya sadar bahwa ini merupakan elemen yang sering kali dianggap remeh ketika kita menonton film. 

Saya berbincang dengan komposer film ini, Jaithep Raroengrai (ia lebih disenang dipanggil Kong) di zoom. Kami berbicara tentang caranya bekerja di film ini, film-film apa yang menginspirasi Kong menjadi seorang komposer, sampai kekaguman kami pada film Stuido Ghibili pemenang Oscar, Spirited Away. Tapi yang lebih penting, kami juga berdiskusi proses kreatif yang ia lalui, bagaimana  ia memilih proses kerjanya, dan apa yang membuat filmnya sangat kuat. 

Sumber: Dok Pribadi Penulis

Musik yang Terdengar Natural

Ketika saya menghubungi Kong, ia cukup terkejut karena jarang mendapat kesempatan untuk membicarakan pekerjaannya. Namun, saya tahu kalau ada sesuatu yang spesial dari musik filmnya. Oleh karena itu saya menjadwalkan pertemuan virtual untuk berbincang-bincang dengannya. 

Kong bilang Pat Boonnitipat, sang sutradara, memiliki visi bahwa kata kunci filmnya adalah natural. Itu berarti, semua departemen: Mulai dari desain produksi, sinematografi, kostum, sampai musik. Upaya itu diharapkan akan bikin film mereka terlihat nyata, mentah, dan dekat dengan penonton. 

Kata kunci natural di departemen musik juga harus diinterpretasikan dengan baik. Musik latar jadi dibuat subtil dan dikemas agar penonton tidak terlalu menyadari keberadaannya. Ini jadi PR besar buat sang editor musik. 

Kadang, musik terdengar seperti sisipan tak terduga, seperti ada piano betulan di dalam adegannya. Namun, ketika adegan dramatis datang, musik akan dibuat lebih menonjol baik dari segi dinamika, volume, dan tidak lagi terdengar subtil. Kita akan sadar betul dengan musiknya. 

Baca juga:Aktor BL Sampai Mengalahkan ‘Exhuma’: Fakta Menarik ‘How to Make Millions Before Grandma Dies’

Sebagai contoh, pada adegan pembuka ketika M pertama mengunjungi rumah Amah, ada musik latar yang dimainkan. Namun, musik itu bercampur dengan suara-suara latar belakang. Kita mendengar piano sambil mendengar suara burung berkicau dan kucing mengeong. 

Musik latar tersebut sering mengisi dalam keheningan dan aktivitas karakter di layar. Sesekali ada suara langkah sandal, pintu dibuka, dan musik layar yang dimainkan seakan piano ada di dalam ruangan yang sama ketika adegan tersebut diambil. Musik melantun sangat natural sehingga sering kita meremehkannya. Namun, pada tahap itu, Kong sudah menanamkan beberapa not yang membuat audiens familier.

Ketika film mencapai babak ketiga, kita mendengar musik latar yang sangat kuat dan tidak lagi subtil di belakang. Musik yang berjudul “Grandma’s Home” dimainkan ketika M dan keluarga Amah mengantarkan Amah ke pemakaman. Musik itu pula yang membuat saya menangis tiga kali menonton film ini di bioskop. 

Setelah berdiskusi dengan Kong, saya menyadari bahwa ketika musik ini akhirnya dimainkan, semua emosi saya terlepas. Itu pula kenapa saya (dan mungkin kamu yang membaca ini) masih menangis tersedu-sedu bahkan ketika kredit sudah bergulir. Selain memang karena performa akting pemainnya, musiknya sangat memperkuat momen dramatis. Not-not familier yang sempat Kong tanam membuat musik ini sangat kompleks, dan terasa dekat. Terasa natural ketika kita mendengarkan musik tersebut. 

Bahkan, ketika dimainkan di momen dramatis, saya masih merasa musik tersebut tidak mendominasi. Kong bilang bawa itu karena kontribusi sound engineer. Memastikan bahwa seluruh suara terdengar natural juga merupakan visi sang sutradara yang dibuat konsisten di dalam film ini. 

Submisi Film Thailand ke Oscar

GDH, studio di balik “Grand” memiliki riwayat yang bagus. Dalam 4 tahun terakhir, submisi film Thailand ke Oscar datang dari studio ini semua: Happy Old Year (2020), The Medium (2021), One for the Road (2022), dan Not Friends (2023). Dengan pencapaian box office dan kritik, rasanya hampir pasti film ini akan dikirim untuk kategori Oscar international feature film

Sejujurnya, saya ingin mengkampanyekan Kong untuk kategori original score di Oscar. Namun, AMPAS (Academy of Motion Picture of Arts and Sciences) tidak menominasikan film yang tidak memiliki distributor di Amerika Serikat. Dalam film The Boy and The Heron yang didistribusikan oleh GKids, Joe Hisaishi seharusnya mendapat nominasi. Ia sudah lolos shortlist Oscar dan mendapat nominasi Golden Globe, tapi ternyata gagal meskipun filmnya memenangkan film animasi terbaik mengalahkan franchise Spider-verse.

Meskipun GDH memiliki unit internasional bernama Out of the Box, unit ini masih cenderung mendistribusikan film internasional di Thailand daripada sebaliknya. Film seperti Past Lives dan Ferrari didistribusikan di Thailand di bawah naungan unit ini.

Baca juga: Mari Ngobrol Serius tentang BL Asia: Sebuah ‘Queer Gaze’

Kong mungkin memiliki tantangan yang serupa. Institusi berbasis Hollywood, seperti AMPAS jarang menominasikan film non-Amerika Serikat, non-kulit putih. Terlebih lagi jika film itu dari Asia Tenggara. Indonesia juga memiliki tantangan serupa sekarang. 
Terlepas dari Oscar, “Grandma” tetap menjadi film yang tidak hanya penting tapi juga relatable bagi banyak orang. Ketika ditanya tentang kesuksesannya, Kong bilang ia tidak mengira akan sebesar dan semeriah ini respons penonton. Namun, ia senang sekali melihat respons para penonton, apa lagi yang menyukai musiknya.

Meskipun demikian, musik-musik tersebut belum tersedia di platform digital. Kong bilang, semenjak hak miliknya ada pada GDH, distribusinya ada dalam keputusan mereka. Namun, jika ada banyak permintaan, ia bilang mungkin ia bisa membujuk GDH merilisnya agar kita semua bisa menikmati musik “Grandma” dan merenung di mana pun kita berada.



#waveforequality


Avatar
About Author

Reza Mardian

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *