Culture Prose & Poem

Ketika Cut Nyak Dien Terlempar ke Mesin Waktu

Cut Nyak Dien, Kartini, dan pahlawan perempuan lain terlempar dari masa lalu karena kemandekan di masa kini.

Avatar
  • August 16, 2019
  • 13 min read
  • 1124 Views
Ketika Cut Nyak Dien Terlempar ke Mesin Waktu

Hari ini hujan seharian di tengah kering kerontang Juli.

Eliyawati melipat bungkus gorengan kosong (dua pisang, dua tahu, dua tempe) lalu melemparnya ke tong sampah. Sepuluh menit lagi jam enam. Waktu pulang. Perempuan tiga-puluh-tahunan itu mengepak segepok pena dan tumpukan kertas di atas mejanya (jadwal office boy dan satpam depan, nomor telepon meja karyawan, absensi tamu, formulir dan entah apa lagi), dan memasukkan barang-barang itu ke dalam laci.

 

 

Dia mengeluarkan kaca kecil dari tas Michael Kors palsu yang berhasil ditawarnya murah di ITC Kuningan, dan memeriksa dandanan mukanya. Lipstik merahnya hampir hilang sebab makan gorengan tadi. Tapi tak apa. Toh sudah mau pulang. Eliyawati meratakan warna yang tersisa dengan jari tengah, dan setelah yakin tampilannya normal, mengembalikan kaca itu ke dalam tas dan beranjak bangun dari kursi.

Lift berdenting. Eliyawati ikut berdesakan dengan orang-orang yang sudah tidak sabar menyambut akhir pekan. Karyawan dan karyawati lelah dan lepek itu beringsut minggir memberi tempat. Perlahan, lift bergerak turun.

Eliyawati menyibukkan pikiran dengan membayangkan makan malam sambil dia menyusuri trotoar Gatot Subroto yang pecah-pecah. Makan gudeg enak juga, pikirnya seraya melangkahi bongkahan bata sekaligus genangan air. Gelap belum jatuh benar. Langit masih abu-abu. Baru ditinggal matahari beberapa menit lalu.

Sesosok perempuan muda berkebaya salem berdiri di halte bus yang dituju Eliyawati. Dia celingukan. Melihat Eliyawati mendekat, dia melambaikan tangan dengan sopan.

“Permisi, Nona, boleh tahu ini di mana?”

Eliyawati sebetulnya agak gusar diganggu dari lamunan makan malamnya, namun tidak ia tunjukkan, tentu saja.

“Kita di halte Patra Jasa, di jalan Gatot Subroto. Mbak-nya mau ke mana?”

“Patra Jasa? Ga-Gatot Subroto?” Perempuan itu terbata-bata. Sanggul rendahnya sudah lepas jadi kunciran saja. Rambutnya terpuntir jatuh ke pundak.

Wah, mbak ini tersesat jauh sepertinya, kata Eliyawati dalam hati. Dia menghela napas panjang. Tahan dulu ya, gudegku.

“Mbak-nya mau ke mana?” tanya Eliyawati lagi.

“Saya… ini tahun berapa, Nona?” perempuan itu setengah berbisik.

Hidung Eliyawati mengembang. Begitu dia kalau lagi kesal karena lapar. Mbak ini bukan hanya tersesat jalan, tapi juga linglung. Eliyawati jadi mesti memastikan orang ini naik metromini yang benar.

“Tahun 2019. Mbak-nya kira tahun berapa?” Eliyawati berusaha sedapat mungkin menyesuaikan frekuensi.

Perempuan itu pucat pasi.

“Sa… saya loncat dari tahun 1944,” kata perempuan itu, kini berbisik rendah sekali. Seakan tahu dia kedengaran edan.

Eliyawati memicingkan mata. Dia menyapu pandangan ke sekeliling halte itu. Jangan-jangan perempuan berkebaya ini jebakan preman. Disuruh menarik perhatian supaya dia lengah dan gampang dirampok. Maklum, ini Jakarta. Preman di sini kreatif bukan main kalau sudah soal modus.

“Nona, nama saya Fatmawati, istri Bung Karno. Sudikah Nona mengantar saya pulang ke Pegangsaan Timur? Saya mohon,” Fatmawati menyatukan ujung jemari kedua tangan ke depan mukanya.

Wah, betulan sinting perempuan ini. Eliyawati berpikir sejenak. Mbak linglung ini mungkin betulan tersesat. Keluarganya bisa jadi tidak jauh dari sini, dan mungkin sebentar lagi ketemu. Eliyawati bisa melengos pergi dan terus pulang, bodo amat. Tapi kasihan juga. Jakarta kota kejam. Tidak ada yang tahu bakal terjadi apa kalau perempuan semanis Fatmawati ditinggal di jalanan. Eliyawati mengambil napas panjang sekali lagi.

Baca juga: Surat untuk Kartini

“Ya sudah, mbak. Saya antar pulang,” kata Eliyawati. Dia akan mengantar Fatmawati ke kantor polisi, putusnya.

Fatmawati menghembuskan napas lega. Tertatih-tatih, dia mengikuti langkah Eliyawati. Maklum, rok kebaya yang dipakainya saat itu ketat sekali. Selopnya pun hampir lepas. Trotoar ini hancur bukan main. Lumpur di mana-mana. Sudah jauh-jauh loncat ke masa depan 75 tahun, tapi berjalan saja makin susah. Fatmawati mengumpat dalam hati. Apakah Indonesia sudah jadi merdeka atau tidak saja dia tidak tahu. Tapi kalau trotoarnya saja jelek begini, siapa pun yang mengatur kota ini – Nippon atau pribumi – mesti turun jabatan.

Belum 50 meter mereka berjalan, Eliyawati berhenti mendadak sambil menjerit kecil. Fatmawati di belakangnya hampir menubruknya jatuh. Untung dia keburu berpegangan pada pundak perempuan itu.

Di hadapan mereka, di ujung tangga sebuah jembatan penyebrangan, seorang perempuan tersungkur di tanah. Seperti baru terpeleset dari anak tangga. Sanggul perempuan itu tinggi di pucuk kepala. Helai-helai rambut jatuh ke samping muka dan telinganya. Kain melilit membungkus bagian atas tubuhnya, di atas baju berlengan sampai di siku. Sepotong kain lain yang panjangnya semata kaki melilit pinggang.

Perempuan itu mengerang sambil pelan-pelan bangkit. Sepertinya dia terpeleset dari anak tangga paling bawah, jadi jatuhnya tidak keras-keras amat. Hanya saja posisi tengkurupnya cukup memalukan. Ketika perempuan itu berdiri, Eliyawati dan Fatmawati dapat melihat sosok itu lebih jelas. Di pinggang perempuan itu bertengger sebuah belati panjang. Tangan kanannya menggenggam semacam pedang yang ukurannya panjang sekali. Sisi tajam bilah pedang itu berwarna kecokelatan. Sarungnya tergeletak di tanah, persis di kaki Eliyawati. Pasti lepas saat dia jatuh.

Gemetaran, Eliyawati memungut sarung pedang yang terbuat dari kayu itu. Lalu menyodorkannya pada perempuan itu, yang betul-betul tampak baru keluar dari perang. Mukanya dekil kena debu, lumpur, dan… ada bercak darah?

Perempuan itu mengambil sarung pedang dari tangan Eliyawati.

Di bawah kaki mereka, retak-retak tanah menjalar sepanjang mata dapat melihat. Namun tak seorang pun peduli. Terlalu banyak retak di Jakarta. 

“Aku Cut Nyak Dien. Siapa kalian dan di mana kita ini?” katanya sambil menyarungkan kembali pedang berdarah itu. 

Eliyawati rasanya mau pingsan. Belum selesai orang di sebelahnya mengaku jadi istri ketiga presiden pertama Indonesia, muncul lagi orang ini mengaku pahlawan nasional dari abad ke-18! Apakah ini teater eksperimental yang dilakukan di ruang terbuka? Apakah ada kamera tersembunyi yang merekam segala reaksinya? Apakah semua orang tiba-tiba jadi gila? Dia hanya mau makan gudeg dan menikmati Jumat malam yang tenang di kos. Mengapa susah sekali? 

Eliyawati hanya mendekap tas Michael Kors palsunya ke dada. “E…Eliyawati,” jawabnya kikuk. 

Sementara itu, Fatmawati menjerit kegirangan. Cut Nyak Dien! Tentu dia pernah mendengar nama itu di sekolah dulu. Pemimpin gerilya gagah berani dari Aceh. Ternyata bukan dia sendiri yang meloncat waktu. 

“Cut Nyak Dien, nama saya Fatmawati. Rupanya kita sama-sama telah tersesat di masa depan,” kata Fatmawati. 

Cut Nyak Dien terkesiap. “Apa maksudmu?”

“Lihatlah ke sekeliling. Kita bukan berada di zaman kita lagi. Kau datang dari Aceh tahun 1890-an, aku dari Batavia, sekarang Jakarta, tahun 1944. Kita sekarang berada di tahun 2019,” kata Fatmawati lagi. 

“1899,” Cut Nyak Dien mengoreksi. “Dari mana kamu tahu aku datang dari mana dan tahun berapa?”

“Anda terkenal di masa depan, tentu saja, atas gerilya yang Anda buat melawan Belanda!” Fatmawati dengan sabar menjelaskan. 

“Betulkah?” senyum Cut Nyak Dien mengembang. Dadanya agak sedikit dibusungkan. Lalu dia ingat untuk menjaga tata krama. 

“Aku hanya menjalankan kewajiban,” ujarnya lagi, merendah.

“Lalu apakah perangku berhasil di masa depan?” tanyanya lagi. 

Fatmawati salah tingkah. Bagaimana menjelaskan pada tentara gerilya itu bahwa Belanda sudah pergi hanya untuk digantikan Jepang? Di masanya, revolusi tampak hampir berhasil. Namun dia tetap belum tahu apakah hal itu akan betulan menjadi nyata. Fatmawati hanya bisa melirik Eliyawati. 

“Sudah. Sudah berhasil semua. Sudah enggak ada penjajah sekarang,” kata Eliyawati. Sekarang dia bertanya-tanya dalam hati apakah polisi masih akan meladeni dua orang sinting yang mengaku loncat dari masa lalu? Jangan-jangan dia sendiri akan dituduh iseng. Dan polisi tak punya selera humor.

“Aku harus mencari cara kembali ke waktu dan tempatku,” kata Cut Nyak Dien. Dia menoleh ke Eliyawati. “Nona Eliyawati yang baik, apakah tempat dan masa ini adalah rumah Anda? Bolehkah memberi tempat untuk mengatur strategi?”

Eliyawati mengangguk lemah. Perempuan di hadapannya berperawakan besar dan bersenjata. Apa jadinya kalau dia menolak?

“Kita harus membuka mata dan telinga, barangkali ada yang lain yang juga tersesat di sini, dan bukan orang baik,” kata Cut Nyak Dien sambil menggenggam erat pedangnya. Dia mengamati tempat kakinya menapak.

“Bumi retak. Aku menduga ada keretakan di ruang dan masa yang mengakibatkan kita semua di sini,” lanjut Cut Nyak Dien. 

Wow, pikirannya sigap sekali, pikir Eliyawati. Dia melirik retak aneh itu. Untung bukan dia yang terlempar ke masa lalu. 

Eliyawati berkata bahwa lebih baik mereka mencari makan dulu di daerah Rasuna Said. Di Pasar Festival banyak tempat makan, katanya. Kelompok bertiga itu mulai berjalan ke arah yang ditunjuk Eliyawati. 

Di jalan raya di samping mereka, mobil dan motor dan bus-bus kota tetap merayap seperti biasa, seakan tidak terganggu oleh pemandangan perempuan-perempuan berkebaya dan bersenjata itu. Pejalan kaki pun hanya menggumam “Permisi” sebelum mendahului begitu saja. Seakan perempuan-perempuan ini tidak kelihatan aneh. Hanya satu atau dua yang menoleh dua kali, namun lalu teringat mereka ada tak jauh dari Balai Kartini. Mungkin ada acara cosplay atau ritual keagamaan untuk pernikahan seseorang nanti malam. 

Banyak juga orang masa kini yang menganggap kita harus kembali ke zaman perang dulu, di mana poligami dianjurkan. Ke zaman kerajaan dulu, di mana anak-anak di bawah umur dinikahkan. Ke zaman sebelum merdeka dulu, di mana tanah-tanah rakyat diambil untuk kepentingan bisnis!

Kelompok itu terus berjalan. Retak jalan terus menyambut setiap langkah mereka.

Mereka hendak berbelok ke kompleks Pasar Festival ketika Fatmawati mendengar namanya dipanggil. Seorang perempuan berjilbab dan berkacamata bundar berlari-lari kecil. Di belakangnya, perempuan lain berkebaya putih turut tergopoh-gopoh. 

“Fatmawati!” teriak perempuan itu lagi. Setelah cukup dekat, perempuan itu menyodorkan tangan ke arah Fatmawati, yang menyambutnya dengan ragu-ragu. Kenalkah dia dengan perempuan ini? 

“Aku Rasuna Said, anggota Dewan Perwakilan tahun 1950,” katanya, setelah mengatur napas. 

Indonesia punya dewan perwakilan di 1950, alhamdulillah, pikir Fatmawati. Pada tahun itu, Indonesia sudah merdeka dan fotonya bersama Sukarno sudah terpampang di koran-koran. Begitulah Rasuna Said mengenalinya. Namun tentu saja Fatmawati belum tahu. 

“Ibu Rasuna, beruntung sekali kita semua yang tersesat sama-sama dapat bertemu. Ini Cut Nyak Dien,” kata Fatmawati. 

“Dan ini Kartini,” kata Rasuna sambil menunjuk perempuan berkebaya putih di sebelahnya, yang langsung menyeringai dan melambai bersemangat. 

Eliyawati menghela napas panjang, entah ke berapa kalinya sore itu. 

Hujan deras tiba-tiba menghempas bagian kota itu. Halilintar menyala-nyala di balik awan gelap yang menebal tiba-tiba, dan gemuruh guntur menyambar-nyambar telinga.

Berlari-lari kehujanan, Eliyawati memimpin mereka berlima masuk ke tempat mereka bisa berteduh. Sebuah kafe kecil tua yang sepi pengunjung. Yang menjaga hanya seorang mbok-mbok tua dan anaknya.

Lucu juga, aku tidak pernah menyangka Rasuna Said itu perempuan, pikir Eliyawati, seraya mengibaskan rambutnya yang basah.

Setelah sama-sama duduk dan pesan minum, Kartini angkat bicara. 

“Aku tidak tahu apa penyebabnya, dan apakah kita semua bisa kembali ke masa kita masing-masing. Namun aku harus mengakui satu hal, setelah berbicara dengan Rasuna dan melihat kemajuan zaman, aku jadi tak ingin pulang!” 

Mereka berempat menatapnya. Kartini mungkin yang paling terkenal di antara mereka, dan yang lain tidak menyangka perempuan Jawa ini ternyata begitu riang dan banyak bicara.

Cut Nyak Dien berpikir keras. “Tidak ada sesuatu yang kebetulan. Pasti ada alasan kenapa kita semua di sini,” katanya.

Rasuna menyahut, “Mungkin ada yang menyumbat satu titik di kain waktu, sehingga dia melengkung dan patah-patah.”

Rasuna suka sekali membaca tulisan-tulisan Albert Einstein. Jadi dia punya sedikit teori abal-abal tentang waktu. Melihat yang lain hanya bisa bengong, dia melanjutkan.

“Begini,” katanya sambil meraih ujung kain penutup kepalanya, dan mengangkatnya agar yang lain dapat melihat dengan jelas.

“Katakanlah ini waktu. Kain ini rata – maka benda yang mengarungi kain ini maju seperti biasa.” Dia menaruh ujung telunjuk dan membuat garis di atas kain itu.

“Tapi coba sekarang kulipat-lipat kain ini,” kata Rasuna sambil menahan ujung kain dan membuat beberapa lipatan di tengahnya.

“Nah, jika sebuah jarum menembus lipatan-lipatan kain ini, jarum itu akan ’meloncat’ dari titik kain yang satu ke titik kain yang berikutnya kan? Nah, kita ini adalah jarum, dan kita meloncat karena kain waktu sedang terlipat-lipat,” kata Rasuna.

Yang lain mengangguk-angguk. Masuk akal juga, pikir mereka.

“Namun mengapa bisa terlipat?” tanya Fatmawati.

“Tidak tahu. Mungkin ada yang membuatnya tersumbat,” kata Rasuna.

Cut Nyak Dien berpaling pada Eliyawati.

“Nona, Anda adalah satu-satunya yang berasal dari masa kini. Apa pun yang menghambat kain waktu pasti berasal dari sini,” kata perempuan Aceh itu.

Eliyawati menatapnya balik putus asa.

“Bisa jadi Mbak betul,” kata Eliyawati.

Suara guntur semakin bergemuruh hebat, seakan mengepung kafe kecil itu. Deras hujan semakin memekakkan telinga.

“Aku pikir ini soal orang-orang di masa kini itu sendiri,” Kartini memekik keras, separuh untuk mengalahkan suara hujan dan guntur, separuh lagi karena memang dia terlanjur bersemangat oleh idenya sendiri.

“Kehidupan di masa Anda, Eliyawati yang terhormat, mandek. Mungkin kalian berputar-putar di tempat yang sama, bikin lecek kain waktu. Yang harusnya kalian melangkah maju, malah kalian melangkah di dalam lingkaran, atau malah ada yang berbalik berjalan mundur,” kata Kartini.

“Coba Anda pikir-pikir lagi, pasti tanda-tandanya sudah sering kelihatan,” bujuknya.

Eliyawati mengamati wajah perempuan-perempuan di hadapannya. Mereka semua meloncati waktu, kecuali dirinya. Kemudian Eliyawati tersadar. Pencerahan itu tiba-tiba jatuh kepadanya, seperti waktu apel jatuh ke atas kepala Newton.

“Mbak-mbak semua ini meloncat waktu,” Eliyawati berkata, “Karena Mbak-mbak ini selalu bekerja mendobrak waktu.” Mereka semua terkesiap.

“Coba pikirkan, apa yang Mbak-mbak lakukan di masa masing-masing belum pernah dilakukan sebelumnya bukan? Mbak Cut Nyak Dien, Aceh belum pernah berperang demikian besar melindungi dirinya dari penjajah. Mbak Kartini, di masamu belum pernah ada sekolah khusus putri di Jawa. Mbak Rasuna dan Mbak Fatmawati, kalian berdua bekerja untuk mendirikan negara baru Indonesia!” Eliyawati menatap semuanya bergantian.

“Di masa saya sekarang, kami semua melakukan sesuatu yang telah dilakukan sebelum-sebelumnya. Kami tidak mendobrak waktu. Mbak Kartini betul, malah orang-orang masa kini ingin kembali ke masa lalu! Saya beri contoh: tidak sedikit orang-orang masa kini yang berkata bahwa putri-putri mereka sebaiknya dirumahkan saja,” kata Eliyawati lagi.

Ngeri muncul di wajah para pahlawan perempuan itu.

“Di rumah saja bagaimana maksudnya??” Cut Nyak Dien meninggikan suara.

Rasuna mengangkat tangan supaya Eliyawati bisa melanjutkan.

“Banyak juga orang masa kini yang menganggap kita harus kembali ke zaman perang dulu, di mana poligami dianjurkan. Ke zaman kerajaan dulu, di mana anak-anak di bawah umur dinikahkan. Ke zaman sebelum merdeka dulu, di mana tanah-tanah rakyat diambil untuk kepentingan bisnis!”

Muka Cut Nyak Dien sudah hampir ungu. Dia marah sekali mendengar semua itu.

“Aku saja tidak mau kawin dengan Teuku Umar kalau dia tidak membolehkan aku angkat pedang,” kata Cut Nyak Dien, sambil memejamkan mata. Dia sulit percaya waktu mandek gara-gara sekelompok orang bodoh ingin kembali ke masa lalu.

Kartini pun tampak masygul. Capek-capek dia buat sekolah perempuan, malah sekarang kembali disuruh di rumah. Kecewa juga dia saat tahu orang sudah sempat sampai di mana poligami bukan lagi jadi norma, namun sekarang justru dianjurkan lagi.

Fatmawati dan Rasuna pun tidak tahu harus berkata apa. Mereka semua sangat sedih.

Setelah beberapa saat, Rasuna pun berkata, “Baiklah, kalau begitu kita bisa tinggal di sini untuk sementara, membantu orang masa kini meluruskan kain waktu.”

Mereka semua mengangguk-angguk setuju. Ya, apa susahnya menetap di Kota Jakarta sebentar, mengingatkan orang-orang untuk jangan kembali ke masa lalu? Kan tidak mungkin mereka semua sepelupa itu – lupa mana yang sudah pernah dilakukan mana yang belum – karena semua sudah tercatat dalam sejarah?

Di luar kafe, hujan mulai reda. Langit malam kembali tenang. Di ujung-ujung kota, retak-retak itu berhenti menjalar.



#waveforequality


Avatar
About Author

Antonia Timmerman

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *