Election 2024 Opini Politics & Society

Bagaimana Dakwah Politik Muslim Mendukung Dinasti Politik di Indonesia

Presiden Jokowi membangun dinasti politiknya tepat di depan batang hidung kita, seolah tanpa rasa takut ketahuan dan malu. Konon politik agama berperan dalam memuluskan rencana ini.

Avatar
  • February 23, 2024
  • 5 min read
  • 557 Views
Bagaimana Dakwah Politik Muslim Mendukung Dinasti Politik di Indonesia

Presiden Joko “Jokowi” Widodo menjadi tokoh politik besar terbaru di Indonesia yang mencoba membangun dinasti politiknya, sebuah konsentrasi kekuasaan politik yang melibatkan anggota keluarga.

Upaya Jokowi semakin nyata dengan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, yang kini menjadi calon wakil presiden pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 hari ini, meskipun pencalonannya telah memicu protes keras dan luas dari masyarakat.

 

 

Baca juga: Dinasti Politik Hari ini dan Cara Putus Rantainya

Gibran, saat ini berusia 36 tahun, mendaftarkan diri menjadi cawapres setelah Mahkamah Konstitusi (MK), yang dipimpin oleh adik ipar Jokowi, mengizinkan kandidat di bawah usia 40 tahun untuk mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden, asalkan mereka pernah/sedang menjabat sebagai pejabat publik. Sebelumnya, persyaratan usia untuk capres dan cawapres adalah minimal 40 tahun.

Baca juga: Sirkus dalam Debat Terakhir Cawapres 2024: Luber Gimik, Minim Misi dan Solusi Nyata

Contoh ini hanyalah permukaan dari suatu gunung es di kancah politik Indonesia pasca-Suharto. Praktik ini mengakar di semua tingkat politik, terutama di partai politik.

Sebagai pengamat yang memiliki ketertarikan mendalam terhadap politik dan agama, kami melihat bagaimana dinasti politik kerap dikaitkan dengan kesalahan persepsi publik tentang nilai-nilai kepemimpinan yang didasarkan pada ajaran agama.

Kecenderungan Gaya Kekaisaran

Dimulai pada abad ketujuh, kerajaan-kerajaan seperti Kerajaan Sriwijaya di Pulau Sumatra memerintah di Indonesia. Kemudian pada abad ke-13, kerajaan-kerajaan Islam muncul dan berkuasa hingga awal abad ke-20.

Candi Muara Takus adalah sebuah cagar budaya peninggalan zaman Kerajaan Sriwijaya yang terletak di Provinsi Riau.

Transisi dari masyarakat monarki ke masyarakat demokratis merupakan tantangan sulit bagi Indonesia karena membutuhkan perubahan pola pikir dari budaya tradisional ke gaya hidup modern.

Keengganan masyarakat Indonesia untuk menerima negara sekuler menunjukkan peran penting agama dalam politik. Umat Islam, yang mencakup sekitar 87 persen dari populasi Indonesia, merupakan pendukung terbesar bagi keberlanjutan peran agama dalam politik.

Dengan meningkatnya ketaatan beragama di Indonesia dalam satu dekade terakhir, penekanan peran agama dalam politik dan pemerintahan semakin kuat.

Sebagian umat Islam masih memandang para pemimpin mereka sebagai orang yang mendapatkan otoritas dari Tuhan untuk memerintah mereka. Umat Islam diwajibkan untuk bersumpah setia sesuai dengan konsep bay’ah yang dikemukakan oleh para cendekiawan politik Muslim.

Konsep bay’ah kurang sesuai dengan model negara modern yang sekuler karena sumpah hanya dapat dibatalkan jika seorang penguasa mengundurkan diri atau meninggal dunia – bukan dengan pengalihan kekuasaan melalui pemilihan umum.

Sebagai contoh, sumpah setia kepada Sultan Daud Shah, sultan terakhir Aceh, menjadi tidak berlaku hanya karena dua hal: kematiannya atau pengunduran dirinya kepada pemerintah kolonial Belanda. Jika ada orang yang mencoba untuk memilih penguasa lain ketika sultan masih hidup, maka hal tersebut secara konseptual akan dianggap sebagai pemberontakan yang melanggar hukum.

Beberapa umat Islam Indonesia juga masih percaya bahwa dalam politik, hubungan darah merupakan faktor penentu penting dalam kepemimpinan.

Seorang ustadz menyampaikan khotbah setelah salat Idul Fitri di Palembang, Sumatra Selatan.

Para pendakwah Muslim sering menggambarkan pemimpin yang ideal melalui perumpamaan, seperti Ratu Adil (penguasa yang adil dalam cerita rakyat Jawa) atau Khulafa’ Rasyidun (empat penguasa pertama dalam peradaban Islam).

Di antara kualitas kepemimpinan yang biasanya disorot oleh narasi ini adalah: keadilan mutlak, pemerintahan yang langgeng, kepribadian yang tanpa cela, religiusitas, dan menghadapi sedikit perlawanan atau menikmati dominasi yang mudah atas musuh. Seseorang yang memiliki kualitas-kualitas ini kemudian dipandang sebagai pemimpin yang baik.

Karena masyarakat Indonesia masih memandang pemimpin dalam kerangka kerajaan historis, keturunan seorang pemimpin diasumsikan mewarisi kualitas-kualitas ini.

Baca juga: Sulitnya Perempuan Masuk DPR, Kecuali dari Dinasti Politik

Salah satu contohnya datang dari Ustadz Adi Hidayat, seorang penceramah terkenal yang berafiliasi dengan Muhammadiyah, organisasi Muslim terbesar kedua di Indonesia. Dia membuat daftar lima sifat utama untuk seorang penguasa. Tiga di antaranya tidak akan berhasil dalam sistem republik, tetapi sangat cocok untuk seorang raja yang saleh, yaitu iman yang kuat, moralitas yang sempurna, dan mendapat bimbingan Ilahi.

Contoh lainnya adalah Gus Baha dari Nahdhiyyin (berafiliasi dengan Nahdhatul Ulama, organisasi Muslim terbesar di Indonesia), yang sering menceritakan kisah-kisah ideal para penguasa di masa lampau, salah satunya Nabi Sulaiman. Ia menggantikan ayahnya sebagai raja dan tidak dipilih secara demokratis.

Pengaruh Agama

Pengajaran semacam ini memberikan pemahaman yang lebih baik tentang keyakinan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan yang demokratis. Beberapa orang tidak dapat beralih dari dinasti monarki karena mereka akan selalu melihat perlunya pemimpin yang menyerupai Raja Sulaiman, misalnya, daripada pemimpin yang dipilih secara demokratis.

Para pendakwah ini secara tidak sengaja memperkuat kecenderungan politik dinasti di negara ini.

Dalam konteks pemilihan umum, para pengikut kelompok pendakwah kerap membenarkan suara mereka dengan narasi bimbingan ilahi, yang menekankan pada kesakralan seorang pemimpin.

Para pemimpin di semua tingkatan – terutama presiden – diharapkan oleh masyarakat untuk memiliki kesempurnaan moral dan karisma yang luar biasa. Bahkan mereka yang memiliki visi politik yang kuat pun dukungannya bisa berkurang jika tidak memiliki kepribadian yang tepat. Masih banyak orang yang menganggap kualitas-kualitas ini diwariskan dalam keluarga pemimpin, sehingga membentuk sebuah dinasti.

Agama akan selalu memegang peran penting dalam kehidupan dan politik Muslim di Indonesia. Tanpa pengajaran yang tepat tentang bagaimana kepemimpinan demokratis dapat bekerja melalui sudut pandang agama, politik dinasti akan tetap diterima secara moral dan budaya dalam perpolitikan Indonesia ke depannya.


Rahma Sekar Andini menerjemahkan artikel ini dari bahasa InggrisThe Conversation

Anggi Azzuhri, PhD candidate, Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) dan Musa Alkadzim, Mahasiswa, Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.


Avatar
About Author

Musa Alkadzim

Mahasiswa, Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII).