Darurat KBGO: Perempuan Jadi Korban Berulang, Pelaku Masih Bebas
Perempuan terus menjadi korban berulang kekerasan berbasis gender online. Apa yang bisa kita lakukan untuk mendukung para korban?

Kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) terus meningkat di Indonesia, namun respons penegakan hukum masih lemah. Perempuan yang menjadi korban tidak hanya menghadapi trauma akibat kejahatan yang dialami, tetapi juga penghakiman publik dan reviktimisasi yang berulang.
Contoh terbaru diungkap oleh akun X @Arummmanis, terkait perilaku seorang alumni Universitas Airlangga, Jonathan. Ia diduga melakukan pelecehan seksual di kampus dan tempat umum, termasuk toilet Trans Icon Mall Surabaya. Jonathan kedapatan mengintip dan merekam perempuan di toilet, lalu memperjualbelikan hasil rekaman tersebut di internet dengan harga ratusan ribu rupiah.
Diperkirakan ada puluhan korban perempuan setelah ditemukan file Google Drive berisi video “asusila” dalam ponselnya. Namun hingga saat ini, Jonathan masih bebas berkeliaran dan belum ditindak secara serius oleh aparat penegak hukum.
KBGO tidak hanya berdampak pada korban dalam bentuk pelanggaran privasi, tetapi juga menyebabkan tekanan mental, sosial, dan ekonomi yang berkepanjangan. “Fany” adalah salah satu korban yang menghadapi tekanan berat akibat penyebaran video pribadinya tanpa izin. Dia menghadapi tekanan publik yang luar biasa hingga akhirnya memutuskan mundur dari pekerjaannya. Dalam video klarifikasinya, Fany terlihat tertekan dan hanya bisa berharap agar hidupnya kembali normal.
Yang menjadi pertanyaan, mengapa korban yang harus meminta maaf, bukan pelaku penyebaran video tersebut? Fany bukan satu-satunya korban. “Asih” dan “Mira” juga mengalami nasib serupa—video pribadi mereka tersebar tanpa izin dan menjadi konsumsi publik. Mereka tidak hanya menjadi korban pelecehan, tetapi juga menjadi sasaran penghakiman sosial yang brutal.
Baca Juga : Pelibatan Laki-Laki dalam Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan
Reviktimisasi: Ketika Korban Terus Diserang
Menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), pada 2024 terdapat 272 kasus KBGO atau sekitar 57 persen dari total kasus kekerasan berbasis gender yang dilaporkan. Sebagian besar korban adalah perempuan berusia 18–25 tahun.
Aseanty Pahlevi, Kepala Divisi Kesetaraan dan Inklusi di SAFENet, mengatakan bahwa kasus Fany, Asih, dan Mira adalah contoh nyata dari reviktimisasi.
“Ketiga perempuan ini adalah korban, tetapi justru mereka yang harus menghadapi penghakiman publik, kehilangan pekerjaan, dan dipaksa meminta maaf. Ini adalah bentuk reviktimisasi—korban terus disalahkan dan diserang berulang kali,” ujarnya kepada Magdalene.
Ia menambahkan bahwa reviktimisasi dalam kasus KBGO biasanya terjadi melalui beberapa bentuk. Pertama adalah sextortion, atau pemerasan dengan ancaman menyebarkan konten intim. Kemudian doxing, yakni penyebaran informasi pribadi korban secara daring untuk mempermalukan atau mengintimidasi. Selain itu victim blaming, yaitu menyalahkan korban atas kejadian yang dialami, dan Non-Consensual Dissemination of Intimate Images alias penyebaran konten intim tanpa izin.
Setelah video viral, korban sering kali menghadapi tekanan untuk segera merespons situasi. Ketimbang mengamankan jejak digital, korban cenderung berusaha untuk membersihkan nama baik dan menyelamatkan pekerjaan mereka.
Baca Juga : Pelajaran Berharga Jadi Korban Kekerasan dalam Pacaran
Penegakan hukum lemah, media memperburuk situasi
Sepanjang tahun 2024, SAFENet mencatat 1.902 kasus KBGO dengan 1.756 aduan berasal langsung dari korban dan 146 aduan dari pelapor lain seperti keluarga, pasangan, dan teman korban.
Sebagian besar korban adalah perempuan berusia 18–25 tahun. Namun, hingga kini penegakan hukum masih terbilang lemah. Aseanty Pahlevi menyatakan bahwa penggunaan Undang-undang Informasi dan Teknologi Elektronik (UU ITE) dalam kasus KBGO sering kali tidak efektif dan malah memperburuk posisi korban.
Menurut Aseanty, aparat seharusnya menggunakan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), khususnya Pasal 14 ayat 1 huruf b dan ayat 2 huruf a, yang memungkinkan hukuman penjara hingga enam tahun dan denda sebesar Rp300 juta untuk pelaku penyebaran konten intim tanpa izin.
Reviktimisasi juga diperburuk oleh cara media meliput kasus ini. Jawa Pos, misalnya, pernah memuat artikel yang memuat nama-nama jelas korban KBGO di atas, dan membandingkan mana di antara mereka yang paling cantik, menjadikan korban sebagai objek perbandingan fisik.
Gelora News menulis artikel serupa berisi tanggapan warganet serta menjelaskan isi video yang tersebar di internet yang menguatkan narasi seksis dan mempermalukan korban. Alih-alih menyoroti pelaku, media justru mengeksploitasi korban untuk meningkatkan kunjungan dan klik.
Baca Juga : Berpakaian Tertutup atau Terbuka, Perempuan Bukan Obyek
Dukungan sosial untuk korban
Perempuan yang menjadi korban KBGO sering kali menghadapi tekanan mental yang berat dan membutuhkan dukungan dari lingkungan sekitar. Penelitian Luh Putu Devi Sukma dari Universitas Pendidikan Ganesha menunjukkan bahwa dukungan sosial, terutama dari keluarga dan teman, berperan penting dalam proses pemulihan korban kekerasan seksual.
Sayangnya, korban KBGO sering kali harus menghadapi situasi ini sendirian. Dalam siaran persnya, Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menekankan pentingnya peran masyarakat dalam mendorong lingkungan yang aman dan mendukung bagi perempuan dan anak, sekaligus meningkatkan kapasitas aparat penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual secara profesional dan sensitif.
Selama pelaku masih bebas dan hukum tidak ditegakkan dengan serius, kasus KBGO akan terus terjadi. Komitmen untuk melindungi korban dan menghukum pelaku adalah kunci untuk menghentikan siklus reviktimisasi ini.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
