People We Love

Dr Sadiah Boonstra dan Usahanya Membuat Museum Tetap Relevan

Sejarawan dan kurator Dr Sadiah Boonstra menekankan pentingnya dekolonialisasi museum agar suara orang-orang pinggiran tetap menggema.

Avatar
  • October 4, 2024
  • 8 min read
  • 1640 Views
Dr Sadiah Boonstra dan Usahanya Membuat Museum Tetap Relevan

Apa yang terlintas pertama di benakmu saat mendengar kata museum? Buat sebagian orang, museum identik dengan tempat jadul dengan koleksi barang-barang kuno alias old school. Karena kerap dianggap enggak relate dengan kehidupan serba modern, museum pun dicap membosankan. 

Namun hal membosankan tak berlaku buat Dr Sadiah Boonstra, Ketua Tim Transisi Kuratorial di Badan Museum dan Cagar Budaya Indonesia, Direktur dan Pendiri Culture Lab Consultancy Indonesia, peneliti di VU Universitas Amsterdam, dan juga Honorary Fellow di Universitas Melbourne. Buat Sadiah, museum adalah cinta sejatinya. Ia sudah merasa dekat dengan museum bahkan sejak usia kanak-kanak. Tepatnya ketika berkenalan dengan sejarah Yunani kuno dan Persia. Kepada Magdalene ia bilang, menjelajahi museum bak dibawa ke lorong waktu dengan seribu kisah umat manusia di dalamnya. 

 

 

“Saya semacam mengalami sejarah sebenarnya di museum. Instrumen-instrumen yang dipajang menjadi cerita tersendiri,” kata Sadiah. 

Pengalaman magis tiap datang ke museum akhirnya membuat Sadiah mengambil pendidikan Magister Studi Kurator di Universitas Amsterdam pada 2004. Ia penasaran bagaimana seseorang bisa memilih benda seni apa yang pantas masuk dalam museum. Ia juga ingin tahu, bagaimana cerita manusia dirangkai sedemikian rupa di museum. 

Baca juga: ‘Rumpang. Rimpang. Rampung’: Cara Lain Melihat Indonesia

Museum Sebagai Warisan Kolonial 

Rasa penasaran itu jadi bahan bakar Sadiah untuk mendalami karier sebagai kurator selepas lulus. Sayang, pekerjaan sebagai kurator bukan perkara mudah. Apalagi ada satu pelajaran penting yang ia dapati selama belajar dan berkarier di bidang ini. Ternyata konsep museum adalah warisan kolonial.  

“Museum adalah penemuan Eropa, bukan lokal. Dengan kolonialisme, konsep museum menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Bangsa Eropa, didorong oleh keinginan untuk menjelajahi dan mengategorikan dunia, mengumpulkan dan memamerkan benda-benda untuk mewakili orang dan budaya di luar Eropa. Museum, khususnya yang bersifat kolonial, etnografis, atau antropologis, mencoba menyajikan dunia dari perspektif Eropa,” jelas Sadiah pada Magdalene

Imagined Communities (1983), Benedict Anderson menegaskan konsep ini dengan mengatakan, museum berkontribusi dalam membangun kerajaan. Maka kata Sadiah, tidak heran sebagai lembaga utama masyarakat modern, bersama dengan universitas, museum andil dalam kolonialisme. Koleksi dan narasi yang mereka ciptakan membentuk cara pandang masyarakat Eropa terhadap budaya para pribumi yang mereka jajah. 

Sering kali budaya pribumi dipandang sebagai sesuatu yang berbeda atau “yang lain.” Proses yang Sadiah katakan sebagai pengasingan ini membantu membangun rasa superioritas Eropa dan menciptakan “arsip budaya” pengetahuan tentang dunia. Lewat proses inilah para penjajah mencuri dan mengambil alih suara-suara pribumi. 

Dalam konteks Indonesia, selama masa penjajahan Belanda, banyak benda dari Indonesia dibawa ke Eropa, khususnya ke Belanda. Namun, Belanda juga membangun museum di seluruh kepulauan Indonesia. Museum-museum tersebut menampung benda seni, keagamaan dan sejarah, perhiasan, spesimen sejarah alam, serta benda sehari-hari. Bahkan sisa-sisa manusia dan artefak leluhur berakhir di museum-museum Belanda sebagai koleksi etnografi mereka baik di Belanda maupun Indonesia. 

Sejak kemerdekaan Indonesia, banyak pengelolaan museum di Indonesia telah diambil alih oleh Indonesia. Meski begitu, pemerintah Indonesia bertindak sebagai penjaga koleksi saja. Mereka masih mempertahankan kategorisasi dan klasifikasi koleksi tersebut. 

“Ini berarti perspektif kolonial yang membingkai koleksi tersebut masih ada di banyak museum kita. Kategorisasi dan klasifikasi pada gilirannya mengarah pada cara kita memahami objek dan menciptakan serta menghasilkan pengetahuan tentang koleksi. Dengan kata lain, praktik koleksi dan pameran kolonial terus merambah ke praktik museum kontemporer,” tutur Sadiah. 

Kita bisa melihat contoh nyatanya lewat keberadaan Museum Nasional Indonesia (MNI). Dalam tulisan Sadiah Maret lalu di Inside Indonesia, ia menjelaskan, pada 1868, Bataviaasch Genootschap voor Kunsten en Wetenschappen atau Perkumpulan Seni dan Ilmu Pengetahuan Batavia mendirikan MNI (dulu dinamakan Museum Batavia). Museum tersebut punya fungsi sama dengan museum-museum kolonial di Belanda, yaitu memamerkan kekayaan koloni. 

“Belanda menggunakan Museum Batavia untuk menampilkan citra diri sebagai kekuatan kolonial yang baik hati. Mereka memosisikan diri sebagai penguasa wilayah yang luas dan penjaga budaya. Caranya dengan menonjolkan kemegahan museum bergaya kolonial, dan koleksinya meliputi benda-benda berupa perabot, meriam, gelas, keramik yang disusun berdasarkan kategori,” tulis Sadiah. 

Mengutip tesis A comparative study of the management and activities of the Batavian Society of Arts and Sciences and the National Museum of Indonesia Tania Anjani Maulana (2023) Sadiah menambahkan, pendekatan kategoris kurangnya deskripsi menegaskan, museum bukan untuk pribumi. Sebaliknya, audiens yang dituju secara eksklusif mengarah pada sekelompok kecil akademisi dan pakar Eropa. 

Sayangnya, saat pameran di MNI diperbarui pada akhir 2010-an, nilai-nilai dan perspektif kolonial Belanda tercermin dalam penyajian benda-benda nasionalis di museum. MNI terus menerapkan kategori yang dikembangkan oleh Batavian Society, termasuk koleksi prasejarah, arkeologi, etnografi, numismatik dan heraldik, geografis, keramik, serta sejarah. 

Baca Juga:  ‘The Subject of Herstory’: Menyoal Identitas Perempuan lewat Seni 

Pentingnya Dekolonialisasi 

Cendekiawan Adieyatna Fajri berpendapat, kentalnya narasi kolonial dalam museum telah menyebabkan kekerasan pribumi oleh kolonialis dipinggirkan. Meski banyak referensi, fenomena kekerasan sebagai alat kolonialis tidak pernah dibahas atau jadi objek di museum. 

Fajri menyebut MNI telah memberi kesan kekerasan adalah ciri alami kolonialisme. Ini membuat kekerasan kolonial dianggap sebagai hal yang lumrah dan tidak perlu dijelaskan konteksnya. Dengan melakukan hal itu, museum mempromosikan kepercayaan bias. Bahwa imperialisme Belanda ternyata jinak dan baik hati. Dengan alasan inilah dekolonialisasi sangat dibutuhkan untuk mereformasi ulang museum-museum yang telah lama jadi perpanjangan tangan kolonial. 

Dekolonisasi merupakan praktik mendestabilisasi gagasan, struktur kekuasaan, dan geografi kolonial, dan mengembalikannya kepada pribumi. Buat Sadiah, ini adalah tentang kesetaraan. 

Main starting point-nya adalah semua orang itu equal. Dekolonialisasi itu selalu dengan memberi perspektif baru yang mana jika dulu perspektif yang dijajah didominasi oleh orang kulit putih, kita harus bring former colonized to the same level as their former colonizer,” tutur Sadiah. 

Cara dekolonialisasi museum bisa dilakukan dengan berbagai cara. Hal pertama adalah dengan penulisan ulang sejarah benda-benda dengan cara melakukan pemulangan benda-benda curian kolonial. Pemulangan ini kata Sadiah mulai dilakukan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. 

Lewat pembentukan membentuk mekanisme baru yang dinegosiasikan dengan Belanda pada Juli 2023, pemerintah berhasil memulangkan arca dari candi Singosari abad ketiga belas yang diambil oleh Belanda pada awal abad kesembilan belas, benda-benda yang dijarah selama perang Lombok pada 1894, keris yang disita di Klungkung pada 1908, dan koleksi seni Bali modern. 

Sadiah mengungkapkan pemulangan benda-benda ini merupakan langkah maju yang positif dalam proses dekolonialisasi museum-museum kita. Sayangnya masih terdapat kesenjangan besar antara penerapan kebijakan dekolonial dan praktik pembuatan pameran. Badan Layanan Umum Museum dan Cagar Budaya (BLU MCB) kemudian dibentuk difokuskan untuk mengatasi hal ini. 

Badan di mana Sadiah juga merupakan bagian di dalamnya pada 2022-2023 itu, menggabungkan pengelolaan delapan belas museum dan 34 situs warisan, termasuk MNI, di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Lewat pembentukan (BLU MCB), museum-museum Indonesia nantinya jadi tak sekadar memajang benda-benda bersejarah, tetapi jadi ruang belajar yang terbuka dan inklusif bagi masyarakat Indonesia. 

Walau sudah ada langkah-langkah konkret yang dilakukan pemerintah untuk mendekolonialisasi museum, Sadiah merasa masih ada hal yang bisa dilakukan pemerintah untuk bisa mengoptimalkan proses dekolonialisasi museum. Menurutnya pemerintah Indonesia harus mulai memikirkan cara untuk membuka koleksi melalui pangkalan data. 

Hal ini penting untuk berbagai alasan, terutama karena koleksi museum yang bersifat nasional atau regional dirawat dengan uang pembayar pajak. Karena itu, koleksi publik harus bersifat publik, yang berarti dapat diakses oleh publik dengan cara yang lebih transparan. 

Baca juga: Marissa Anita Bercerita Lewat Akting dan Jurnalistik 

“Apa yang terjadi ketika museum membuka koleksinya adalah publik akan mulai berhubungan dengan koleksi dengan cara yang berbeda. Tidak hanya kurator yang menjadi penjaga koleksi, tetapi juga publik. Ini berarti bahwa pengetahuan yang berkaitan dengan benda-benda tersebut juga dapat diperkaya oleh pengetahuan dan keahlian orang-orang di luar museum,” ungkapnya.

Sadiah menambahkan, sebagai contoh seratus tahun yang lalu sebuah benda dikumpulkan oleh Belanda dari sebuah komunitas etnis lokal di Sulawesi, namun informasinya tidak terdokumentasikan secara lengkap dalam sistem inventarisasi atau tulisan kolonial. 

Para kurator di museum sekarang tidak tahu persis apa fungsinya. Namun benda-benda serupa masih digunakan oleh komunitas tersebut di Sulawesi, sehingga kita dapat langsung belajar dari komunitas tersebut tentang benda tersebut tanpa harus bergantung pada sumber-sumber kolonial. Ini adalah praktik nyata dari dekolonisasi. Memberikan kembali ruang dan suara pribumi yang dahulu direpresi. 

Ada satu penting yang harus dilakukan sebelum membuka koleksi dan membuatnya dapat diakses publik. Koleksi dapat diakses juga berarti bahwa kita perlu memahami koleksi dan benda-benda serta item-item yang ada di dalam koleksi tersebut. Untuk itu diperlukan penelitian untuk dapat memahami makna dari benda-benda tersebut dan menjelaskannya dalam pameran kepada publik. 

“Sebagai contoh, jika ada banyak benda dan benda-benda tersebut hanya dipajang tanpa penjelasan, apa gunanya? Maka orang tidak akan mengerti maknanya dan hanya bisa menikmati bagian visualnya saja. Objek hanya memiliki makna ketika maknanya dijelaskan kepada kita, jadi untuk itu diperlukan penelitian,” tutup Sadiah. 



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *