Dengan Kompromi, Kita Melestarikan Budaya Pemerkosaan
Perseteruan antara dua komikus menyadarkan betapa sebagian besar dari kita telah permisif dengan kekerasan seksual yang ditampilkan, salah satunya lewat bahasa gambar.
“Ah, itu cuma gambar,” sering kita berdalih, “Tak perlu diambil serius.”
Tak jarang juga kita berkelit, “Ah, itu cuma tulisan. Tak usah dipikirkan.”
Namun, kita lupa, ada kalanya bahasa yang kita pelihara bisa menjadi senjata. Ia bahkan bisa membenarkan kita untuk memerkosa.
Sebagai pekerja grafis, saya mengikuti sejumlah komikus dan ilustrator di Facebook. Namun, Senin lalu (31/10), saya ditampar habis-habisan: betapa kita telah lama abai dan permisif pada kekerasan simbolis.
K. Jati, seorang komikus yang saya ikuti, membuat sebuah komik strip yang diduga adalah tanggapan atas persoalan pribadinya dengan SR, sesama komikus. Saya sendiri rutin mengikuti seri komik God You Must Be Joking (GYMBJ) karya Jati maupun komik buatan SR. Namun, selain GYMBJ, Jati juga membuat komik-komik underground bermuatan seksual yang tak jarang mengandung sadisme dan pedofilia. SR tidak setuju terhadap kecenderungan karya Jati dan menyatakan ketidaksukaannya pada para penerbit yang mendistribusikan komik itu.
Tak lama, di akun Twitternya, Jati membuat sebuah komik strip bertema pemerkosaan dan inses menggunakan tokoh-tokoh yang biasa ada di komik SR, yaitu tokoh ibu dan anak laki-lakinya. Komik ini sudah dihapus dari Twitter Jati, tapi saya sempat melihatnya. Dalam komik itu, si anak dipaksa untuk memuaskan hasrat seksual sang ibu, dan adegan seksual itu digambarkan serta-merta, tanpa motivasi apa pun dalam cerita. Di akhir panel, karakter Gigi Dua berkata, “Wanita amoral.”
Dukungan terhadap SR pun bergulir di antara komunitas komik dengan menambahkan sebuah tagar di akhir pernyataan sikap mereka. Ketika tulisan ini diselesaikan, SR telah merespons salah satu dukungan tersebut dan meminta agar kasus ini tak dibuat lebih viral lagi. Saya memahami pertimbangannya, mengingat ada anak yang turut dilibatkan. Namun, tanpa mengurangi rasa hormat saya, tulisan ini tetap saya buat. Bukan untuk ikut arus sensasi, tapi untuk menyampaikan satu hal genting: kekerasan simbolis harus berhenti kita toleransi.
Kompromi simbol dan legitimasi kekerasan
Saya jijik, marah dan terluka, bukan hanya karena isi komik tersebut, tapi juga karena saya baru menyadari bahwa selama ini saya turut berkompromi dengan narasi-narasi dalam komik Jati. Saya menyukai komik-komiknya yang bicara soal filsafat, sambil berpura-pura merasa tak ada yang salah dari komik-komik pornonya, yang sesungguhnya tak jarang menganggu saya. Itu pula yang saya lakukan pada beberapa komik strip yang politically incorrect lainnya di jagat maya.
Ketika gambar dan narasi yang kerangka pertimbangan moralnya melenceng itu mengusik saya, saya berkompromi, seringkali dengan dalih, “Memang begitu kok pilihan berkaryanya.” Ketidaksesuaian kerangka pertimbangan moral dalam gambar dan narasi yang saya lihat dan baca itu saya anggap sebagai salah satu gejala para pembuatnya saja dalam mengartikulasikan kreativitas. Tak ada yang genting dari sana.
Namun, kejadian kemarin membuat saya tersentak: ada kekerasan yang secara sepi dan lamban tengah saya rayakan di saat saya terus berkompromi. Kita seringkali tidak sadar bahwa kekerasan subtil itu akan tumbuh dan tertata. Perlahan, ia akan terlegitimasi menjadi sebuah mekanisme pemaknaan simbol-simbol yang lebih besar, membiarkan kita mengulang-ulang upaya pembenaran itu dari waktu ke waktu.
Sebagai pekerja grafis, saya sadar akan peran saya dalam menciptakan citra untuk membangun persepsi. Simbol-simbol dibekali makna, dinjeksikan ke publik untuk dikonsumsi, lalu terlegitimasi menjadi sebuah kebenaran. Demikian pula dalam kasus komik Jati (yang ia lengkapi dengan tagar-tagar, antara lain, #incest, #sex dan #milf). Kita tidak lagi memperkarakan “siapa” (karena pendukung Jati membela dengan, “Siapa tahu itu bukan SR. Namanya saja kebetulan sama”), kita tengah memperkarakan “apa”, yakni: (1) Pemerkosaan (interaksi seksual tanpa konsensus), dan (2) Inses.
Apakah candaan pemerkosaan inses itu jenaka? Tanyakan pada para penyintas yang harus menghadapi hidupnya dengan trauma. Kamu tahu fakta umum bahwa 1 dari 3 perempuan pernah mengalami kekerasan seksual dalam hidupnya? Tahu apa yang brengsek dari fakta itu? Karena dalam sebuah kelompok feminis yang pernah saya ikuti, perbandingannya nyaris tepat: tiap satu dari 3-4 di antara kami pernah mengalami pelecehan seksual. Yang lebih brengsek lagi? Satu dari 3-4 di antara kami mengalami pelecehan ketika usia kami bahkan belum genap 10 tahun, ketika kami masih kanak-kanak. Yang makin brengsek lagi? Pelakunya sama-sama masih punya hubungan darah, dekat maupun jauh. Pertentangan antara hormat dan amuk, ketenteraman dan kemarahan, serta trauma harus ditemui sepanjang sisa usia. Lantas, apakah pemerkosaan inses terhadap anak masih bisa kita anggap jenaka, masih bisa membawa bahagia?
Perkara “apa” inilah yang rutin kita kompromikan dengan dalih, “Itu kan cuma cerita”, “Itu kan cuma bercanda”, “Itu kan cuma gambar”. Cuma, cuma, dan cuma. Padahal, simbol-simbol yang “cuma” inilah yang justru tengah kita pelihara menjadi senjata.
Sayangnya, karena kekerasan yang terjadi dalam kekerasan simbolis memiliki implikasi tak langsung, kita melonggarkan diri. Seakan-akan pemerkosaan dan bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya terjadi tanpa adanya kausalitas struktural. Seakan-akan bersifat permisif terhadap simbol-simbol tak sedang mengikutsertakan kita dalam budaya pemerkosaan itu sendiri. Padahal, kekerasan simbolis itu justru berkelindan dengan semua bentuk tindakan, struktur pengetahuan, dan struktur kesadaran individual.
Ambillah contoh kecenderungan kita dalam melihat hentai, chikan porn, maupun berbagai produk pornografi lainnya yang mengeksplorasi kepuasan seksual lewat relasi timpang tanpa konsensus. Kekerasan dibingkai secara estetis di dalamnya hingga mengaburkan pertimbangan-pertimbangan etis yang harusnya tetap melekat padanya.
Hubungan seksual paksa dirangkai dalam komposisi gambar yang menyenangkan secara visual (tentu bagi kelompok dominan), serta didukung dengan narasi yang membelokkan persepsi kita dalam melihat ketimpangan relasi itu. Narasi pelecehan seksual dalam modus estetika kekerasan itu kita anulir, “Itu kan fiksi”, “Itu kan hanya cerita”, “Itu kan bukan di dunia nyata”, dan seterusnya.
Kerangka persepsi terhadap simbol-simbol inilah yang tanpa kita sadari secara perlahan kita biarkan membentuk struktur berpikir kita sehari-hari. Sehingga, bukan tak jarang ketika relasi yang timpang itu terjadi di dunia nyata, pledoi yang keluar adalah, “Ya kan hanya meniru dari film-film bokep itu.”
Senyata-nyatanya simbol, senyata-nyatanya kekerasan
Tulisan ini dibuat bukan untuk menuding-nuding dan menjadikan Jati tenar, tapi untuk mengingatkan kita pada nalar. Tulisan ini dibuat untuk mengingatkan kita untuk angkat suara dan berani bicara benar. Kekerasan seksual—dalam segala bentuk dan ragam akarnya—adalah perkara yang nyata dan genting. Senyata-nyatanya dan segenting-gentingnya simbol-simbol yang kita nikmati dan hidupi sehari-hari. Betapa pilunya mendengarkan lantunan, “‘Til it happens to you, you won’t know. It won’t be real.”
Dukungan dan keberpihakan para komikus kawan-kawan SR—yang mayoritasnya laki-laki—setidaknya menyatakan bahwa kita masih punya harapan. Meski demikian, apakah sikap kita terhadap budaya kekerasan dan kekerasan simbolis baru sahih ketika kita sendiri atau orang-orang terdekat yang mengalaminya?
Komik K. Jati bukan satu-satunya yang mempromosikan budaya pemerkosaan. Sebutlah beberapa komik tahilalats atau dyusuv, misalnya. Komik-komik itu kita anulir karena tokoh-tokohnya tak bernama, hingga seolah-olah narasi di dalamnya tak nyata. Sementara narasi gagasan yang disebarluaskan dalam simbol gambar komik itu akan tetap nyata dan terlegitimasi dalam keseharian. Jika saja tokoh dalam komik Jati itu bukan bernama sama dengan tokoh komik SR—hingga ia berjarak dari realitas kita—masihkah kita memiliki amarah yang sama?
Kekerasan simbolis menempatkan perempuan—terutama dalam pergerakan budaya populer di tengah kencangnya era digital ini—untuk tidak akan pernah bisa lepas dari dominasi male gaze. Citra perempuan dibuat tak lebih dari sekadar obyek pemberi kepuasan bagi laki-laki (hetero), bukan sebagai subyek individu.
Sejumlah komikus menganjurkan agar para pembaca komik berhenti memberi dukungan pada Jati dan menghentikan distribusi komik-komik Jati. Beberapa pihak menanggapi dengan mengatakan bahwa kita boleh saja tidak setuju dengan Jati, tapi kita tidak berhak untuk membunuh kariernya sebagai komikus karena dia butuh makan dan harus memberi makan keluarganya.
Kita dibuat percaya bahwa pertimbangan-pertimbangan dalam praktik ekonomis harus selalu terpisah dari pertimbangan-pertimbangan dan praktik etis. Padahal keduanya harusnya bisa berkelindan. Hak seseorang untuk mengembangkan talentanya dan bertahan hidup tak bisa menjadi pembenaran untuk merenggut hak orang lain untuk diperlakukan selayak-layaknya manusia, yang juga berhak untuk bertahan hidup secara materiil dan non-materiil.
Hanya masyarakat yang menghidupi budaya pemerkosaan dan merayakan kekerasan simbolis yang lebih memikiran masa depan dan nasib pelaku kekerasan, daripada memikirkan masa depan dan nasib korban kekerasan.
Melalui tulisan ini, saya menyatakan keberpihakan bukan hanya pada SR, namun pada para perempuan lain yang hidup dalam kerangka dominasi patriarki. Diam ketika kekerasan terjadi berarti menjadi bagian dari kekerasan itu sendiri, bahkan terhadap kekerasan sesubtil kekerasan simbolis sekalipun. Selama kita berkompromi dengan kekerasan simbolis, selama itu pula kita merawat kekerasan psikis dan fisik untuk terus hidup (bahkan tersistematisasi) dalam kehidupan kita sehari-hari. Enough is enough.
Ellena Ekarahendy adalah seorang INTP-Scorpio yang menghidupi diri sebagai pekerja grafis serabutan dan juru ketik musiman. Kerap melamunkan politik bahasa gambar dan kata dalam budaya populer, gender, seksualitas, hak asasi manusia, dan siasat-siasat untuk merangkai itu semua.