Issues

Anak Perempuan Dibuang, Anak Lelaki Disayang

Di banyak tradisi dan sejarah manusia, orang tua takkan berhenti melahirkan, sebelum punya anak lelaki di keluarga. Bagaimana penjelasannya?

Avatar
  • October 14, 2023
  • 7 min read
  • 1430 Views
Anak Perempuan Dibuang, Anak Lelaki Disayang

“Amalta”, 24 menceritakan rasa dukanya menjadi anak sulung perempuan di keluarga Batak. Salah satunya ketika orang tua menaruh ekspektasi lebih besar pada adik laki-laki pertama, termasuk dalam urusan pendidikan. Sang ayah enggak begitu mengejar Amalta, untuk melanjutkan pendidikan strata dua. Berbeda dengan “Adrian”, adik laki-lakinya, yang berulang kali ditekankan agar sekolah setinggi mungkin.

“Papa sering bilang ke Adrian, ‘Kamu kan laki-laki, penerus marganya papa. Jadi harus pintar,’” cerita Amalta pada Magdalene, (8/10).

 

 

Suku Batak memang masih memberlakukan sistem kekerabatan patrilineal berdasarkan garis keturunan laki-laki. Ini membuat kedudukan laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan, karena berperan sebagai penerus marga, ahli waris, sekaligus pengambil keputusan. Sistem patrilineal ini tergambar dari perlakuan ayah Amalta pada Adrian, sekali pun Amalta adalah anak tertua dan akan menerima gelar magister nantinya.

Keinginan ayah Amalta didukung oleh latar belakang keluarga: Kebanyakan berprofesi sebagai dokter dan lulusan perguruan tinggi negeri (PTN). Di antara saudara kandungnya, ayah Amalta merupakan satu dari dua orang, yang anggota keluarganya belum memiliki “pencapaian” tersebut.

Di samping itu, Amalta enggak melihat perbedaan dari cara orang tua memperlakukan anak laki-laki dan perempuan. Menurut Amalta, dalam keluarga besarnya, pembedaan perlakuan cenderung bersifat generational. Sebab, kakek dan nenek dari pihak ibu lebih memanjakan paman dari Amalta, selaku anak laki-laki satu-satunya dari empat bersaudara.

“Om tuh anak bungsu dan dinantikan banget. Makanya nerima perlakuan khusus dari opung (sebutan untuk kakek dan nenek dalam keluarga Batak),” tutur Amalta. “Kayak pas lahir dibuatin pesta di kampung sampai nyembelih hewan. Kalau nakal juga enggak pernah ditegur.”

Perlakuan mengistimewakan dan punya preferensi terhadap anak laki-laki itu merupakan bagian dari diskriminasi berbasis gender. Yang enggak disadari, perbuatan itu merugikan—bahkan membahayakan—anak perempuan. Mirisnya, juga terjadi di berbagai tempat dan latar belakang budaya.

Baca Juga: Yang Tak Dibicarakan dari ‘Gender Disappointment’ atau Kecewa dengan Kelamin Bayi

Yang Tak Dilihat dari Preferensi Jenis Kelamin Anak

Di balik preferensi orang tua terhadap jenis kelamin anak, ada berbagai faktor yang melatarbelakangi. Contohnya faktor sosial dan keagamaan bagi suku Bali, yang menganut sistem patrilineal.

Mereka memandang anak laki-laki punya posisi penting sebagai penerus keturunan, sehingga diutamakan menjadi ahli waris—baik harta maupun melakukan tugas dan kewajiban setelah orang tua meninggal. Menurut Ni Nyoman Rahmawati dalam studinya, Budaya Bali dan Kedudukan Perempuan Setelah Menikah (Perspektif Hukum Waris Hindu) (2021), hal itu didukung oleh kepercayaan, laki-laki akan menyelamatkan leluhur dari siksaan api neraka.

Karena itu, anak laki-laki yang berumah tangga bertugas untuk merawat orang tua di usia senja, dan menjalankan peran mereka sebagai anggota masyarakat. Kemudian memelihara pura di depan rumah, serta melaksanakan ritual Pitra Yadnya—pemujaan yang ditujukan pada leluhur sekaligus penghormatan pada orang tua yang meninggal.

Sementara, peran anak perempuan dikesampingkan. Sebab, setelah menikah, mereka akan ikut suami dan menjalankan kewajiban bersama: Menjadi penerus keturunan, melaksanakan pemujaan kepada leluhur dan anggota masyarakat, serta mengelola sawah dan ladang.

Lain halnya apabila keluarga tidak memiliki anak laki-laki, atau cuma punya anak tunggal perempuan. Akan dilakukan pengangkatan anak perempuan yang kedudukannya menjadi purusa, sehingga bisa menjadi ahli waris dan penerus keluarga.

Ada juga faktor ekonomi, yang mendorong pasangan cenderung memilih anak laki-laki sebagai garis keturunan. Seperti di Cina. Bagi masyarakatnya, anak laki-laki lebih kuat dan mampu melakukan lebih banyak pekerjaan. Karena itu, kelak mereka yang akan merawat orang tua, agar memiliki kehidupan yang lebih baik.

Kondisi tersebut turut dilatarbelakangi oleh Konfusianisme, kepercayaan tradisional di Cina. Patriarki adalah salah satu nilai inti yang dipegang, sehingga preferensi terhadap anak laki-lakinya sangat kuat untuk menjadi penerus keluarga. Sedangkan jika tidak ada anak laki-laki, silsilah keluarga akan terputus. Ini bahkan dapat menyebabkan perceraian bagi sebagian pasangan.

Selain faktor kepercayaan, kecenderungan melahirkan anak laki-laki diperkuat dengan pemberlakuan Kebijakan Satu Anak, yang ditetapkan pemerintah pada 1980 hingga 2016. Sesuai namanya, kebijakan itu mengharuskan setiap keluarga hanya memiliki satu anak. Tujuannya untuk menahan pertumbuhan populasi, sekaligus memfasilitasi pertumbuhan ekonomi.

Melansir The Guardian, sebenarnya terdapat pengecualian bagi sejumlah area di Cina, yang diperbolehkan punya dua anak. Misalnya keluarga etnis minoritas, dan pasangan yang keduanya anak tunggal. Begitu pun keluarga yang tinggal di pedesaan, apabila anak pertamanya perempuan.

Baca Juga: Ekspektasi Gender Bebani Anak Sejak Lahir

Namun, Kebijakan Satu Anak akhirnya menyebabkan ketimpangan rasio jenis kelamin, dan aborsi selektif berdasarkan jenis kelamin—yang dilakukan dengan tidak aman, ilegal, atau berujung pada pembunuhan bayi perempuan. Bahkan, menurut Lisa Cameron dalam risetnya pada 2017 menyebutkan, ketimpangan ini juga melatarbelakangi peningkatan angka kriminalitas. Penyebabnya adalah laki-laki, yang berusaha terlihat menarik secara finansial, demi mendapatkan pasangan dan menikah.

Situasi serupa terjadi di India. Awalnya anak perempuan ingin menikah, keluarga harus memberikan mahar pernikahan sebagai syarat pemberian hak bagi calon istri, untuk menjadi anggota keluarga calon suami seutuhnya. Contohnya berupa emas, perhiasan, atau barang berharga lainnya.

Seiring berjalannya waktu, terjadi perubahan pada mahar pernikahan. Bukannya memberikan kestabilan finansial bagi pengantin perempuan, mahar justru dibayarkan pada keluarga pengantin laki-laki untuk membantu biaya pernikahan—bahkan dianggap sebagai penghasilan keluarga mereka.

Hal itu membebani keluarga perempuan. Karenanya,  banyak perempuan dilecehkan, dipukuli, ditinggalkan, dan dibakar sampai meninggal. Sedangkan ibu yang mengandung janin perempuan, akan memilih aborsi agar tidak membebankan finansial orang tua. Kalaupun keluarga menginginkan anak perempuan karena selama ini anaknya laki-laki, kehadirannya diharapkan untuk membantu ibu melakukan pekerjaan domestik.

Berbeda dengan bayi laki-laki, yang kelahirannya akan disambut dan dirayakan. Kehadiran mereka dilihat sebagai pembawa keuntungan finansial. Salah satunya saat menikah, dan menerima mahar dari pihak perempuan.

Berkaca dari realitas dan dampak dari preferensi jenis kelamin anak, terlihat bagaimana diskriminasi berbasis gender terjadi secara sistemik dan tidak disadari. Anak laki-laki lebih diprioritaskan, dalam pendidikan tinggi dan harta kekayaan keluarga.

Komisioner Komnas Perempuan Rainy Hutabarat melihat, dalam kondisi ini terdapat korelasi antara kemiskinan, keluarga dalam kerangka nilai patriarki, serta pernikahan dini. Ia pun mengkhawatirkan, angka pernikahan dini dan/atau dispensasi pernikahan dapat meningkat. Seperti pandemi lalu: Badan Peradilan Agama mencatat, jumlah kasus pada 2021 lebih tinggi 17,54 persen dibandingkan 2022, yaitu sebanyak 61.499 kasus. 

Lalu, apa yang dapat dilakukan untuk mengatasinya? 

Baca Juga: Mengapa Orang Tua Perlu Berhenti Tentukan Gender Anak Sejak Awal?

Ubah Pandangan tentang Preferensi Jenis Kelamin

Pada 2022, pemerintah Cina mengarahkan masyarakat agar tidak mengaborsi janin, yang tidak diperlukan secara medis. Upaya tersebut dilakukan untuk meningkatkan angka kelahiran, sekaligus mencegah aborsi selektif berdasarkan jenis kelamin—dibarengi dengan penetapan hukum. Sebab, terdapat ketimpangan rasio jenis kelamin pada 2021—dari 1,4 miliar penduduk, jumlah laki-laki mencapai hampir 35 juta lebih banyak dibandingkan perempuan.

Selain itu, untuk mengubah preferensi jenis kelamin bayi, pemerintah Cina juga memberikan subsidi tambahan. Subsidi itu diperuntukkan untuk pasangan yang tidak memakai haknya melahirkan anak kedua, setelah melahirkan anak perempuan.

Meski demikian, sejumlah pihak mengkhawatirkan upaya tersebut. Di artikel The Guardian yang sama, akademisi di Lund University, Swedia—Lisa Eklund menjelaskan, pemanfaatan norma-norma gender hanya merebut simpati dalam jangka pendek. Sementara jangka panjang akan mempertebal stereotip terhadap perempuan, dan kembali pada preferensi untuk punya anak laki-laki.

Salah satunya perihal anak perempuan yang diasumsikan lebih rentan. Dengan kata lain, ada pesan anak perempuan enggak seberharga laki-laki dan keluarga yang punya anak perempuan membutuhkan dukungan finansial.

Lalu bagaimana kondisi di Indonesia?

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, pada 2022 rasio jenis kelamin penduduk Indonesia mencapai 102,2. Pada dasarnya, rasio jenis kelamin 100 mencerminkan keseimbangan jumlah antara laki-laki dan perempuan. Berdasarkan angka itu, berarti dalam setiap populasi yang terdiri dari 100 orang perempuan, terdapat 102 orang laki-laki. Adapun populasi laki-laki tertinggi berada di Papua, dengan rasio 113,5. Sementara provinsi yang didominasi perempuan terletak di Yogyakarta, rasionya 98.

Dari rasio tersebut, dapat dilihat jumlah populasi laki-laki dan perempuan di Indonesia sudah cukup merata—meski sebagian orang dari etnik yang patrilineal masih punya keinginan melahirkan anak laki-laki.

Untuk mengurangi preferensi jenis kelamin anak, Rainy menyebutkan ada hal terkait sosialisasi kesetaraan dan keadilan gender di keluarga, yang bisa dilakukan. Secara khusus oleh pemimpin dan lembaga agama, serta lembaga pendidikan. Sebab, kitab suci agama mengandung nilai-nilai patriarki.

“Masyarakat Indonesia masih menempatkan kitab suci sebagai acuan pedoman nilai-nilai hidup,” terang Rainy. “Pertanyaannya, bagaimana membaca ulang narasi kitab suci, agar pesan-pesannya tidak membelenggu perempuan, atau anak perempuan?”

Rainy melanjutkan, upaya tersebut dapat diikuti dengan pendidikan kesetaraan gender sedini mungkin, yaitu di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *