“Oncom dropping off Calgary, 22 November, jika masih ada yang mau pesan last minute silakan japri yah dear, thank you yang sudah order dari grup Wargi Riung Gunung.”
Itulah bunyi pengumuman yang saya baca di laman Facebook Ceu Lilis Mardiana hari ini. Siapa sangka kalau di Calgary tempat saya tinggal ini para diaspora Indonesia bisa dengan mudah memesan salah satu makanan khas Jawa Barat ini? Apa pun bentuk olahannya – mulai dari combro, tumis oncom dicampur leunca, atau lontong isi – oncom yang maknyus dengan siraman sambal kacang olahan Ceu Lilis ini dijamin nikmat. Lalu, siapakah sosok diaspora satu ini yang gigih sekali memperjuangkan kehadiran Oncom di Kanada?
Namanya Lilis Mardiana. Ia adalah seorang Ibu muda, urang Sunda yang dulu tinggal di Jakarta dan kemudian migrasi ke Didsbury pada tahun 2016. Didsbury adalah sebuah kota kecil yang terletak di sebelah utara kota Calgary yang lebih padat penduduknya daripada Didsbury. Dua kota ini berjarak 80km dan terletak di Provinsi Alberta di Kanada bagian barat. Lilis tidak pernah membayangkan perjalanan hidupnya akan berbelok ke dunia kuliner. Apalagi menjadi pembuat oncom, salah satu makanan fermentasi paling khas dari Tanah Sunda.

“Waktu saya tinggal di Jakarta, sama sekali tidak pernah masuk dapur, apalagi memasak oncom,” ujarnya sambil tertawa kecil. “Apa pun yang kita mau di Jakarta, tinggal beli.” Keadaan di Kanada yang sangat berbeda dan karena semua memang harus dilakukan sendiri, memaksanya untuk belajar memasak”
Tinggal di kota kecil ini menuntutnya untuk beradaptasi dan mandiri karena tidak banyak warga Indonesia yang tinggal di kota ini. Tantangannya bukan hanya dengan cuaca Kanada yang dingin menusuk tulang, tapi juga kesulitan untuk menghadirkan cita rasa makanan sehari-hari khas tanah air yang mewakili rumah dan jati dirinya. Namun siapa sangka, justru dari kerinduan terhadap rumah itu, sebuah perjalanan yang tak terduga bermula—perjalanan yang membuat Lilis menjadi satu dari sedikit orang Indonesia di Kanada yang berhasil memproduksi oncom secara rumahan.
Baca Juga: Durian di Negeri Orang: Strategi Bertahan Hidup dan Aroma Rindu
Kerinduan yang menuntun pada fermentasi
Sebelum membuat oncom, Lilis terlebih dahulu mencoba membuat tempe. Tanpa kesulitan dia berhasil membuat tempe seperti yang dilakukan oleh banyak diaspora Indonesia di tanah rantau dengan 4 musim ini. Ia menganggap pembuatan oncom itu sebagai tantangan kecil yang membangun kepercayaan dirinya.
“Kalau tempe saja bisa berhasil di cuaca Kanada yang dingin, masa oncom tidak bisa?” Itulah pikiran di benaknya saat berhasil membuat tempe yang memicunya untuk mencoba membuat oncom. Tetapi kenyataannya tidak sesederhana itu.
Di Indonesia, oncom adalah makanan yang lahir dari sisa—dari ampas tahu, ampas kedelai, atau bahan sampingan dari proses pengolahan makanan lain. Tapi di balik kesederhanaannya, ada teknik fermentasi yang sensitif terhadap suhu, kelembaban, dan juga kualitas ragi. Kondisi Indonesia yang hangat secara alami mendukung pembuatan oncom. Sementara di Alberta, Kanada, dengan udara yang kering dan suhu yang bisa turun di bawah minus 20°C, adalah jauh dari lingkungan ideal yang dibutuhkan untuk proses fermentasi oncom.
Tapi semua ini tidak menjadi hambatan bagi Lilis untuk mencoba. Terlebih lagi dia berkata, “Saya tahu tempe sudah banyak dijual di sini. Tapi oncom? Setahu saya tidak ada. Dan saya kangen sekali dengan combro dan lontong isi oncom.” Kerinduan itu tidak hanya soal rasa, tapi soal kedekatan dengan masa kecil, keluarga, dan identitasnya sebagai perempuan Sunda di negeri orang.
Untuk membuat satu batch oncom, bahan utama yang dibutuhkan adalah biji kedelai. Tak ada hambatan untuk mendapatkan bahan baku ini di Alberta. Selanjutnya bahan ini diubah menjadi susu kedelai, tahu, dan ampas tahu, sebagai bahan baku utama oncom.

“Ini bukan makanan yang bisa kita selesaikan dalam satu sore. Hari pertama kita harus merendam kedelai, hari kedua menggiling, menyaring, lalu memproses jadi tahu. Setelah itu ampas tahunya baru bisa mulai difermentasikan. Kurang lebih totalnya lima hari,” ujarnya dengan bangga.
Kendala utama dalam membuat oncom di Kanada adalah sangat sulitnya mendapatkan ragi untuk fermentasi. Ragi untuk oncom jauh lebih sulit ditemukan daripada ragi tempe. Akhirnya dia menemukan toko Indonesia di Amerika Serikat yang menjual ragi untuk oncom—dengan harga fantastis, 45 USD untuk 250 gram bubuk ragi. Karena itulah, setiap kali pulang ke Indonesia, ia membawa banyak starter kultur dari Jakarta.
Tantangan terbesar lain tentu saja iklim/cuaca di Kanada yang tidak mendukung proses fermentasi. Untuk bisa memfermentasi ampas tahu, Lilis mengakalinya dengan menciptakan iklim “Indonesia versi mini” di rumahnya. “Suami saya sampai bikin inkubator khusus buat fermentasi,” ujar Lilis. Perangkat rakitan itu di buat untuk menjaga suhu tetap stabil, sehingga spora Rhizopus bisa tumbuh dengan baik. Prosesnya melelahkan dan diiringi kegagalan yang berulang kali.
“Saya tidak tahu sudah berapa kilo kedelai yang terbuang,” katanya. Tapi setiap kegagalan justru memperkuat tekadnya untuk memahami apa yang salah, memperbaiki prosesnya, dan terus mencoba lagi.
Baca Juga: ‘Duk Duk’ Cobek: Suara Kecil yang Selalu Membawaku Pulang
Oncom yang Menghubungkan Kembali pada Rumah
Akhirnya, pada tanggal 22 September 2022, untuk pertama kalinya dalam hidupnya—setelah bertahun-tahun tinggal di Indonesia tanpa pernah memasak—Lilis berhasil membuat oncom. Pada momen ini oncom buatannya mengejutkan banyak orang, termasuk dirinya sendiri. Cita rasa oncom yang dia buat di Didsbury, tidak berbeda jauh dari oncom Indonesia. Tidak pahit. Tidak hambar. Cukup kuat aromanya untuk menyentil rasa kangen dengan makanan rumah di Kampung Sunda.
“Yang paling membuat saya terharu itu saat orang Sunda di sini, dan bilang oncom saya enak,” katanya sambil tersenyum.
Meski awalnya membuat oncom hanya untuk mengatasi kerinduan akan rumah dan keluarga di tanah air, kini Lilis sudah menjualnya secara kecil-kecilan kepada teman-teman komunitas Indonesia di Alberta. Dan sambutannya sangat luar biasa. Banyak teman diaspora yang sudah lama tidak mencicipi oncom merasa seakan pulang kampung sejenak melalui makanan buatannya.
Kualitas produk makanan yang dia buat untuk dijual adalah hal utama. Dia selalu mencicipi setiap produk sebelum dijual. Jika rasanya tidak pas, ia tidak akan menjualnya ke konsumen. Baginya, oncom bukan sekadar makanan—tapi rasa kangen yang harus dihormati. Menariknya, orang Kanada yang mencobanya pun memberi respons positif—meski, seperti yang ia akui sambil bercanda, “Yang paling jujur tentu orang Sunda.”

Perjalanan Lilis membuat oncom bukanlah sekedar cerita unik yang mengupas teknik fermentasi di negara dingin dan tantangannya. Ini adalah cerita tentang bagaimana seorang diaspora beradaptasi ke tempat baru, merangkul budaya setempat, tetapi juga kegigihan Lilis untuk menghadirkan cita rasa makanan khas Oncom untuk dinikmati bersama komunitas diaspora Indonesia di Alberta.
Di tengah kesibukannya sehari hari sebagai ibu rumah tangga sambil meratapi dinginnya Kanada, oncom menjadi penghubung antara masa lalu dan masa kini. “Buat saya, oncom itu nostalgia,” kata Lilis. “Membuat saya dekat dengan keluarga saya dan terkenang masa kecil.”
Ke depannya, ia dan suaminya bercita-cita membangun dapur komersial sehingga produksi oncomnya bisa dilakukan lebih aman, lebih efisien, dan lebih besar skalanya. Mereka pun sudah memiliki sertifikat food handler untuk memastikan praktik yang sesuai aturan di Kanada.
Baca Juga: Obsesi Orang Sunda pada Aci: Cerita Singkong, Kolonialisme, dan Industri Minyak Sawit
Namun, bagi Lilis, yang terpenting bukanlah bisnis itu sendiri. Yang terpenting adalah menjaga agar makanan khas seperti oncom tetap hidup, bahkan di belahan dunia yang jauh dari tanah Sunda. Dengan harapan diaspora Indonesia tidak kehilangan hubungan dengan cita rasa makanan yang membentuk identitas mereka. Satu hal lain yang penting, dengan cara yang tak terduga, proses panjang pembuatan oncom mengajarkannya tentang kesabaran, ketekunan, dan menghargai tanah kelahiran.
“Saya ingin oncom saya ini menjadi makanan yang mudah didapat, sehingga teman-teman Indonesia di Kanada juga bisa menikmatinya dengan rasa yang sama, seperti oncom yang kita makan di tanah air.”
Lilis mungkin memulai perjalanan ini dari dapur kecil di Kanada, sebuah dapur yang dulu asing bagi dirinya saat di Indonesia. Namun dari ruang kecil itu, melalui oncom buatannya ia menghadirkan “rasa rumah” ke tempat yang jauh di belahan bumi Utara dan berbagi rasa kangen itu bersama para diaspora di Alberta, Kanada.
Artikel ini merupakan bagian dari serial yang ditulis dan disusun oleh komunitas penulis diaspora Magdalene. Mereka banyak menceritakan soal suka duka hidup di negara asing dan bagaimana mengatasinya saat jauh dari rumah.
















