Dicari: Bahasa untuk Kesadaran Baru Kelompok Mayoritas di Indonesia
Bangsa kita membutuhkan bahasa untuk menyadari adanya ketidakadilan struktural yang selama ini terjadi terhadap mereka yang bukan mayoritas.
George Orwell, lewat novelnya 1984, semacam berteori bahwa seorang individu tidak mungkin menginginkan ‘kemerdekaan’ jika mereka tidak pernah mendengar kata ‘merdeka’. Karenanya, pemerintah fiksional Oceania menciptakan Newspeak, bahasa Inggris baru yang menghapus kata-kata yang diasosiasikan dengan konsep yang bisa berbahaya bagi ideologi Ingsoc. Lewat Newspeak, rezim Big Brother di Oceania mengontrol apa yang masyarakatnya pikirkan.
Bahasa Indonesia tidak punya istilah yang tepat untuk menerjemahkan frasa ‘privileged group’ dalam budaya Amerika Serikat. Ketika saya mencari lewat Sederet atau Google Translate, hasil yang muncul adalah ‘istimewa’ dan ‘beruntung’. Meskipun kedua kata tersebut mengakui adanya semacam ketergantungan pada nasib yang baik, mereka berhenti di situ. Otak kita belum secara otomatis menghubungkan kata ‘istimewa’ dan ‘beruntung’ dengan politik tertentu. Bangsa Indonesia belum punya bahasa pengingat bahwa mereka yang ‘istimewa’ dan ‘beruntung’ memiliki tanggung jawab moral untuk melindungi yang minoritas dan terpinggirkan.
Selama satu tahun tinggal di Cambridge, Amerika Serikat, sebagai mahasiswa pascasarjana jurusan kebijakan publik, saya yang perempuan, Sunda, dan Muslim, terbangunkan tentang identitas yang sebelumnya tidak terlalu penting bagi saya. Di sini ada istilah ‘WASP’, yang secara historis merupakan akronim dari White Anglo-Saxon Protestant, namun sekarang sering diartikan White Affluent Schooled Persons, alias mereka yang memiliki ras kulit putih, kaya, dan memiliki pendidikan tinggi. Dalam piramida sosial di sini, WASP adalah kelompok yang ‘privileged’ karena mereka bebas dari stereotip negatif maupun diskriminasi struktural yang harus dialami kelompok minoritas lain. Meskipun spektrum ideologi mereka yang tergolong WASP cukup luas, tidak sedikit di antara mereka (termasuk teman-teman saya di kampus) yang mengakui adanya white privilege dan karenanya mulai mengambil peran aktif dalam berbagai gerakan sosial yang menjunjung kesetaraan.
Siapa kelompok yang ekuivalen dengan ‘WASP’ di Indonesia? Lebih tepatnya, adakah kelompok tertentu yang ‘diistimewakan’?
Sepintas, kecuali untuk pemilihan presiden yang cenderung melulu Jawa dan pria (karena kenyataannya B.J. Habibie yang asal Sulawesi dan Megawati Soekarnoputri yang perempuan hanya menggantikan presiden terpilih), sepertinya tidak ada keistimewaan yang diberikan bagi kelompok khusus di Indonesia. Hukum kita juga cenderung universal dan tidak membedakan suatu kelompok tertentu dari yang lain, terutama jika disandingkan dengan Amerika Serikat yang memiliki sejarah kelam dari masa perbudakan dan diskriminasi hak sipil bagi mereka yang berkulit hitam.
Namun, jika dilihat lebih dekat—terutama beberapa waktu belakangan, asumsi seperti itu menutup mata pada banyaknya kasus diskriminasi terhadap kelompok minoritas yang terus terjadi di Indonesia. Banyak dari kekerasan (verbal dan fisik) tersebut termotivasi perbedaan agama atau penampilan dengan kelompok mayoritas, dan sering kali melanggar hukum.
Faktanya, Setara Institute mencatat 270 tindakan pelanggaran kebebasan berkeyakinan di Indonesia pada tahun 2016. Laporan lain dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyimpulkan adanya peningkatan kasus intoleransi di Indonesia sepanjang tahun 2016, dengan konsentrasi terbesar di Jawa Barat dan DKI Jakarta. Penolakan terhadap Gereja Kristen Indonesia Yasmin dan kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyah dan Gafatar juga menjadi beberapa contoh anekdotal yang pernah kita dengar. Belum lagi pelanggaran hak asasi bagi kelompok LGBT. Arus Pelangi mencatat bahwa setidaknya 83,2 persen waria di Indonesia pernah mengalami kekerasan psikis, dan 61,3 persen di antaranya juga mengalami kekerasan fisik.
Bukti-bukti menunjukkan bahwa kita yang mayoritas sering kali merasa ‘berhak’ melakukan berbagai hal karena status kita. Mungkin, menjadi bagian dari kelompok mayoritas membuat kita tidak peka atau kesulitan untuk bersimpati dengan mereka yang harus waswas karena warna kulit, bentuk mata, atau Tuhan yang mereka percayai berbeda.
Untuk itu, ini proposal saya: Bangsa kita membutuhkan bahasa untuk menyadari adanya ketidakadilan struktural yang selama ini terjadi terhadap mereka yang bukan mayoritas.
Indonesia harus bangun dari tidurnya. Indonesia harus sadar, bahwa kita yang mayoritas lah yang bisa mengubah status quo. Bahwa kita yang mayoritas adalah bagian dari masalah, kalau kita terus diam. Bahwa tidak cukup bagi kita yang mayoritas dan memiliki akses terhadap sumber-sumber daya untuk sekadar menandatangani petisi daring atau marah-marah di Facebook. Bahwa kita berbagi kesalahan dengan kelompok mayoritas ‘yang itu’ kalau kita tidak berusaha menggandeng mereka.
Kembali ke pertanyaan siapakah kelompok ‘privileged’ di Indonesia? Dengan menyadari risiko generalisasi berlebihan, saya akan menunjuk pada mereka yang pria, Jawa, Muslim, dan heteroseksual. Atau mungkin siapa pun yang bukan homoseksual dan bukan etnis Tionghoa atau menganut kepercayaan di luar enam agama yang diakui di negara ini.
Mengakui bahwa kita ‘privileged’ cuma awal, tapi itu awal yang penting untuk menyadari bahwa kita berhutang pada tanah air dan demokrasi untuk welas asih dengan sesama, untuk melindungi mereka yang tak berdaya.
Andhyta Firselly Utami (@Afutami) adalah mahasiswi Kebijakan Publik di Harvard Kennedy School. Dalam kehidupan sebelumnya, ia adalah seorang peneliti, pengejar tenggat, penjaga hati, sok paling tahu soal tata bahasa, kutu buku, sahabat, pengendara yang buruk, pemeriksa fakta, pembaca yang cepat, dan perfeksionis. Tapi di atas semua itu, dia menganggap dirinya seorang penulis.