Politics & Society

Rendahnya Kualitas Hidup Penyandang Disabilitas

Penyandang disabilitas di negara ini belum mendapatkan hak-hak mereka, termasuk dalam hal mobilitas, akses pekerjaan yang layak, akses pendidikan, hak berwisata hingga perlindungan hukum.

Avatar
  • October 24, 2018
  • 9 min read
  • 502 Views
Rendahnya Kualitas Hidup Penyandang Disabilitas

Perhelatan Asian Para Games 2018 baru saja berlalu. Meski upaya pemerintah untuk menunjang visibilitas kelompok disabilitas patut diapresiasi, Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah agar kelompok disabilitas dapat hidup layak di negara ini.
 
Para penyandang disabilitas masih belum mendapatkan hak-hak dasar mereka, termasuk dalam hal mobilitas, akses pekerjaan yang layak, akses pendidikan, hak berwisata, hingga perlindungan hukum.
 
“Kami melihat pemerintahan saat ini cukup berupaya memberi ruang terhadap komunitas penyandang disabilitas, salah satunya lewat Asian Para Games 2018. Namun tentu kegiatan tersebut sendiri tidak terlepas dari beberapa catatan,” ungkap Cucu Saidah, pegiat yang berfokus pada isu hak penyandang disabilitas di Indonesia dalam wawancara eksklusif dengan Magdalene.
 
Cucu, yang berbasis di Bandung, baru saja memperoleh gelar magister di Flinders University Australia dalam bidang Kebijakan Publik. Selain menjadi aktivis yang memperjuangkan hak kelompok difabel, ia juga telah menginisiasi organisasi untuk difabel serta memiliki pengalaman kerja sebagai konsultan di beberapa lembaga non-profit.
 
Cucu menyayangkan minimnya pelibatan komunitas penyandang disabilitas dalam merancang rangkaian acara Asian Para Games 2018. Ia mencatat bahwa komunitas disabilitas baru dilibatkan beberapa bulan sebelum acara sehingga relawan memiliki pengetahuan minim terkait bagaimana memperlakukan atlet difabel. Selain itu, penyediaan fasilitas dan penunjang aksesibilitas untuk para atlet yang belum maksimal.
 
“Desain wisma atlet bisa dibilang belum ramah terhadap komunitas disabilitas. Hal-hal sesederhana tinggi permukaan lantai yang tidak rata sangat menyulitkan mobilitas kami. Bagi pengguna kursi roda seperti saya, tinggi lantai di wisma atlet yang di tiap beberapa meter berubah, dengan gap yang cukup tinggi, tentu sangat berbahaya. Beberapa dari kami sampai-sampai jatuh terjerumus karena desain yang buruk tersebut,” tambahnya.
 
Selain itu, Cucu juga menyayangkan representasi atlet difabel di ajang tersebut masih dipotret sebagai “super humans”.
 
“Semestinya atlet difabel diperlakukan selayaknya atlet. Penting untuk menyorot atlet berdasarkan prestasi mereka dan bukan menyoal apakah mereka memiliki kaki atau tidak, memiliki tangan atau tidak, dan lain sebagainya,” jelas Cucu.
 
Kurangnya pemahaman masyarakat mengenai kondisi penyandang disabilitas masih menjadi salah satu masalah utama mengapa hak-hak kelompok disabilitas masih kurang terpenuhi dalam konteks Indonesia. Kelompok difabel masih sering menghadapi stigma ketika berada di ruang publik.
 
Cucu, misalnya, pernah mendengar seorang perempuan hamil mengusap perutnya sambil komat-kamit “amit-amit jabang bayi” ketika sedang berpapasan dengannya.
 
“Ada pula, di satu acara kami, ketika kami berdandan sebagai zombie untuk meningkatkan kesadaran terhadap kondisi kelompok penyandang disabilitas di Indonesia, saya mendengar seorang ibu berkata pada anaknya, ‘Tuh, kalau kamu nakal, nanti kamu jadi seperti mereka! Makanya jangan nakal!’. Hal-hal seperti ini tidak akan terjadi jika masyarakat cukup teredukasi bahwa penyandang disabilitas juga sesama manusia yang sama derajatnya dengan yang lain,” tambahnya.
 
Diskriminasi struktural
 
Undang Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menjamin hak dan kesempatan bagi kelompok difabel untuk memperoleh kehidupan yang “sejahtera, mandiri, dan tanpa diskriminasi”, namun diskriminasi struktural masih dialami kelompok difabel hingga kini.
 
Salah satu contoh konkret diskriminasi ini adalah hal yang sering kali kita remehkan: Prasyarat sehat jasmani dan rohani, baik untuk melamar pekerjaan ataupun mendaftar di institusi pendidikan. Prasyarat sehat jasmani dan rohani mengasumsikan kelompok penyandang disabilitas tidak memiliki kemampuan dan kapasitas untuk bekerja atau memperoleh pendidikan.
 

 

 

“Semestinya atlet difabel diperlakukan selayaknya atlet. Penting untuk menyorot atlet berdasarkan prestasi mereka dan bukan menyoal apakah mereka memiliki kaki atau tidak, memiliki tangan atau tidak.”

“Ketika melamar pekerjaan, syarat tersebut masih sering dicantumkan di nomor satu sehingga langsung mendiskreditkan kualifikasi-kualifikasi lain, seperti tingkat pendidikan, kemampuan-kemampuan, dan pengalaman kerja yang sebenarnya kita miliki. Mayoritas perguruan tinggi saat ini pun masih mencantumkan syarat tersebut, sehingga pilihan kami sangatlah terbatas,” ungkap Cucu.
 
Meski demikian, ia mengapresiasi upaya-upaya pemerintah maupun beberapa sektor swasta yang kini telah membuka kuota untuk penyandang disabilitas. Menurut Cucu, penyediaan kuota merupakan langkah awal yang baik untuk mendorong perubahan lanjutan.
 
Dalam bidang pendidikan dasar, Cucu cukup mengapresiasi pelaksanaan sekolah inklusif, sehingga penyandang disabilitas kini dapat mengenyam pendidikan di sekolah umum dan tidak hanya di Sekolah Luar Biasa (SLB). Sekolah inklusif menunjukkan komitmen pemerintah maupun pihak sekolah untuk menjamin pendidikan dasar bagi penyandang disabilitas, sambungnya.
 
Meski demikian, Cucu menandai bahwa komitmen tersebut harus dibarengi dengan peningkatan kesadaran dan kepekaan sosial di lingkungan sekolah sehingga metode pengajaran, perilaku murid-murid, perlakuan guru, kepala sekolah, hingga orang tua murid harus turut menunjang individu penyandang disabilitas.
 
Bentuk diskriminasi lain yang juga dialami oleh kelompok penyandang disabilitas adalah kurangnya perlindungan hukum karena pengetahuan aparat penegak hukum yang minim terhadap hak-hak komunitas difabel.
 
Selain masalah penanganan kasus kekerasan seksual yang masih menghadapi banyak tantangan, isu pemenuhan hak konsumen juga menjadi salah satu isu utama kelompok difabel.
 
Indonesia telah memiliki kebijakan yang menjamin hak konsumen termasuk akses penyandang disabilitas ketika menggunakan fasilitas publik, seperti restoran, kafe, lokasi wisata, dan lain sebagainya.
 
“Di negara lain, penegakan peraturan ini sangat tegas. Misalnya, ketika ditemui restoran yang tidak ramah difabel, dengan kondisi lantai yang tidak memungkinkan bagi kelompok difabel untuk masuk—maka, restoran tersebut bisa langsung dituntut dan ditutup. Indonesia memiliki peraturan ini juga, tapi sayang penegakannya tidak tegas,” jelas Cucu.
 
Rendahnya mobilitas dan penunjang aspek kemandirian
 
Penyandang disabilitas juga mengalami permasalahan serius dalam hal mobilitas. Hingga saat ini, penyediaan transportasi umum sama sekali belum mempertimbangkan kondisi kelompok difabel. Akibatnya, pilihan mode transportasi umum bagi mereka sangat terbatas.
 
“Pengguna kursi roda seperti saya sudah sama sekali tidak mungkin naik angkot. Meski kini fasilitas commuter line cukup dapat diakses oleh kelompok penyandang disabilitas, dengan penyediaan jalur difabel untuk tunanetra maupun running text bagi kelompok tunarungu, gap yang jauh antara peron dengan unit kereta masih tidak memungkinkan pengguna kursi roda untuk dapat menggunakan commuter line dengan nyaman,” jelas Cucu.
 
Cucu mengatakan pengetahuan pemerintah mengenai pentingnya menjamin aspek kemandirian bagi kelompok penyandang disabilitas masih minim. Dalam aspek kemandirian, segala bentuk desain dan konstruksi pengadaan suatu fasilitas umum sepenuhnya mempertimbangkan seluruh kebutuhan kelompok difabel. Dengan demikian, individu penyandang disabilitas mampu bepergian sendiri secara mandiri tanpa harus sepenuhnya bergantung pada orang lain.
 
“Untuk saat ini, satu-satunya moda transportasi yang mungkin diakses oleh pengguna kursi roda hanyalah taksi. Dalam hal ini, dapat kita lihat dimensi kelas yang melingkupi akses terhadap fasilitas publik. Tentu dengan tarif taksi yang cukup tinggi, tak semua pengguna kursi roda dapat dengan leluasa melakukan perjalanan,” jelas Cucu.
 
“Belum lagi dimensi gender. Ketika perempuan pengguna kursi roda, mau tak mau harus dipegang atau digendong untuk memasuki mobil. Dalam aspek tersebut, perempuan pengguna kursi roda sama sekali tidak punya otonomi atas batasan tubuh,” tambahnya.
 
Tak hanya itu, akses menggunakan pesawat terbang juga selama ini masih sangat membatasi mobilitas penyandang disabilitas.
 
“Di Indonesia, masih banyak maskapai penerbangan yang secara terang-terangan menolak pengguna kursi roda untuk memasuki pesawat dengan berbagai alasan. Kami juga sering kali diwajibkan menandatangani ‘surat sakit’ yakni persetujuan dengan tanda tangan bermeterai bahwa kami setuju maskapai tidak bertanggung jawab atas keselamatan kami. Tentu saya sangat kontra terhadap kebijakan tersebut. Saat itu, saya ajukan petisi karena semestinya jaminan keselamatan tidak membedakan individu berkebutuhan khusus maupun tidak,” jelas Cucu.
 
Untuk mengadvokasikan tantangan yang dialami oleh kelompok penyandang disabilitas, Cucu menginisiasi sebuah komunitas bernama Jakarta Barrier Free Tourism (JBFT). Komunitas tersebut melakukan aktivitas wisata rutin setiap bulan dengan menggunakan transportasi umum yang tersedia, mulai dari bus Transjakarta, kereta commuter line, hingga perahu. JBFT berupaya mensosialisasikan kebutuhan kelompok disabilitas dan menyorot kesulitan mereka ketika menggunakan alat transportasi publik yang tak ramah difabel sehingga komunitas tersebut juga turut mengajak khalayak umum untuk berpartisipasi.
 

“Prasyarat sehat jasmani dan rohani, baik untuk melamar pekerjaan ataupun mendaftar di institusi pendidikan, mengasumsikan kelompok penyandang disabilitas tak memiliki kemampuan dan kapabilitas untuk bekerja ataupun memperoleh pendidikan.” 

“Mahasiswa, praktisi, tenaga pendidik, dan khalayak umum sering kali ikut berpartisipasi dalam wisata JBFT. Bulan lalu, kami berwisata ke Kepulauan Seribu. Jadi mereka melihat langsung perjuangan penyandang disabilitas untuk mencapai lokasi tersebut seperti apa,” jelas Cucu.
 
Hak berwisata pun masih cukup terbatas di Indonesia: beberapa lokasi wisata tidak ramah terhadap penyandang disabilitas. Oleh karena itu, JBFT juga turut menyuarakan pentingnya menjamin hak kelompok difabel untuk berwisata.
 
Tak hanya itu, Cucu juga turut memprakarsai terbentuknya organisasi non-profit BILiC (Bandung Independent Living Center), yakni sebuah organisasi yang mendorong kemandirian bagi penyandang disabilitas dan meningkatkan partisipasi mereka di ruang publik untuk mewujudkan kesetaraan dalam hidup bermasyarakat. BILiC secara rutin menyelenggarakan berbagai aktivitas untuk menyokong kehidupan komunitas difabel, seperti mengadakan konseling sebaya, forum diskusi keluarga penyandang disabilitas, serta pelatihan bahasa isyarat untuk relawan.
 
Untuk dapat meningkatkan kualitas hidup komunitas difabel, ia menyebutkan empat aspek utama yang dapat diacu oleh pemerintah ketika berupaya membangun fasilitas publik, yakni mudah, aman, nyaman, dan respek bagi penyandang disabilitas.
 
“Pembangunan fasilitas publik harus memikirkan kemudahan, keamanan serta kenyamanan untuk kelompok difabel untuk memastikan kebutuhan kami memang dijamin dan diperhitungkan oleh negara,” tambahnya.
 
Dalam hal jaminan akses mobilitas dan jaminan aspek kemandirian, Cucu mencontohkan di negara-negara lain, seperti Singapura, Amerika Serikat, Australia, dan Jepang yang kini sudah menjamin layanan asisten pribadi atau penjaga. Asisten pribadi atau penjaga pada dasarnya adalah pelayan publik yang secara khusus disediakan atau difasilitasi oleh pemerintah untuk melayani kebutuhan penyandang disabilitas. Di negara-negara tersebut, layanan asisten pribadi disediakan secara cuma-cuma setelah dilakukan penilaian mengenai kebutuhan apa saja yang diperlukan individu dengan disabilitas.
 
“Kebutuhan masing-masing penyandang disabilitas berbeda. Ada yang membutuhkan personal assistant untuk memasak saja, ada juga yang butuh disuapi. Ada yang perlu bantuan mulai memandikan sampai mengenakan baju, ada yang tidak. Namun, yang terpenting dari penyediaan personal assistant adalah adanya upaya untuk mendorong mobilitas kelompok difabel. Di Indonesia, kelompok difabel masih sering bergantung pada keluarga, sehingga mobilitasnya cenderung terbatas,” jelas Cucu.
 
Akibat keterbatasan fasilitas pemerintah untuk kelompok penyandang disabilitas, kesejahteraan keluarga juga kurang terjamin ketika salah satu orang tua, misalnya, harus meninggalkan pekerjaannya untuk merawat anak dengan disabilitas.
 
“Oleh karena itu, penyediaan personal assistant ini juga semestinya salah satu yang harus diutamakan pemerintah untuk menjamin hak kelompok penyandang disabilitas di Indonesia. Hal tersebut akan menjadi sebuah langkah besar. Visibilitas kelompok difabel akan mulai tinggi di tempat-tempat umum sehingga masyarakat umum juga akan dengan wajar melihat kami, dan tidak lagi memandang kami sebagai kelompok liyan,” jelasnya.
 
Cucu menambahkan bahwa selain menjamin fasilitas publik ramah difabel, pemerintah juga harus tegas dalam menerapkan implementasi perundang-undangan yang menjamin hak kelompok difabel. Salah satunya adalah sikap tegas mengenai penggunaan trotoar khusus untuk pejalan kaki, sehingga pengendara kendaraan tidak sampai naik ke area trotoar.
 
“Dengan penegakan hukum yang jelas dan tegas, pemerintah turut menunjang terpenuhinya hak mobilitas bagi kelompok penyandang disabilitas,” ungkapnya.
 
Baca bagaimana perumusan isu kontrasepsi dalam RKUHP tidak melibatkan ahli kesehatan.


Avatar
About Author

Ayunda Nurvitasari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *