Politics & Society

Dogma Agama vs. Empati dan Kemanusiaan

Membangun empati dan rasa kemanusiaan adalah hal yang dengan sederhana membuat kita menjadi manusia.

Avatar
  • July 11, 2017
  • 4 min read
  • 1040 Views
Dogma Agama vs. Empati dan Kemanusiaan

Tumbuh di keluarga yang beragama, saya selalu memandang Tuhan sebagai suatu sosok yang begitu sakral. Moto hidup saya adalah, “Jika saya mencintai Tuhan, saya harus mencintai dan menghormati ciptaan-ciptaan-Nya juga.“ Tetapi ketika seseorang bertanya mengenai agama, saya ingin jujur bahwa kecintaan saya terhadap Tuhan dan orang-orang di sekeliling saya tidak didasari hal itu.
 
Sejak beberapa tahun lalu, saya selalu tertarik pada pemikiran, “Apakah jika A diterapkan di dunia nyata, itu akan baik pengaruhnya bagi masyarakat secara luas? Apakah itu akan cocok dan adil bagi masyarakat secara luas, mengingat adanya perkembangan dan kesadaran-kesadaran baru masyarakat akan hal-hal yang tadinya tabu? Dan yang paling penting, jika seseorang berkata bahwa A layak diterapkan karena hal itu adalah hal yang benar untuk diterapkan, berdasarkan apa kebenaran itu?“
 
Dengan kemajuan zaman, tidak semua orang akan menerima saja jika seseorang berkata, “A adalah benar karena seperti itu yang tertulis di sini.“ Semakin maju dunia ini, pemikiran orang-orang dituntut untuk menjadi lebih kritis. Kita harus dapat memikirkan dan memperkirakan apa pengaruh A atau B atau C diterapkan di kehidupan kita.
 
Ketika agama memandang kelompok homoseksual sebagai pendosa, perempuan sebagai kaum yang harus menunduk dan patuh, dan, bagi kalangan ekstremis agama, mempertanyakan ajaran-ajaran meskipun dengan niat yang tulus untuk belajar dinilai sebagai suatu pemberontakan, saya kembali pada diri saya sendiri bahwa, semuanya tidak seharusnya sesempit itu.
 
Dulu, perceraian dilarang oleh agama. Tetapi apakah melarang perceraian suatu tindakan yang cocok untuk diterapkan di kehidupan kita? Adalah sebuah fakta bahwa jika perceraian dilarang, hal itu akan dapat menimbulkan bahaya bagi pasangan yang tidak lagi cocok untuk hidup bersama. Semakin lama, orang-orang dapat melihat berbagai permasalahan dari berbagai perspektif.     
 
Saya tidak ingin menilai apakah yang dilakukan oleh seseorang adalah dosa, saya ingin menilai apakah yang dilakukan seseorang adalah salah atau tidak, berdasarkan hal-hal yang sederhana namun berpengaruh pada kehidupannya sendiri dan orang lain secara umum, seperti Apakah orang tersebut menyakiti dirinya sendiri dan orang lain? Apakah tindakannya tersebut baik bagi kesehatannya? Apakah tindakan dan kebiasaannya itu baik bagi kestabilan kehidupannya?“ Jika tindakannya cenderung merusak dirinya sendiri dan orang lain, merusak kesehatannya, merusak kestabilan kehidupannya, itu adalah salah.
 
Saya lebih tertarik untuk membangun empati dan rasa kemanusiaan, karena dengan sederhana, itulah yang membuat kita menjadi manusia. Saya ingin menjadi manusia yang baik dengan sederhana karena memang hanya itulah saya.
 
Seorang homoseksual dapat memiliki rasa kemanusiaan dan kepedulian terhadap sesama yang baik, dan dengan itu saya tidak melihatnya sebagai seorang pendosa, ia hanya manusia biasa seperti saya juga. Ia jatuh cinta, ia sakit hati, ia melakukan kesalahan, dan ia mencoba untuk memperbaiki kesalahannya.
 
Seorang perempuan dapat memiliki budi pekerti yang baik tanpa harus menunduk dan patuh. Ini bukan berarti ia akan bertingkah tidak sopan dan memberontak. Dengan sederhana ia hanya mencoba untuk memperjuangkan apa yang menjadi haknya sebagai manusia juga. Mempertanyakan berbagai ajaran bukan berarti ingin menentang, tetapi membangun pemikiran yang kritis dan membangun pengertian yang lebih mendalam pada hal-hal tersebut.
 
Bagi saya, di sini yang harus difokuskan adalah bagaimana cara kita mengerti satu sama lain, menerima dan mempelajari untuk mengerti dan bukan bertujuan untuk menjatuhkan satu sama lain. Jika seorang ateis dan agnostik cenderung berusaha untuk menjatuhkan kaum beragama, itu adalah suatu tindakan yang salah dan tidak adil. Dan jika seorang yang beragama berusaha untuk menjatuhkan kaum ateis dan agnostik, dengan sederhana karena ia adalah seorang ateis atau agnostik, saya juga berpikir itu adalah hal yang salah dan tidak adil.
 
Di dalam kehidupan nyata ini, pada akhirnya yang terpenting adalah bagaimana caranya kita dapat hidup dengan memiliki empati dan rasa kemanusiaan. Karena saya pikir, tidak peduli seseorang beragama atau tidak, jika ia tidak memiliki hal-hal tersebut, ia tidak dapat berfungsi dengan baik di kehidupan masyarakat. Ia akan membahayakan dirinya sendiri dan orang lain.
    



#waveforequality


Avatar
About Author

Nadia Hana Abraham

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *