Dokumenter Hayao Miyazaki Ajak Selami Kepala Sang Maestro
Film dokumenter ‘Hayao Miyazaki and the Heron’ mengajak penonton menjelajahi proses kreatif dan pemikiran jenius sang maestro animasi dari Studio Ghibli.
Sutradara Hayao Miyazaki tidak bisa pensiun—benaknya yang penuh imajinasi tidak mengizinkannya untuk istirahat berkarya. Sang maestro animasi itu sebetulnya telah beberapa kali mengumumkan pengunduran dirinya. Pertama kali pada 1997 setelah Princess Mononoke dirilis, lalu kemudian setelah menyelesaikan Spirited Away (2001). Tapi kemudian Miyazaki membuat Ponyo (2008). The Wind Rises (2013) adalah film yang dipercaya banyak orang menjadi film terakhirnya. Sampai di tahun 2017 ia mendapatkan ide untuk The Boy and the Heron dan menghabiskan tujuh tahun berikutnya untuk menyelesaikan film tersebut.
Apa sebetulnya yang ada dalam kepala Miyazaki? Kita diajak menyelaminya dalam film dokumenter Hayao Miyazaki and the Heron yang disutradarai oleh Kaku Arakawa. Sebelum menonton, saya kira ini dokumenter tentang pembuatan film animasi terbaik Jepang dan dunia dan lebih mengedepankan ke sisi teknis bagaimana sistem produksi Studio Ghibli berjalan. Atau bagaimana Miyazaki menemukan ide dan mengaplikasikannya ke dalam kertas. Nyatanya, dokumenter ini justru tenang dan menghantui, dan kita diundang masuk ke dalam kepala Miyazaki yang berisik.
Baca juga: 6 Film Ghibli yang ‘Underrated’ dan Harus Banget Kamu Tonton
Miyazaki sebagai kreator paham benar bahwa usianya sudah sampai di ujung senja. Seorang jenius seperti dirinya sekalipun tidak akan luput dari yang namanya kematian. Hal inilah yang menjadi tema besar dalam The Boy and the Heron dan juga dokumenter ini sendiri. Mahito, karakter utama dalam film animasi tersebut, adalah personifikasi Miyazaki. Mereka berdua berbagi tragedi yang sama: kepergian ibu mereka. Bagian paling mengesankan soal ini adalah melihat bagaimana Miyazaki, yang saat membuat film tersebut di usia 75 tahun, memaknai ulang kematian.
Kematian adalah siklus kehidupan dan pada akhirnya, tergantung manusia bagaimana cara memaknai kehilangan itu. Miyazaki yang kadang menghabiskan waktunya untuk bengong selama membuat The Boy and the Heron membuat saya tersadar bahwa maestro ini sedang mempersiapkan babak barunya. Film ini bukan hanya sekedar cerita personal. Ini adalah sebuah pengingat kepada keluarga dan penggemarnya, bahwa kepergiannya nanti bukanlah sebuah tragedi. Ini hanya bagian dari hidup.
Baca juga: Film Studio Ghibli Bantu Penonton Lebih Peduli dengan Alam
Dihantui Kematian Sahabat
Tema soal kematian ini kemudian menjadi semakin pekat ketika satu per satu orang di sekeliling Miyazaki meninggal dunia. Kalau pun masih hidup, obrolan dengan sesama teman lansia pun ujung-ujungnya membahas soal akhir. Namun dari semua kematian yang ada di sekelilingnya, kepergian Isao Takahata, teman dan (konon) sekaligus rivalnya, yang paling menghantui Miyazaki.
Keduanya sebetulnya dua sutradara animasi yang sangat berbeda meski sama-sama menghasilkan animasi untuk Studio Ghibli. Jika Miyazaki memilih jalur fantasi, Takahata lebih nyaman membuat dunia yang realis, lewat film-film seperti Grave of the Fireflies (1988), Only Yesterday (1991), dan The Tale of the Princess Kaguya (2013). Dalam profil Miyazaki yang ditulis The New Yorker (2005), Takahata mengatakan bahwa film-film Miyazaki memaksa penonton untuk tunduk kepada filmnya dan menerima dunia yang ia ciptakan. Bagi Takahata, ia lebih suka ketika penonton mempunyai jarak dengan karya. Di dokumenter ini, Miyazaki membalas dengan mengatakan bahwa Pom Poko (1994) adalah film yang membosankan.
Terasa sekali bahwa Miyazaki dan Takahata adalah dua produk maskulinitas jaman dulu yang enggan mengatakan perasaannya secara verbal. Keduanya bisa jadi sering berargumen tapi mereka juga sadar bahwa masing-masing adalah kreator yang mumpuni dan tahu apa yang mereka buat. Alih-alih menyatakan kekaguman atau merespons karya masing-masing dengan cara yang lebih sehat, keduanya terasa berjarak, terutama setelah kolaborasi mereka selesai.
Meski demikian, kematian Takahata ternyata menimbulkan efek yang kuat dalam hari-hari Miyazaki berikutnya. Ia mengatakan bahwa arwah Takahata ada di sekelilingnya, dan setelah kepergiannya, ia menghabiskan waktu untuk berdiam diri. Semua hal yang mengganggu ritmenya ketika menciptakan dunia Mahito, menurutnya adalah karena Takahata sedang kesal. Saat guntur bergemuruh, Miyazaki mengatakan bahwa itu adalah sapaan temannya.
Baca juga: Kalau Kamu Tenang dan Santai Saat Nonton Animasi Ghibli, Kamu Enggak Sendiri
Sebagai sebuah film dokumenter, Hayao Miyazaki and the Heron bukan film yang ramah terhadap penonton. Penyuntingannya tergantung dengan mood subjek yang ia bawa. Saat Miyazaki rindu dengan kawannya yang sudah meninggal, Arakawa akan menampilkan ruang kosong yang nanti kemudian diisi dengan potongan-potongan gambar ketika Miyazaki dan kawannya sedang berbincang. Saat Miyazaki sedang pusing mencari solusi atas masalah yang ia sendiri tidak bisa ia ungkapkan, Arakawa memotong gambarnya dengan animasi karya Miyazaki sendiri. Hasilnya sesuai dengan pernyataan produser Miyazaki, Toshio Suzuki, yang mengatakan bahwa si maestro adalah orang yang terjebak dalam imajinasinya sendiri. “Ia menganggap dunia adalah fiksi,” katanya.
Arakawa mempersembahkan dokumenter ini sebagai pengingat bahwa bagaimana pun juga, sutradara animasi itu adalah seorang manusia. Melalui film ini, saya menjadi mengerti betapa lelahnya berada di dalam kepalanya. Tidak mengherankan kalau sang maestro itu menulis, “I think my brain is broken.”
Hayao Miyazaki and the Heron dapat disaksikan di Netflix