December 7, 2025
Lifestyle Opini

‘Dress Your Age’: Saat Perempuan Tak Bebas Bergaya karena Usia 

Semakin tua, perempuan kerap ditekan untuk berpakaian “lebih pantas” sesuai umur. Padahal, gaya seharusnya soal kenyamanan dan identitas, bukan soal umur.

  • August 1, 2025
  • 5 min read
  • 1050 Views
‘Dress Your Age’: Saat Perempuan Tak Bebas Bergaya karena Usia 

Dua minggu lalu, sekitar pukul 10 malam, aku baru naik LRT sepulang kerja. Di antara kerumunan penumpang, seorang perempuan muda menghampiriku dan tiba-tiba berkata, “I love your style! It’s cute!” 

Saat itu aku duduk sendiri, mengenakan kemeja renda, kulot berkelir fuchsia, bandana rajut warna-warni, anting pink, flat shoes cokelat berpita, dan ransel biru bermotif lemon penuh gantungan kunci. Sebenarnya itu gaya yang biasa karena memang begitulah aku berpakaian setiap harinya. 

Kami mengobrol sebentar. Usianya 20 tahun, masih kuliah. Saat tahu aku sembilan tahun lebih tua darinya, ia kaget. “I want to be like you when I get older,” katanya sambil menunjuk gaya pakaianku. 

Pujian dari orang asing itu terasa menyenangkan dan bikin hati hangat. Namun juga membuatku bertanya-tanya: Kenapa perempuan yang tampil seperti ini, di usia sekarang, justru terasa tak biasa? 

Banyak dari kita, terutama perempuan, tumbuh dengan ide berpakaian “sesuai umur” adalah keharusan. Bahwa setelah usia tertentu, kita harus tampil lebih dewasa, pantas, kalem, dan netral. Entah apa maksudnya. 

Padahal, bagi banyak orang, termasuk aku, pakaian adalah cara mengekspresikan diri. Ini bukan sesuatu yang harus disesuaikan dengan angka di KTP. 

Di TikTok, tren “Turning my mom into me” sempat viral. Anak-anak perempuan mendandani ibu atau nenek mereka sesuai dengan gaya pakaian anak muda. Dari pakaian sederhana seperti kaos atau sweater menjadi pakaian berwarna cerah atau bertekstur seperti crop top dengan renda atau dress body conn berwarna baby pink yang berglitter. Lalu dari slim fit jeans atau baggy pants dengan sepatu kets tanpa aksesoris menjadi rok ruffle atau rip jeans dengan sepatu hak tinggi atau sepatu boots. 

Hasilnya? Mengejutkan. Banyak dari para ibu itu terlihat lebih segar, percaya diri, bahkan lebih bahagia. 

Pertanyaannya, mengapa dalam keseharian mereka tak berpakaian seperti itu? Jawabannya bukan karena mereka tak suka tampil menarik. Sering kali, mereka tak punya ruang untuk itu. 

Baca Juga: Fesyen Cewek Kue, Mamba, dan Bumi: Penyederhanaan yang Tak Perlu 

Tekanan Waktu dan Beban Sosial yang Tak Terlihat 

Banyak perempuan, terutama yang sudah menikah atau jadi ibu, meninggalkan gaya pribadinya karena tuntutan peran sosial. Di rumah, mereka bertanggung jawab atas pekerjaan domestik, mengurus anak, orang tua, dan sering kali juga bekerja. Dalam masyarakat yang masih patriarkal, beban ini mayoritas ditanggung perempuan. 

Sosiolog Arlie Hochschild dalam The Second Shift menyebut beban ini sebagai bentuk ilusi moral di mana perempuan dianggap “baik” jika bisa mengurus semuanya tanpa mengeluh. Seakan-akan, kesuksesan mereka diukur dari sejauh mana mereka bisa mengabaikan kebutuhan pribadinya. 

Akibatnya, hal-hal seperti berdandan atau memilih baju yang mencerminkan diri sendiri dianggap tak penting atau bahkan egois. 

Psikolog fesyen sekaligus penulis buku Dress Your Best Life ($25) Dawnn Karen, dalam wawancaranya dengan POPSUGAR, menyebut perempuan dari kelas sosial menengah ke atas punya lebih banyak waktu dan sumber daya untuk memikirkan gaya. Namun bagi kebanyakan perempuan lain, berpakaian sekadar soal fungsi, yakni praktis, murah, nyaman. 

Baca Juga: Bagaimana Stereotip dan Norma Gender Mematikan Kepercayaan Diri Perempuan 

Dress Your Age 

Selain beban waktu, tekanan sosial juga ikut membatasi. Survei dari jenama sepatu Hotter pada 2021 menunjukkan, 57 persen perempuan merasakan tekanan untuk berpakaian sesuai usia. Tekanan itu dimulai sejak usia 18 tahun dan meningkat seiring bertambahnya usia. 

Item seperti hot pants, rok mini, crop top, atau pakaian berwarna terang kerap dianggap “tidak pantas” untuk perempuan usia 30-an ke atas. Survei itu juga mencatat, sebanyak 74 persen perempuan merasa lebih banyak dihakimi soal pilihan pakaian dibanding laki-laki. 

Standar ganda ini membuat banyak perempuan memikirkan penilaian orang lain setiap kali ingin tampil berbeda. Seolah-olah ada daftar tak tertulis soal pakaian mana yang “boleh” dan “tidak boleh” dipakai tergantung usia kita. 

Menurut psikolog mode Shakaila Forbes-Bell, sejak kecil perempuan sudah dibentuk untuk mengutamakan penampilan. Ironisnya, saat tampil menonjol, mereka justru dianggap “tidak pantas”, terutama jika sudah melewati usia tertentu. Lihat saja bagaimana perempuan pemimpin dunia lebih banyak dikomentari dari penampilan atau cara mereka berpakaian dibandingkan laki-laki, dikutip dari The Independent.  

Hal ini lebih lanjut dijelaskan dalam buku Women and Leadership: Real Lives, Real Lessons yang ditulis Perdana Menteri pertama Australia, Julia Gillard, dan mantan Menteri Keuangan Nigeria Ngozi Okonjo-Iweala. Hasil wawancara penulis dengan delapan perempuan pemimpin termasuk Theresa May, Hillary Clinton, Jacinda Ardern, dan Christine Lagarde bisa disimpulkan, penampilan secara historis terus menjadi dasar penilaian perempuan pemimpin. Sekali lagi, mereka tak dinilai dari kinerja tapi pada apa yang melekat di badannya. 

Semua tekanan ini bukan hanya bersifat sosial, tapi juga kultural. Karena itu muncul istilah “mutton dressed as lamb”. Ini maksudnya, “domba tua yang berdandan seperti anak muda”, digunakan untuk mengejek perempuan paruh baya yang berpakaian mencolok atau mengikuti tren. 

Menurut Fashion History Museum, istilah ini sudah ada sejak awal 1800-an. Meski awalnya tak bermakna negatif, di era Victoria—ketika kesopanan jadi standar moral perempuan—maknanya bergeser jadi sindiran merendahkan. 

Baca Juga: Sejarah Celana: Simbol Penting Gerakan Perlawanan Perempuan 

Pakaiannya yang jadi sasaran. Namun sebenarnya yang diserang adalah agensinya. Padahal pakaian bisa jadi bentuk ekspresi yang paling sederhana, sekaligus yang paling rawan dinilai orang. Namun bukan berarti kita harus tunduk pada standar yang dibuat tanpa melibatkan suara kita. 

Tidak apa-apa ingin tampil feminin di usia 40. Tidak masalah mengenakan warna neon, jaket denim, atau rok motif bunga di usia 30-an. Sama seperti tidak ada usia yang terlalu dini untuk merasa percaya diri, tidak ada usia yang terlalu tua untuk merasa bebas bergaya. 

Karena pada akhirnya, gaya bukan soal “tampil muda” atau “terlihat pantas”, tapi soal merasa jadi diri sendiri.  

About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.