Issues Safe Space

Ada Predator di Gim ‘Online’, Indonesia Darurat Eksploitasi Seksual Anak

Pelecehan seksual anak SD di gim ‘online’ dan sindikat jual beli konten pornografi anak di Soekarno Hatta, jadi bukti ruang maya belum jadi ruang aman.

Avatar
  • May 7, 2024
  • 7 min read
  • 737 Views
Ada Predator di Gim ‘Online’, Indonesia Darurat Eksploitasi Seksual Anak

Belakangan warganet dihebohkan dengan kasus pelecehan seksual daring yang dialami anak perempuan kelas 6 Sekolah Dasar. Berawal dari gim online Mobile Legends, pelaku YPS, 27, mengajak korban berkenalan hingga lanjut berbalas pesan lewat WhatsApp pribadi. 

Melansir dari Detik.com, pelaku melancarkan aksinya dengan memberikan kasih sayang yang berlebihan pada korban (love bombing). Sekitar April 2024, satu bulan setelah perkenalan pertama, pelaku sering meminta foto berupa alat kelamin korban dengan pakaian ketat dan celana dalam. 

 

 

Ia juga sering pap foto kemaluannya sendiri lewat chat. Jika kemauan ini enggak dipenuhi, pelaku mengancam atau menakuti korban dengan cara melukai diri sendiri. Biasanya pelaku mengirimkan video tangan yang terluka atau berdarah. Pelaku pun bilang, sudah tidak sabar menyetubuhi korban. Alhasil, korban takut dan terpaksa menuruti kemauan pelaku. 

Atas perbuatannya, pelaku ditangkap pihak kepolisian dan dijerat dengan pasal tentang Undang-Undang ITE dan tindak kekerasan, serta perlindungan anak dengan ancaman hukuman lima tahun penjara. 

Baca Juga: Hoaks Pelecehan Seksual Mahasiswa UNY, Bahayakan Korban dan Gerakan Anti-Kekerasan 

Puncak Gunung Es 

Pelecehan seksual daring YPS adalah fenomena gunung es. Ia cuma satu dari ratusan kasus serupa yang belum terungkap. Indonesia memang punya rapor merah dalam kasus kekerasan dan pelecehan seksual daring anak, atau lebih dikenal di antara para pegiat isu perlindungan anak, sebagai eksploitasi seksual anak online (Online Sexual Exploitation of Children (OSEC)).  

Rizki Indrawansyah, Country Director International Centre for Missing & Exploited Children (ICMEC) mengatakan, penekanan terhadap eksploitasi ini penting untuk memberikan pemahaman bahwa anak dalam situasi kekerasan, sehingga mereka adalah korban.  

Penggunaan pornografi anak yang kerap dipakai publik, termasuk Aparat Penegak Hukum (APH) sudah semestinya ditinggalkan. Ini lantaran pornografi anak berisiko ditafsirkan bahwa kekerasan pada korban anak terjadi atas persetujuan mereka.  

“Padahal anak belum memiliki kematangan untuk memberikan persetujuan atas tindakan. Belum lagi pornografi sendiri juga merupakan industri yang sah di beberapa negara tertentu. Karena itu, secara semantik kami (pegiat isu perlindungan anak) mengacu langsung pada elemen kekerasannya,” jelasnya. 

Sebelum kasus YPS, kita pernah dihebohkan dengan eksploitasi seksual anak daring pada Februari lalu.  Melansir Kompas.id, Kepolisian Resor Kota Bandara Soekarno-Hatta menemukan 3.870 video dan 1.245 foto bermuatan eksploitasi seksual– lebih dikenal masyarakat dengan pornografi anak – yang melibatkan delapan anak Indonesia. 

Konten-konten ini diproduksi dan dijual melalui media sosial Telegram lintas negara seharga 100 dollar AS atau Rp1,5 juta per video. Dari hasil penjualan konten, pelaku mendapat keuntungan kurang lebih Rp100 juta. Proses produksi video sendiri dilakukan di sejumlah tempat, mulai dari kamar korban hingga hotel di kawasan Tangerang. 

Sama seperti kasus YPS, korban pertama kali juga berkenalan dengan para pelaku lewat gim online. Polanya sama, pelaku biasanya akan memberi perhatian berlebih, mengajak korban main bareng (mabar), hingga memberikan hadiah untuk mendapatkan kepercayaan korban atau orang tua mereka. Setelah mendapatkan kepercayaan, pelaku lalu mendatangi rumah mereka. 

Melihat kesamaan di antara kedua kasus di atas, Mellysa Anastasya, Prevention Communication Officer Rumah Faye bilang, dalam kasus eksploitasi seksual anak daring, modus yang paling banyak ditemui memang child grooming. 

Groomer tahu bagaimana cara memanipulasi korban untuk tujuan seksual. Misalnya, dengan memberikan semua perhatian dan kasih sayang. Alhasil, korban merasa terikat secara emosional dan memiliki hubungan romantis dengan pelaku. Di saat itulah pelaku siap mengeksploitasi korban secara seksual. 

“Anak-anak yang di rumah orang tuanya absen kasih sayang atau pengawasan, rentan banget dipancing oleh para pelaku. Pelaku mampu menjadi sosok yang korban butuhkan, baik sebagai teman atau orang dewasa,” jelasnya. 

Selain tahu kebutuhan anak secara emosional, groomer juga memahami kebutuhan material para korban. Terlebih anak-anak dan remaja cenderung ingin memiliki barang-barang yang sama seperti teman sepantaran. 

“Pada dasarnya sifatnya pengen “sama” dengan yang lain ya. Belum berani untuk menjadi diri sendiri. Yang temenku punya, aku juga mau gitu. Jadi ketika korban tidak bisa mendapatkannya, ini menjadi salah satu pancingan para groomer. Mereka berikan apa yang anak itu inginkan,” kata Anastasya. 

Hal ini terjadi pada kasus sindikat internasional jual beli materi eksploitasi seksual anak. Saat mendekati korban, lima pelaku yang diringkus polisi, memberikan uang Rp200.000-Rp500.000, barang, atau ponsel pada korban guna mengantongi kepercayaan. 

Saat melakukan tindakan seksual, tulis Kompas.id, para sindikat pelaku tak cuma merekam tapi juga video call melalui Telegram dengan klien dari luar negeri. Semua dilakukan saat korban dalam keadaan sadar dan materi-materi eksploitasi ini yang laris diperjualbelikan. 

Baca Juga: Mengenal Definisi Pencabulan, Pelecehan Seksual, dan Pemerkosaan 

Melanggengkan Kekerasan terhadap Anak 

Ada tiga faktor yang membuat kasus eksploitasi anak di Indonesia marak. Salah satunya, kata Anastasya, Indonesia tertinggal dalam pendidikan seksualitas komprehensif dari level keluarga hingga pendidikan formal. Itu masih dianggap tabu bahkan ditafsirkan sebagai pendidikan tentang seks bebas. 

Padahal pendidikan seks komprehensif dibutuhkan untuk menghindarkan anak-anak dari berbagai jenis kekerasan seksual dan risiko lain saat sudah aktif secara seksual. Dalam hal ini, pendidikan seks komprehensif enggak cuma tentang seksualitas tapi juga perubahan biologis dan psikologis, kesehatan reproduksi, seks konsensual, seks aman, dan lainnya. 

“Karena pendidikan ini absen, anak-anak enggak paham kalau melakukan hubungan seksual itu bisa hamil, kena penyakit kelamin. Mereka juga enggak tahu kalau berhubungan seksual orang dewasa sudah masuk pemerkosaan, itu kekerasan,” tutur Anastasya. 

Ia menambahkan, “Dalam beberapa kasus yang kami dampingi, anak-anak yang mengalami eksploitasi seksual, atau kita sebut anak yang dilacurkan ini jadi malas sekolah setelah dapat uang instan dari pelaku.” 

Rizki menjelaskan, faktor pemicu lain adalah budaya perkawinan anak yang masih dinormalisasi. Walaupun sudah ditentukan batas minimal perkawinan minimal 19 tahun menurut UU Nomor 16 Tahun 2019, angka perkawinan anak masih marak. Normalisasi perkawinan tersebut membentuk budaya kekerasan terhadap anak. Mereka jadi rentan dieksploitasi. Parahnya lagi, eksploitasi atas mereka justru dibenarkan. 

Selain itu, rendahnya literasi digital juga jadi faktor lain. Misalnya ketidakpahaman orang tua yang melakukan sharenting di media sosial. Padahal, berdasarkan pengalaman, sering kali predator menjadikan media sosial sebagai medium utama dalam memilih korban. 

“Anak baru lahir, eh udah ada akun Instagram. Di-posting di situ orang tuanya lagi gantiin popok atau mandiin anaknya. Buat sebagian dari kita, mungkin terasa lucu, tapi justru ini jadi ladang buat para predator. Mereka akan menyimpan foto-foto atau video itu, membagikannya ke sesama pedofil, dan anak-anak itu bisa jadi korban selanjutnya,” ungkap Rizki. 

Meski faktor pemicu eksploitasi seksual anak sudah jelas, Indonesia masih belum memberikan perlindungan hukum buat korban. Sejauh ini, kita punya tiga UU yang bisa digunakan untuk menjerat pelaku tindak pidana eksploitasi seksual anak daring. 

Mereka Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak beserta perubahan-perubahannya (“UU Perlindungan Anak”), Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik beserta perubahan-perubahannya (“UU ITE”), dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (“UU Pornografi”). 

Masalahnya, sebagian UU itu masih punya celah untuk mereviktimisasi korban. Melansir laman Rumah Faye, UU ITE masih punya celah mengkriminalisasi balik korban lewat Pasal 27 ayat (1) (dalam revisi UU ITE diganti menjadi Pasal 27A). Pasal ini mengandung frasa “memiliki muatan yang melanggar kesusilaan” yang dinilai tidak jelas dan tidak memiliki batasan yang ajek. 

Hal yang sama juga terkandung dalam frasa “mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik”. Ketika anak memberikan bukti percakapan atau video yang mengandung muatan eksploitasi seksual kepada psikolog/psikiater, maka ada celah bagi pelaku untuk menuntutnya balik. 

Baca Juga: Bagaimana Ciptakan Kampus Aman dari Kekerasan Seksual 

Selain itu, dalam Pasal 78 ayat (1) KUHP ada pula pengaturan batasan waktu mengenai kapan tindak pidana sudah tidak dapat dituntut lagi oleh negara. Dalam penjelasan artikel tersebut dicontohkan, jika kejahatan eksploitasi seksual anak berusia 6 tahun baru terungkap setelah korban 19 tahun, maka ia tidak bisa dituntut lagi atas kejahatannya dengan UU Perlindungan Anak. Sebagai informasi, UU ini memberi batas waktu 12 tahun setelah tindak kejahatan terjadi. Masalahnya, tak semua anak paham bahwa apa yang terjadi pada dirinya adalah kekerasan, buka? 

Pada akhirnya, para predator anak ini masih banyak yang dibiarkan berkeliaran. Sementara, korban menderita trauma fisik dan psikologis hinngga dewasa. Karena itulah, negara harus melihat bahwa menciptaka ruang aman dan perlindungan anak dari eksploitasi seksual sebagai sesuatu yang mendesak. 

Nyatanya, alih-alih bertindak tegas, pemerintah Indonesia justru bersikap tanggung menciptakan ruang aman ini. Misalnya, meski sudah mengadopsi Konvensi Hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak dalam UU Nomor 10 Tahun 2012, tapi UU itu dinilai belum berperspektif korban. Sebab, selama ini, penerapan UU cuma ditujukan untuk kejahatan WNI di luar negeri saja. Padahal ketika kejahatan terjadi di ruang maya, maka batasan ruang itu jadi kabur.  


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.