Opini Safe Space

Anak Jadi Pelaku Kekerasan Seksual, Apa Hukuman Idealnya?

Bagaimana hukum di Indonesia mengatur anak-anak yang jadi pelaku kekerasan seksual dan pembunuhan?

Avatar
  • September 20, 2024
  • 5 min read
  • 52 Views
Anak Jadi Pelaku Kekerasan Seksual, Apa Hukuman Idealnya?

*Peringatan Pemicu: Kasus kekerasan seksual dan femisida

Akhir Agustus lalu, saya membaca berita kekerasan seksual berujung pembunuhan berencana (femisida) di Palembang, kota domisili sekarang. Seorang anak perempuan kelas 2 SMP dibunuh lalu diperkosa oleh empat anak lelaki yang usianya di bawah 17 tahun.

 

 

Usut punya usut, motif salah satu pelaku karena sakit hati akibat cinta tak terbalaskan. Menurut penyidik, pelaku juga sering menonton adegan konten dewasa, dan diperkuat temuan di ponselnya yang menyimpan banyak konten dewasa. Sementara, tiga pelaku lainnya, membantu penyerangan dan sama-sama memperkosa korban secara bergiliran.

Saya sangat marah, sedih, dan prihatin dengan keadaan keluarga korban atas anak perempuan mereka. Dalam salah satu pernyataan yang dikutip media, keluarga korban bilang, “Walaupun mereka (pelaku) di bawah umur, tolong hukum seberat-beratnya!”

Dari pernyataan tersebut muncul pertanyaan, siapa yang bertanggung jawab atas kejadian seperti ini? Apakah tepat menghukum pelaku anak yang melakukan tindak pidana pembunuhan dan kekerasan, sama halnya dengan pelaku dewasa? Bagaimana hukum menjawabnya?

Baca juga: #JusticeForMoumita: Kasus Perkosaan dan Femisida Dokter India Picu Aksi Protes Besar-besaran

Sebagai akademisi di bidang Hukum, persoalan anak sebagai pelaku dalam tindak pidana kekerasan seksual, biasanya merujuk pada sejumlah pasal di Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Dalam Pasal 1 angka 3 dinyatakan: “Anak yang Berkonflik dengan Hukum selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Jika Anak Yang Berkonflik dengan Hukum yang diduga melakukan tindak pidana, dalam masa penahanannya berbeda dengan orang dewasa, yaitu di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Mengenai penjatuhan sanksi pidana penjara di Lembaga Pembinaan Khusus Anak apabila Anak sebagai pelaku tersebut terbukti melakukan tindak pidana, yang apabila keadaan dan perbuatan Anak akan membahayakan masyarakat. Penjatuhan pidana penjara kepada Anak paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa, dan pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak dilaksanakan sampai Anak berumur 18 (delapan belas) tahun”.

Lalu di Pasal 81 ayat (6) disebutkan: “Jika tindak pidana yang dilakukan Anak merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun. Jika para pelaku Anak ini misalnya terbukti memenuhi unsur tindak pidana pembunuhan berencana disertai dengan adanya tindakan kekerasan seksual, maka maksimal pidana penjara di Lembaga Pembinaan Khusus Anak paling lama 10 (sepuluh) tahun, jika merujuk UU Sistem Peradilan Pidana Anak”.

Dari pasal-pasal itu bisa ditegaskan, jika anak menjadi pelaku kejahatan, termasuk kekerasan seksual, maka tak bisa diberlakukan hukuman berat seperti harapan keluarga korban di atas. Namun bagaimana jika kejahatannya di luar nalar seperti yang dialami korban anak perempuan di Palembang? Terlebih kita tahu, kasus seperti ini bukan sekali dua kali. Bahkan belum tuntas duka kita, sudah ada kasus femisida lain yang menimpa perempuan di Sumatra Barat.

Baca juga: Agar Tak Lenyap dalam Senyap: Begini Media Seharusnya Beritakan Femisida

UU Kita Belum Ideal

Menurut Barbaree dan Marshall dalam “An Introduction to the Juvenile Sex Offender: Terms, Concepts, and Definitions” (2006), perlu dibedakan antara dewasa (adult), remaja (juvenile), dan anak-anak (child). Pada kasus kekerasan seksual dewasa, tentu saja mereka bisa wajib bertanggung jawab sepenuhnya dan dijatuhkan sanksi pidana.

Sementara, anak adalah mereka yang berusia di bawah 12 tahun, dan jika jadi pelaku kekerasan seksual, belum dapat dihukum. Lalu, remaja adalah mereka yang berusia 12 hingga 18 tahun, dan bisa dibebankan tanggung jawab pidana alias bisa dihukum. Meski begitu, hukumannya tak bisa disamakan dengan orang dewasa yang berusia 18 tahun ke atas.

Meski di Indonesia, bab ini juga diatur dalam UU, tapi perlu kita tahu, tindak pidana kekerasan seksual sebenarnya tidak mengenal usia. Bukan jaminan anak-anak tak bisa melakukan kejahatan sebrutal ini. Penyebabnya tentu saja beragam. Dalam Kriminologi, ada Teori Sosiogenis yang menjelaskan kejahatan dipengaruhi oleh faktor lingkungan, tekanan kelompok, peranan, dan status sosial.

Orang-orang diyakini berbuat jahat karena proses meniru dan mengimitasi keadaan sekitar. Terlebih di era digital kini, kejahatan kadang tak sengaja dinormalisasi sebagai bentuk kejantanan. Pesan-pesan basi ini sayangnya terus dilanggengkan di media sosial dan pergaulan sosial. Anak-anak sebagai pengguna aktif internet termasuk yang menerima pesan salah kaprah tersebut.

Lebih lanjut, dalam kasus femisida di Palembang, menurut saya kita kerap kali hanyut dalam percakapan: Bagaimana hukuman terbaik untuk anak? Sementara jika mengaji isi UU kita, semua sekadar difokuskan untuk memulihkan dan merahibilitasi alih-alih memberi efek jera. Apakah isi UU ini perlu kita kritik? Jika berkaca dalam konteks kejahatan yang terus berkembang, jawabannya adalah iya.

Baca juga: Mutilasi Perempuan adalah Femisida: Mereka Dibunuh karena Gendernya

Selama ini, percakapan publik kerap tertukar antara kejahatan dan kenakalan. Pun, meski ada ketentuan umur dalam pidana kasus kekerasan yang dilakukan anak dan mekanisme keadilan restoratif, tapi kita tahu kejahatan hingga femisida bersifat dinamis. Jika revisi UU dilakukan, maka perlu menitikberatkan pada proses hukum yang lebih adil dan sesuai dengan dinamika sekarang. Pun, perlu ada ketentuan jelas soal rehabilitasi dan hak anak tanpa mengabaikan rasa keadilan buat korban.

Di luar kritik soal UU, sebenarnya kita juga perlu mencari solusi intervensi dari banyak pihak, termasuk pemerintah, keluarga, institusi sekolah dan agama agar kejahatan anak tak lagi jadi fenomena jamak. Tentu ini bukan hal mudah. Sama sulitnya seperti membayangkan ada perbaikan produk hukum kita yang lebih adil untuk korban. Namun, bukan berarti tak bisa dilakukan, bukan?

Mona Ervita merupakan dosen pada hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Palembang. Sebelum menjadi Dosen, Mona merupakan seorang Advokat di Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender yang fokus pada pendampingan korban kekerasan seksual terhadap anak, korban KDRT, dan KBGO secara probono.

Ilustrasi oleh: Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Mona Ervita

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *