Tentara Pelaku Femisida dan Peradilan Militer yang Tak Transparan
Ini menjadi pembunuhan jurnalis pertama usai UU TNI disahkan.

*Peringatan pemicu: Femisida atau pembunuhan terhadap perempuan karena gendernya.
Jasad jurnalis media daring Newsway.co.id, J, 23 ditemukan di Banjarbaru, Kalimantan Selatan pada (22/3). Ada banyak dugaan atas kronologi peristiwa. Awalnya, sejumlah pihak mengatakan ini merupakan kecelakan tunggal, yang lain berspekulasi J dibegal karena gawai dan dompetnya tidak ditemukan di lokasi kejadian.
Sejumlah organisasi jurnalis dan rekan-rekan jurnalis J pun mendesak Kepolisian Resor (Polres) Banjarbaru untuk melakukan penyelidikan. Teka-teki ini akhirnya terpecahkan dengan terungkapnya pelaku.
“Memang benar telah terjadi kasus pembunuhan yang diduga dilakukan oleh oknum anggota Lanal Balikpapan berinisial J pangkat Kelasi I terhadap korban saudari J,” kata Dan Denpom Lanal Balikpapan, Mayor Laut Polisi Militer Ronald Ganap pada (27/3), sebagaimana dilansir dari Merdeka.com.
Namun, Ronald belum mengungkap motif pelaku dan informasi lainnya. “Ini masih dalam proses pendalaman penyidikan, jadi kami mohon kesabaran rekan-rekan, nanti perkembangan selanjutnya akan kami sampaikan.”
Sementara itu, menurut kakak kandung J, Subpraja Ardinata, J adalah orang yang dekat dengan adiknya. Dia bahkan mengatakan mereka sedang menyiapkan pernikahan. ”Memang orang dekat. Sudah ada persiapan mau menikah. Kalau tanggal pastinya, rasanya di bulan Mei,” terang Praja kepada para wartawan yang datang ke kediamannya di Banjarbaru.
Keluarga, jelasnya, akan terus memantau proses hukum terhadap pelaku dan sangat mengharapkan adanya transparansi. Meski pelaku merupakan anggota TNI AL, Praja menginginkan proses hukum dilakukan di pengadilan sipil, alih-alih di pengadilan militer.
”Untuk sementara, kita ngikut (proses hukumnya). Namun, harapan pribadi, di pengadilan sipil. Ya, harapannya seperti itu,” tuturnya, dilansir dari Kompas.id.
Baca juga: Femisida Bukan Sekadar Pembunuhan Biasa, Ada Misogini di Dalamnya
Menemukan Kejanggalan
Selaras dengan Praja, Koordinator Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Persiapan Banjarmasin, Rendy Tisna juga berharap proses hukum dilakukan di pengadilan sipil. “Seandainya pelaku dan korban sama-sama militer, ya silakan (di pengadilan militer). Ini kan ini korbannya sipil,” terang Rendy kepada Magdalene, (28/3).
Sejak awal menerima kabar dan melihat dokumentasi kasus ini, Rendy sudah meragukan J mengalami kecelakaan tunggal, seperti yang disangkakan beberapa pihak. Di foto dan video yang dilihatnya, jasad J tidak terlihat seperti korban kecelakaan.
Salah satu kejanggalan yang ditemukan Rendy dan teman-teman organisasi wartawan yang lain adalah jasad J memiliki memar di leher bagian belakang. Meski J bukan merupakan anggota AJI, kejanggalan ini mendorong Rendy untuk membentuk tim pencari fakta di internal AJI.
“Awalnya, kita masih memercayakan itu kepada pihak kepolisian, nah ternyata satu dua hari setelah kejadian, masih belum jelas, berdasarkan itu kami membentuk tim internal di AJI,” ucapnya.
“Kami juga menganalisis terkait tulisan-tulisan dari J. Kami menduga kuat bukan terkait produk jurnalistik, makanya kami telusuri lebih dalam, bertemu keluarga, dan ternyata ada aspek lain yang membuat J meninggal dunia,” tambah Rendy.
Setelah beberapa hari tanpa kejelasan, Rendy dan kawan-kawan wartawan kaget pernyataan keluar dari Lanal Balikpapan. Mereka pun jengkel. Menurutnya, pernyataan dari Balikpapan bisa keluar karena kepolisian di Banjarbaru sudah melimpahkan berkas.
Anehnya, hingga waktu Magdalene mewawancarai Rendy, Polda maupun Polres Banjarbaru belum juga menjelaskan kasus ke publik sama sekali. Maka dari itu, Rendy mendesak kepolisian untuk terbuka dan tidak menutupi fakta. “AJI juga mendorong kasus itu dilakukan di pengadilan sipil, karena kan ini korbannya sipil,” ujarnya.
“Dan kasus ini terjadi di Kota Banjarbaru, jadi pengadilannya harus di Bajarbaru, jangan sampai itu dilaksanakan di Kota Balikpapan, sehingga merepotkan pihak keluarga yang harus terbang ke sana ke mari.”
Rendy menekankan J adalah jurnalis yang seharusnya dilindungi dalam bertugas. Dia berharap agar aparat penegak hukum dan pemerintah meningkatkan kepedulian terhadap jurnalis yang berfungsi sebagai kontrol sosial.
Baca juga: Budaya Kehormatan Bikin Perempuan di Turki jadi Korban Femisida
Proses Hukum Militer Tidak Transparan
Keinginan organisasi jurnalis dan keluarga agar penegakan hukum dilakukan di pengadilan sipil tentu saja sangat beralasan. Kasus J bukan peristiwa femisida pertama yang melibatkan anggota TNI sebagai pelaku di 2025. Pada Januari lalu, anggota TNI Angkatan Darat (AD), berinisial Pratu TS membunuh pacarnya di kontrakan di Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten.
Pemberitaan kasus Pratu TS pun berhenti hanya pada penetapan tersangka dan cara pelaku membunuh korban. Padahal, serupa dengan kasus Juwita, ibu korban, juga meminta keadilan. Namun, tak ada yang tahu kelanjutan kasus Pratu TS.
Berkaca dari sana, meskipun Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Muhammad Ali sudah bilang anggotanya yang melakukan femisida pada Juwita akan, “kita hukum berat,” dengan mengepalkan tangan penuh ketegasan, nampaknya hukuman berat itu akan sulit dipantau karena kurangnya transparansi.
Menurut Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhamad Isnur, tak transparannya proses hukum anggota militer yang melakukan tindak pidana di ranah sipil dimungkinkan karena adanya celah aturan.
Pasal 65 ayat dua Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI sebenarnya mengatur agar para prajurit “tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang.” Artinya, militer yang melanggar KUHP, seharusnya disidangkan di pengadilan sipil.
Namun sayang, bunyi dari pasal berikutnya meninggalkan celah hukum yang melanggengkan impunitas. “Apabila kekuasaan peradilan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berfungsi, maka prajurit tunduk di bawah kekuasaan peradilan yang diatur dengan undang-undang,” sebagaimana tertuang di Pasal 65 ayat (3).
Sementara, Isnur berkata, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, tak menjelaskan secara rinci jenis tindak pidana yang bisa disidangkan di pengadilan sipil. Ini menyebabkan TNI selalu disidangkan di peradilan militer, terlepas apapun tindak pidana yang dilakukan.
Dia menduga celah hukum ini memang sengaja dibiarkan ada, karena militer tidak mau disidangkan di pengadilan sipil jika melawan hukum. “Sebenarnya itu bukan tidak berfungsi, tapi militer tidak mau menyerahkan, tidak mau menggunakan, atau tidak mau mempercayakan, prajurit-prajurit ini disidangkan di pengadilan umum. Jadi ini adalah proses pembangkangan. Kenapa pembangkangan? Karena tidak mau menyerahkan itu ke wilayah sipil.”
Isnur juga menilai kasus J menjadi contoh bahwa hukum tidak tegak dan menunjukkan bahwa reformasi belum selesai. Padahal, publik seharusnya memiliki hak untuk mengetahui pelaku diberi hukuman yang adil.
Baca juga: Cukup Sudah: Hentikan Eksploitasi Kematian Korban Kekerasan Seksual!
“Dan harusnya ini dihukum secara maksimal, mengerikan sekali ini bagian dari femisida atau pembunuhan terhadap perempuan,” ungkapnya.
Di situasi seperti ini, mendesak Presiden dan DPR untuk melakukan revisi yang lebih berguna adalah pilihan yang tepat. Sebab, terang Isnur, adanya celah hukum di UU TNI menunjukkan kegagalan Presiden dan DPR dalam mendorong perubahan yang berarti.
Alih-alih mengatur ulang UU TNI dan UU Peradilan Militer supaya anggota TNI bisa bersidang di pengadilan sipil, pemerintah malah sibuk memberi memperluas kewenangan militer dalam revisi kemarin.
“Problemnya, peradilan militer dari mereka semua, baik itu penuntutnya, penyidiknya, hakimnya, pembelanya mereka semua. Bagaimana kita mengharapkan proses yang independen dan fair kalau semuanya oleh militer?” pungkas Isnur.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
