Gender & Sexuality Screen Raves

‘Hati Suhita’ dan Dinamika Perjodohan di Lingkungan Pesantren

Ada cerita tentang keberdayaan dan tantangan perempuan dalam plot perjodohan ala pesantren yang dipotret ‘Hati Suhita’.

Avatar
  • June 13, 2023
  • 7 min read
  • 2472 Views
‘Hati Suhita’ dan Dinamika Perjodohan di Lingkungan Pesantren

Beberapa minggu belakangan, ada satu film yang mendapat perhatian cukup besar dari masyarakat, terlebih dari kalangan muslim. Film itu berjudul Hati Suhita, adaptasi dari novel karya Khilma Anis, seorang ning–pengasuh pesantren perempuan–asal Jember, Jawa Timur. Apresiasinya cukup luas, setidaknya ditinjau dari bertahannya ia diputar di layar bioskop kota-kota besar.

Film Hati Suhita–dan juga novelnya–mengisahkan tentang Al Birruny atau Birru, seorang gus atau anak kiai pesantren dari Jawa Timur, yang dinikahkan dengan seorang santri putri dan ning juga bernama Alina Suhita. Perjodohan ini memang telah digadang-gadang oleh Kiai Hannan, orang tua Birru, agar anaknya mendapat pendamping yang bisa meneruskan kepemimpinan pesantrennya.

 

 

Gus Birru adalah putra kiai, Alina adalah anak kiai juga dan santriwati yang cemerlang. Ideal dan klop.

Baca juga: Review Dokumenter ‘Pesantren’: Membongkar Stigma Buruk Pesantren

Namun dalam perjalanannya, ternyata Gus Birru tidak mencintai Alina Suhita. Pernikahan hasil perjodohan ini mulanya hambar dan tidak ada cinta antara keduanya. Meski mereka tahu tak saling cinta, keduanya menyesuaikan diri dalam interaksi di hadapan kedua orang tua mereka. Selain tiadanya cinta, ternyata Gus Birru ini juga memiliki cinta lama dengan perempuan bukan dari kalangan pesantren, yaitu Ratna Rengganis, rekan dan adik kelas Gus Birru semasa kuliah.

Konflik dan dinamika perasaan antara tiga tokoh utama: Alina, Birru, dan Rengganis, menjadi pusat cerita. Upaya Birru menegosiasikan cintanya untuk Alina ataupun Rengganis yang membuat kisah novel dan juga filmnya hidup.

Pembahasan film ini kurang lengkap jika mengabaikan latar ceritanya: Tradisi perjodohan yang lumrah di lingkungan pesantren.

Lebih spesifik lagi, perjodohan antar-keluarga kiai. Barangkali, kamu yang memercayai otoritas pesantren dalam ber-Islam, atau mungkin juga mengikuti beberapa karya sastra atau film lainnya dengan nuansa pesantren, akan menemui bahwa perjodohan gus-ning, santriwan-santriwati, ustad-ustadzah, adalah hal yang biasa terjadi.

Mengapa Pemuka Pesantren Menjodohkan Anak atau Santrinya?

Barangkali perjodohan tidak khas pesantren saja. Masyarakat dengan tradisi patriarkal yang kuat, juga kerap melakukan ini. Namun ajaran syariah dan keilmuan fikih yang diajarkan para ulama menyebutkan adanya ajaran syariat tentang konsep kafa’ah atau pasang sekufu. Dalam konsep ini, pasangan yang menikah idealnya itu setara, entah dalam status sosial, ekonomi, keilmuan atau pengaruh. Hal ini mirip dalam tradisi Jawa misalnya, tentang pentingnya bibit, bebet, bobot dalam memilih pasangan.

Karena itulah, perjodohan mendapat legitimasi syariatnya. Meski hal ini sudah jadi rahasia umum, tentu perlu ada telaah lebih mendalam mengapa hal ini adalah budaya pesantren yang berlangsung turun temurun. Salah satu karya ilmiah paling awal yang meneliti relasi perjodohan dan pernikahan antar-keluarga pesantren ini adalah yang disusun oleh Zamakhsyari Dhofier, dalam artikelnya Kinship and Marriage among Javanese Kiai. Artikel ini mendedah pernikahan antar-keluarga pesantren itu memiliki kepentingan kultural, sosial, dan bisa juga politis.

Kiai, meskipun tinggal di desa dan mengayomi orang kampung, bagaimanapun juga adalah bagian dari strata elite dalam struktur masyarakat. Ia adalah otoritas keagamaan, dan pengasuhan atas madrasah atau pesantren akan kian memperkuat pengaruhnya.

Baca juga: Santri Muda Buat Film untuk Lestarikan dan Kritik Tradisi Pesantren

Bahkan, pengaruh tersebut tidak hanya urusan agama saja, namun juga urusan privat seperti properti, pernikahan maupun perceraian, bahkan urusan sepele di masyarakat semisal menentukan pakan untuk ternak.

Menurut Dhofier, para kiai dan bu nyai pengasuh pesantren melihat bahwa, komunitas muslim yang ideal dibangun dari struktur keluarga yang baik, yang akan melahirkan generasi muslim selanjutnya. Begitupun bagi kalangan pengasuh pesantren tersebut, mereka juga memiliki keinginan mempertahankan “budaya pesantren”, sehingga akan sangat mempertimbangkan orang yang kelak bisa diajak mengawal budaya itu sebagai bagian dari keluarga.

Pernikahan dalam konteks pesantren menurut Zamakhsyari Dhofier di masa itu adalah model endogami, atau pernikahan sesuai kelas sosial keluarga pesantren. Kiai dan bu nyai akan sangat selektif mempertimbangkan sejauh mana calon menantunya bisa berkiprah untuk keberlanjutan pesantren. Usaha ini salah satunya dilakukan dengan melakukan perbesanan dari lingkungan yang masih terhitung kerabat, meskipun agak jauh – semisal tunggal buyut, yang dipandang masih kuat tradisi santrinya.

Meski begitu, Dhofier juga menyebutkan dari sekian usaha perbesanan para pemimpin pesantren tersebut, tidak seluruhnya akan jadi penerus, alih-alih mengembangkan pesantren. Banyak juga yang pada akhirnya menjadi “orang-orang biasa” di luar lingkup pesantren juga, kendati masih sedikit banyak memegang tradisi ke-Islaman khas mereka.

Baca juga: Jodoh Enggak Cuma dalam Urusan Kencan, tapi Juga Konseling

Perjodohan juga mungkin dilangsungkan dengan orang selain santri. Namun, kembali lagi jika memenuhi kriteria kafa’ah dalam pernikahan, serta harapan tertentu sang pemuka pesantren akan keberlanjutan tradisi dan institusinya. Sederhananya, memang perbesanan tersebut ‘tidak harus dengan keturunan pengasuh pesantren, tapi dengan yang ada potensi untuk menjadi kiai/nyai.’

Dengan demikian, kisah perjodohan Alina Suhita dan Gus Birru sebagai perbesanan antar-pemuka pesantren, juga kisah dilema Rengganis sebagai orang luar yang tidak bisa menjadi bagian dari ‘budaya santri’, bisa dipahami secara konstruksi sosial dan budaya yang ada.

Dhofier menyebutkan pula bahwa perempuan dalam tradisi perjodohan pesantren, cenderung berada dalam dominasi kalangan lelaki.

Perjodohan memang sangat dinamis, tapi tetap saja pihak yang akan lebih aktif adalah lelaki. Namun seiring zaman, ternyata para perempuan, khususnya perempuan santri yang dijodohkan, punya posisi tawar terhadap tradisi ini.

Melihat Perempuan Pesantren Merespons Perjodohan

Perempuan yang berada dalam tradisi perjodohan, kerap kali berada dalam posisi subordinat dan pasif. Dalam kultur patriarkal, memang perempuan kadang terkesan tidak punya hak bersuara. Ini bisa kita lihat tidak hanya dalam tradisi lingkungan agama maupun adat. Semisal, dalam kisah-kisah lama seperti Sitti Nurbaya.

Begitu pula sosok yang bisa “memaksa” santriwan, santriwati, ataupun perempuan dalam tradisi ini adalah guru atau kiai, sehingga adanya perbedaan relasi kuasa juga terjadi dalam perjodohan tersebut. Meskipun sebenarnya, peran Nyai – istri kiai – juga tidak bisa diabaikan, mengingat merekalah yang lebih tahu pribadi santriwati yang sehari-hari mereka bimbing.

Setidaknya dalam perjodohan di lingkungan pendidikan agama, ada dua model doktrin yang tampak: satu, konsep ketaatan pada orang tua atau birrul walidain, mengingat kiai dan nyai bisa dipandang sebagai orang tua sendiri. Maupun ketika orang tua sang perempuan ‘ditembung’ atau diarahkan oleh kiainya, mereka juga akan membuat anak mengikuti perintah mereka.

Kedua, konsep sami’na wa atha’na, atau ketaatan pada guru. Dalam tradisi pesantren, taat pada guru lebih-lebih yang dipandang punya linuwih dalam hal spiritual, membangkang adalah salah satu bentuk subversi dan pamali. Inilah yang membuat dalam perjodohan, perempuan sulit melakukan protes terbuka.

Benarkah perempuan sepasif itu? Tampaknya tidak, dan salah satu telaah yang menjelaskan cukup baik tentang bagaimana perempuan pesantren merespons perjodohan adalah artikel yang disusun oleh Nihayatul Wafiroh, akademisi dan senator DPR RI dari fraksi PKB, berjudul Pesantren, Women’s Agency and Arranged Marriages in Indonesia.

Perempuan pesantren ternyata juga punya kemampuan bargaining dan mampu bernegosiasi atas perjodohan mereka, baik atas nama dirinya sendiri ataupun atas nama keluarga. Kemampuan itu bisa muncul jika mereka memiliki kapital yang cukup. Entah itu pendidikan, kultural, atau ekonomi.

Semisal, ketika sang perempuan atau keluarganya lebih ‘terpandang’ dalam perjodohan, mereka bisa menawar bagaimana hubungan itu akan berlanjut. Atau semisal perempuan tersebut cukup bisa mengartikulasikan dengan baik rasa tidak berkenannya dalam keluarga, argumennya tentang perjodohan akan lebih berpengaruh.

Ninik Wafiroh mencatat, sebenarnya perempuan santri tidak sepasif yang dibayangkan. Ada resistensi atau negosiasi terhadap perjodohan tersebut, yang bisa terjadi secara terbuka, entah berujung bersanding di pelaminan atau malah tidak terjadi sama sekali. Tentu hal ini lebih mungkin terjadi pada perempuan dengan modal intelektual, ekonomi, sosial atau kultural yang lebih tinggi.

Sedangkan resistensi secara tertutup, minimal protes-protes kecil kepada orang tua atau mungkin ‘berdamai dengan perasaannya’ adalah hal yang mungkin bisa mereka tanggung sesuai kapital terbatas yang dimiliki. Tidak seperti kalangan yang pertama.

Setiap upaya perjodohan tersebut tentu memiliki urgensi masing-masing bagi pelakunya. Memang tidak bisa digeneralisasi. Namun, peranan perempuan dalam dinamika perjodohan itu, mulai dari budaya, modal sosial, maupun apresiasi terhadap modernitas menentukan bagaiamana mereka bisa menegosiasikan ulang perjodohan mereka.

Demikian dinamika perjodohan di pesantren yang mungkin bisa dipotret dari film dan novel Hati Suhita. Birru dan Alina Suhita memang menerima perjodohan mereka. Tapi, sebelum dan dalam pernikahan mereka, ternyata ada resistensi dari keduanya.

Alina Suhita beruntung, ia punya modal sosial dan intelektual yang cukup untuk menegosiasi pernikahan hasil perjodohannya, minimal menunjukkan tiadanya rasa cinta pada awalnya. Kendati pada akhirnya, Birru dan Alina menerima keadaan pernikahan mereka.

Jika Alina lebih berani ‘menawar’ tradisi sebagai perempuan, atau Birru bisa meyakinkan keluarga bahwa cinta lamanya, Rengganis, bisa turut bersumbangsih dalam tradisi kepesantrenannya, mungkin kita bisa membayangkan alternatif akhir cerita yang lain.

Muhammad Iqbal Syauqi, dokter umum alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tinggal di Malang. Menaruh minat pada isu-isu ke-Islaman kritis dan sosial.



#waveforequality


Avatar
About Author

Muhammad Iqbal Syauqi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *