Koalisi Masyarakat Sipil: GA adalah Korban, Jangan Dikriminalisasi!
Kepolisian gagal melihat GA sebagai korban kekerasan yang dibuka aibnya dan terciderai harkat dan martabatnya sebagai perempuan.
Penyebaran video intim mirip GA yang berdurasi 19 detik sempat ramai, bahkan sempat trending di Twitter pada 7 November. Menanggapi itu, Febriyanto Dunggio dan Pitra Romadoni melaporkan total 8 akun yang diduga sebagai penyebar pertama video intim itu, serta pihak yang terlibat di dalamnya. Alasan para pelapor relatif sama, yakni keresahan publik. Berdasarkan laporan pada Selasa, 17 November 2020 tersebut, GA memenuhi panggilan pihak kepolisian sebagai saksi. Lalu pada Selasa, 29 Desember 2020, status GA meningkat menjadi tersangka. GA ditetapkan sebagai tersangka dijerat dengan Pasal 4 ayat 1 juncto Pasal 29 dan atau Pasal 8 Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi.
Tanggapan Mengenai Jerat Hukum
Dalam pasal 4 ayat 1 UU 44/2008 tentang Pornografi tertulis bahwa “Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi”. Adapun konten yang dianggap pornografi mencakup enam hal, yaitu persenggamaan, kekerasan seksual, masturbasi atau onani, ketelanjangan atau tampilan yang
mengesankan ketelanjangan, alat kelamin, atau pornografi anak. Tertera pada Penjelasan Pasal 4 Ayat 1, dipaparkan bahwa yang dimaksud ‘membuat’ dikecualikan jika diperuntukan dirinya sendiri atau kepentingan sendiri. Sehingga benar ataupun tidak GA merupakan orang di dalam video intim tersebut, ia tidak dapat dijerat ketentuan pidana.
Dalam pasal 8 UU 44/2008 tentang Pornografi berbunyi “Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi”. Kepolisian seharusnya kembali menanyakan dan mempertimbangkan mens rea dari dugaan keterlibatan GA dalam kasus video intim ini. Tujuan awal daripada UU 44/2008 tentang Pornografi adalah untuk mencegah dan menanggulangi pembuatan ataupun penyebaran konten pornografi dengan niat jahat menyasar publik maupun komersial.
Menggunakan UU 44/2008 untuk mengkriminalisasi seseorang yang tanpa niat membuat konten intimnya dikonsumsi publik menunjukan realita bahwa negara melalui aparat penegak hukumnya tidak berpihak kepada korban. Kepolisian dalam hal ini gagal melihat GA sebagai korban kekerasan yang dibuka aibnya dan terciderai harkat dan
martabatnya sebagai perempuan.
“Keresahan Publik” Menegasikan Perspektif Korban
Salah satu pelapor pada pernyataannya di media Jawa Pos (19/11/2020) mengungkapkan bahwa alasan dirinya melaporkan GA atas video intim tersebut dikarenakan oleh ketakutannya jika video intim itu dikonsumsi anak-anak. Sungguh disayangkan keresahan masyarakat ini melupakan kenyataan bahwa GA merupakan ibu dengan anak balita. Hal ini menjadi bukti bahwa masyarakat Indonesia, termasuk media, masih gagap untuk menelaah kasus
kekerasan seksual dan dampaknya.
Komnas Perempuan mencatat kenaikan kasus Kekerasan Gender Berbasis Siber sebesar 300% yakni sebanyak 281 kasus di 2020 dibandingkan 97 kasus di tahun 2018. Kasus siber terbanyak berbentuk ancaman dan intimidasi penyebaran foto dan video intim korban. SGRC Indonesia pada 2018 lalu menuliskan penelitian dan mengklasifikasikan Kekerasan Seksual Siber di dunia maya menjadi 11 jenis, termasuk di dalamnya penyebaran konten intim tanpa izin, yaitu tindakan distribusi gambar atau video atau teks tanpa persetujuan orang tersebut. Walau pengertiannya berubah seiring waktu, penyebaran konten intim tanpa izin merupakan realita bahwa Kekerasan Gender Berbasis Siber memang ada dan GA merupakan salah satu korbannya.
Menelaah kasus tersebut, kami, Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS) geram atas ketidakadilan yang terjadi terhadap GA dan juga mengecam tindakan aparat hukum yang membeberkan hasil pemeriksaan kepada media dan masyarakat umum. Kasus ini adalah salah satu bentuk dari Kekerasan Gender Berbasis Siber yang sangat merugikan GA sebagai korban penyebaran video intim. Penetapan GA sebagai tersangka justru kembali menyakiti GA yang merupakan korban kekerasan seksual. Hukum yang sepatutnya melindungi perempuan dan kelompok rentan malah berubah ganas dan mengkriminalisasi korban kekerasan seksual.
Maka dari itu kami menuntut kepada:
- Jurnalis dan Media Massa, mengedepankan pemberitaan yang manusiawi, tidak menyudutkan atau menyalahkan GA, dan memberitakan kasus ini dengan perspektif korban, sebagaimana netralitas jurnalisme yang dijunjung tinggi.
- Aparat Penegak Hukum, Penyidik Kepolisian, untuk fokus kepada penyidikan terhadap pihak pelaku yang menyebarkan video tersebut. Kepolisian harus dengan segera menghentikan proses hukum terhadap GA dengan mengeluarkan SP3 dan menempatkan GA sebagai korban.
- DPR dan Pemerintah untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai payung hukum yang berfokus pada pemenuhan hak korban kekerasan seksual seperti GA, dalam bentuk perlindungan dan pemulihan tanpa kriminalisasi.
- Mendorong masyarakat sipil berperan aktif dengan #GerakBersama menciptakan ruang siber aman dan nyaman, bebas dari kekerasan seksual dengan tidak ikut menyebarluaskan dan menghentikan penyebaran konten intim tanpa izin, melawan narasi yg menyudutkan dan menyalahkan korban, dan ikut andil menciptakan ruang aman untuk korban mendapatkan keadilan dan pemulihan terlepas dari identitas sosial yang dimiliki korban.
Demikian Pernyataan Sikap ini kami sampaikan, sebagai bentuk solidaritas kepada GA dan
korban kekerasan seksual lainnya.