December 16, 2025
Environment Issues Politics & Society

Krisis Lingkungan di Tesso Nilo: Hutan Menyempit, Gajah Kian Terjepit 

Di Tesso Nilo, gajah Sumatera kehilangan habitat akibat sawit ilegal dan konflik manusia dengan satwa. Siapa harus bertanggung jawab?

  • December 4, 2025
  • 4 min read
  • 1409 Views
Krisis Lingkungan di Tesso Nilo: Hutan Menyempit, Gajah Kian Terjepit 

Beberapa hari terakhir, potongan video dokumenter Years of Living Dangerously kembali beredar luas di media sosial Indonesia. Cuplikan itu menampilkan aktor Harrison Ford mengunjungi Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau, sambil menyoroti kerusakan hutan yang terjadi akibat perkebunan sawit ilegal. Dalam video, Ford berdiri di tengah hutan yang telah gundul dan menghadapi pejabat Indonesia yang tertawa saat ditanya soal ekspansi sawit. 

Pejabat tersebut adalah Zulkifli Hasan, yang pada masa dokumenter direkam menjabat Menteri Kehutanan. Video itu kembali viral bersamaan dengan meningkatnya tensi konflik di TNTN, setelah pos komando taman nasional dirusak sekelompok warga pada 24 November lalu. 

Peristiwa itu dipicu rencana pemerintah untuk memulihkan 81.739 hektare kawasan TNTN yang telah berubah menjadi kebun sawit ilegal dan permukiman. Warga diminta relokasi dalam tenggat tiga bulan. Penolakan muncul karena masyarakat mengelola lahan tersebut selama bertahun-tahun dan khawatir kehilangan sumber ekonomi. 

Baca juga: Hewan juga Korban Bencana, Inisiatif Warga Tak Seharusnya Bikin Negara Cuci Tangan

Taman Nasional yang Jadi Titik Konflik 

Rangkaian peristiwa ini menyoroti persoalan yang berlangsung hampir dua dekade. TNTN ditetapkan sebagai taman nasional pada 2004 melalui SK Menteri Kehutanan No. 255/Menhut-II/2004, lalu diperluas pada 2009 hingga ±83.068 hektare. Kawasan ini merupakan salah satu hutan dataran rendah tersisa di Sumatera dan habitat penting gajah Sumatera, harimau, tapir, serta keanekaragaman flora dan fauna lainnya. 

Kajian ekologis Distribution and habitat preferences of Sumatran elephant (Elephas maximus sumatranus) in Riau, Indonesia (2007) mencatat Tesso Nilo memiliki kepadatan populasi gajah relatif tinggi dibandingkan area lain di Riau. Studi Forest Fragmentation and Connectivity for Asian Elephant Conservation (Biological Conservation, 2010) menegaskan fragmentasi hutan dataran rendah di Sumatera berpotensi mengganggu konektivitas populasi gajah dan mempercepat risiko kepunahan lokal. 

Perambahan di TNTN meningkat setelah era konsesi kayu berakhir. Lahan bekas tebangan berubah menjadi kebun sawit ilegal yang dikelola individu dan jaringan perantara tanah. Ketika TNTN ditetapkan, sebagian kebun dan permukiman telah berdiri sehingga proses penegasan batas kawasan dan penertiban menghadapi tantangan besar. 

Data Global Forest Watch menunjukkan Riau sebagai salah satu provinsi dengan tingkat deforestasi tertinggi di Indonesia. Sejak 2001–2024, Riau kehilangan 4,3 juta hektare tutupan pohon, setara 55 persen penurunan sejak tahun 2000 dan 13 persen dari seluruh kehilangan tutupan pohon nasional. 

Dalam siaran pers Kementerian Kehutanan (Juni 2025), luas aktual TNTN tercatat menyusut menjadi 12.561 hektare. Dari kawasan tersebut, sekitar 40.000 hektare telah dibuka dan ditanami sawit ilegal. Ada sekitar 15.000 penduduk yang tinggal di dalam kawasan, dengan hanya 10 persen merupakan penduduk asli. 

Baca juga: Banjir Sumatera adalah Pengingat untuk Bertobat (Ekologis)

Habitat Gajah Menyempit, Konflik Meningkat 

Penyusutan hutan berdampak langsung pada gajah Sumatera. Fragmentasi habitat menyebabkan ruang jelajah mereka semakin sempit. Satu kelompok gajah Asia membutuhkan area 20.000 hingga 100.000 hektare untuk mencukupi kebutuhan pakan dan pergerakan. Dengan populasi sekitar 150 ekor di TNTN, kebutuhan ruang jelajah ideal mencapai 140.000–160.000 hektare, jauh di atas luas hutan alami yang tersisa. 

Konversi hutan menjadi perkebunan sawit mengurangi sumber pakan alami. Studi Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (2022) mencatat hilangnya vegetasi asli hutan tropis menurunkan ketersediaan pakan gajah. Satu ekor gajah dapat mengonsumsi hingga 250 kilogram pakan per hari, sehingga kekurangan pakan di hutan mendorong mereka memasuki kebun sawit dan ladang warga. 

Sejak 2015, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau mencatat sedikitnya 23 ekor gajah ditemukan mati di TNTN. Seluruh kematian tercatat setelah keluarnya SK Menteri Kehutanan No. SK.6588/Menhut-VII/KUH/2014 tentang batas kawasan. Kepala BBKSDA Riau Supartono menyebut sebagian besar kematian terkait konflik manusia–satwa, mulai dari jerat, racun, hingga gajah yang tidak mampu bertahan akibat kondisi lingkungan yang berubah. 

Kematian gajah terjadi hampir tiap tahun: dua kasus pada 2015, dua pada 2016, dua pada 2018, satu pada 2019, tiga pada 2020, tiga pada 2023, dua pada 2024, dan satu kasus pada 2025. Salah satu kasus yang menonjol adalah kematian gajah latih Rahman pada Januari 2024. Gajah itu ditemukan mati dengan dugaan diracun, dan bagian gadingnya hilang. 

Baca juga: ‘White Savior’ dan Bias Kolonial dalam Temuan Bunga Langka Rafflesia hasseltii

Upaya pemulihan Tesso Nilo tetap menghadapi tantangan besar. Penertiban kebun sawit ilegal berlangsung bersamaan dengan keberadaan permukiman di dalam kawasan. Rehabilitasi hutan juga memerlukan kejelasan koridor jelajah satwa. Pada saat yang sama, warga menghadapi persoalan relokasi, akses ekonomi, serta status lahan yang telah mereka kelola selama bertahun-tahun. 

Berbagai studi terkait penyelesaian konflik di kawasan konservasi menunjukkan perlunya pendekatan yang memadukan pengelolaan ekologis, penataan ruang, serta kebijakan sosial yang mempertimbangkan kondisi masyarakat sekitar. Selama persoalan dasar tersebut belum terselesaikan, TNTN akan tetap menjadi kawasan rawan konflik antara satwa liar dan manusia. 

About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.