Issues

Beda Gen Z dan Milenial Hadapi Tekanan Kerja di ‘Start-up’, Siapa Lebih Tangguh? 

Benar enggak sih mitos kalau Gen Z gampang ‘burnout’ dan malas kerja. Sementara, milenial senang iya-iya saja tapi sibuk ‘ngomongin’ bos di belakang? Simak pengakuan mereka.

Avatar
  • June 28, 2024
  • 11 min read
  • 262 Views
Beda Gen Z dan Milenial Hadapi Tekanan Kerja di ‘Start-up’, Siapa Lebih Tangguh? 

Ada mitos yang bilang, Gen Z bermental strawberry alias lembek, sehingga tak cukup adaptif di dunia kerja. Sebaliknya, milenial sekali pun tak sekaku Gen X, dianggap lebih bisa menyesuaikan diri. Meskipun karakter memendamnya, bikin mereka berpotensi lebih mudah jadi kutu loncat. 

Untuk membongkar sekaligus membuktikan kebenaran mitos-mitos dan label tersebut, aku meminta perwakilan masing-masing generasi untuk confess. Jika dihadapkan pada situasi yang sama, seperti suasana lembur atau kerja yang penuh tekanan, bagaimana Gen Z dan milenial menghadapinya. 

 

 

Berikut pengakuan Via, seorang milenial dan Bimo yang ngaku sebagai Gen Z tulen. Dua-duanya bekerja di start up yang fokus dalam jual beli (e-commerce). 

Baca juga: Bangga Jadi Milenial dengan “Cuan” yang Biasa-biasa Saja

POV Via 

“Kita harus siap-siap ya. Beberapa hari sampai seminggu lagi, akan masuk musim 6.6. Jangan lupa siapin promo dan komunikasi ke brand soal strategi. Okay?” ujar Mas Anto, senior tim kami pada Jumat malam (24/5), saat menutup meeting terakhir. Alih-alih menyambut weekend dengan riang gembira, pesan Mas Anto malah bikin aku over thinking. Seperti biasa, menuju tanggal kembar, karyawan harus bekerja berlipat-lipat lebih berat. 

Di tahun ketigaku di kantor ini, aku sudah mulai beradaptasi dengan momen-momen macam itu. Karena sudah melewati belasan tanggal kembar, aku optimis kali ini takkan terlalu berat. 

Jam 9 malam. Aku segera mengemasi tas kerja dan memesan ojek online menuju berangkat stasiun. Maklum, semenjak memasuki kepala 3, badanku sudah enggak begitu kuat untuk pulang malam. Yes, jam 9 malam mah masih sore buat pekerja start-up Jakarta. Ya enggak sih? 

Sebelum turun ke lobby, aku melihat Bimo masih sibuk dengan laptop dan headphone-nya. Bimo belum bersiap. Dia masih sibuk mengobrol entah dengan siapa melalui laptopnya. Tadinya aku ingin berpamitan, tapi melihat ia sibuk, aku memutuskan langsung pulang tanpa basa-basi. 

POV Bimo 

Lagi-lagi, kami harus berhadapan dengan tanggal kembar. Sebagai new joiner, aku cukup senang bisa bertemu dengan banyak rekan tim yang lebih senior. Mereka fun dan easy going.  Aku belajar banyak hal dari mereka yang seperti keluarga, ya like Asian value banget lah. Hanya saja, sampai sekarang, aku masih belum terbiasa dengan beban kerja yang sseabrek ini.  

Selepas Mas Anto menutup meeting, aku tidak mengira akan mendapati diriku yang tiba-tiba merasa cemas. Tanganku berkeringat. Meskipun ini bukan pertama kali, cemasnya tetap berasa. Aku pun rehat sejenak. Alih-alih bersiap pulang, aku mencoba menenangkan pikiran dengan mendengar satu dua lagu sebelum akhirnya menutup laptop.  

Berselang dua menit, ponselku berdering. Rekanku rupanya. Aku mengangkatnya sembari mematikan lagu yang tengah kuputar. Tanpa tujuan, ternyata dia hanya ingin menanyakan kabarku. Pas sekali, gumamku. Setelah 10 menit basa-basi, akhirnya aku bercerita sedang lelah sekali. 

POV Via 

Senin datang. Karena akhir pekan kemarin aku habiskan untuk drafting pekerjaan, aku merasa lebih tenang sekarang. Ya, meskipun harus merelakan waktu istirahat, tapi enggak apa-apa lah. Setidaknya, aku enggak perlu berangkat ke kantor dengan perasaan yang cemas. Kerjaanku sudah beres sebagian.  

Sampai di kantor jam sembilan tepat, kami memulai meeting pagi untuk update perkembangan penjualan di masing-masing brand yang kami pegang selama seminggu ke belakang. Aku memulainya pertama. Dengan presentasi melalui aplikasi zoom, kupaparkan beberapa data terkait sepuluh brand yang aku pegang. Beberapa ada yang sudah mulai merencanakan promo. Sebagian lainnya, masih perlu bertemu kembali untuk menyusun strategi penjualan. 

Mas Anto cukup senang dengan perkembangan brand yang kupegang. Menurutnya, progress-nya sangat terlihat dan pekerjaanku baik. Lumayan jadi happy pills untuk pagi ini.   

Presentasi berlanjut. Rekan tim lainnya melanjutkan report masing-masing. Setelah dua jam berlalu, meeting berakhir. Hanya saja, Mas Anto dan Bimo tidak langsung leave dari zoom meeting pagi itu. Mereka lanjut mengobrol.  

Karena belum sempat sarapan, aku meninggalkan meeting dan langsung menuju pantry. Ini saatnya untuk mencicipi bekal makanan yang sudah kusiapkan di rumah, pikirku. Nasi uduk memang menu sarapan terbaik sampai detik ini.  

Baca juga: Saya Ngobrol dengan Gen Z Soal Alasan Ogah Disebut Buruh Meski Digaji Bulanan

POV Bimo 

Senin ini terasa lebih berat dari Senin Senin biasanya. Bagaimana tidak? Meeting sudah di depan mata, tapi data report-ku belum rampung semua. Aku heran, ini memang aku yang enggak pandai bagi waktu, atau memang pekerjaannya saja yang kebanyakan ya? Sebagai imbas cemas di Jumat lalu, akhir pekan kemarin sengaja kuluangkan untuk beristirahat, sebagaimana mestinya. Meskipun hanya di rumah, aku merasa itu semua sudah lebih dari apa yang kubutuhkan.  

Aku sampai kantor lebih awal dari biasanya. Aku buka laptop dan bergegas mencari data yang perlu dilaporkan pagi ini. Dari tujuh brand yang kupegang, ternyata aku baru merampungkan dua. Duh, bilang apa ya nanti saat meeting ke Mas Anto?  

Meeting dimulai. Aku yang kebagian urutan ketiga makin cemas ketika melihat Mbak Via, kawan satu tim yang bebannya lebih banyak, malah bisa merampungkan report-nya dengan tepat waktu. Aku semakin khawatir. 

Saat tiba giliran, aku memaparkan report seadanya. Dengan data dua dari tujuh brand, aku jelaskan traffic penjualan dan strategi dagang selanjutnya untuk satu bulan ke depan. Tidak ada penolakan dari Mas Anto, hanya saja….  

”Cuma segini ya, Bim?” tanyanya selepas aku menutup paparanku.  

“Hmm.. Iya Mas, baru segini.” 

“Oke oke, enggak apa-apa, yuk, next ya,” balasnya cepat.  

Huft, syukurlah, gumamku. Ternyata Mas Anto enggak melontarkan teguran di depan timku.  

Selepas meeting aku coba menghampiri Mas Anto. Entah benar atau enggak, tapi sudahlah, aku tetap tidak enak karena belum menyelesaikan pekerjaanku di waktu yang sudah ditentukan.  

“Mas, maaf, mau langsung pergi lagi kah abis ini?” tanyaku pelan. 

“Oh enggak, Bim, kenapa tuh?” 

Akhirnya, aku menceritakan semua hal yang ku asakan.  

Lewat percakapan lima belas menit itu, aku menuangkan rasa cemasku, kewalahan, overthinking ke Mas Anto. Syukurlah ia merespons dengan baik. Dia justru senang karena aku bisa berterus terang soal ini. Meskipun hal ini tidak mengubah besaran tanggung jawabku. Setidaknya, Mas Anto bisa memberi toleransi tenggat waktu supaya aku bisa mengirimkan report semua brand-ku secara lengkap.  

Aku melanjutkan pekerjaan seperti biasa. Setidaknya, kini pikiranku jauh lebih jernih meskipun pekerjaan masih segudang. Ah jam enam sore, aku harus pulang sekarang. 

POV Via 

Selesai menyantap sarapan, aku kembali ke meja kerjaku dengan baterai penuh. Aku siap menyelesaikan semua pekerjaan. Setelah dua jam duduk dan fokus dengan laptop, tiba-tiba aku merasa ada yang tidak beres dengan perutku. Kok tiba-tiba rasanya sakit sekali ya Aku langsung lari ke toilet, setidaknya untuk jaga-jaga. 

Sudah cukup lama aku berdiam di toilet. Herannya, aku tidak merasa ingin buang hajat tapi rasa sakit di perutku tidak kunjung mereda. Ada apa ya? pikirku. Apa ada yang salah dengan nasi uduk yang ku santap, atau ini imbas dari kelalaianku yang telat makan selama dua hari berturut-turut kemarin? 

Saat menyelesaikan pekerjaan di akhir pekan lalu, aku memang benar-benar lupa waktu. Sarapan dan makan siang terlewat. Selama dua hari, aku hanya makan di waktu malam saat keluargaku mengajak pergi untuk santap bersama. Aku kalut. Tiba-tiba tanganku jadi dingin. Aku masih sanggup enggak ya buat melanjutkan kerja?  

Setelah beristirahat kurang lebih tiga puluh menit, rasa sakit di perutku semakin tak karuan. Kini tubuhku menggigil. Kepalaku ikut sakit. Aku benar-benar harus pulang. Aku menghampiri Mas Anto di ruangannya untuk meminta izin. Setelah coba berkonsultasi, Mas Anto akhirnya menyarankan aku untuk segera pulang. Dengan kendaraan kantor, akhirnya aku pulang dan diantar sampai ke depan rumah.  

POV Bimo 

Enggak terasa, tanggal kembar sudah di depan mata. Dua hari lagi promo besar 6.6 akan berlangsung. Aku senang, ternyata dengan waktu satu minggu waktu kemarin, aku bisa menyelesaikan semua strategi penjualan untuk brand yang aku pegang. Meskipun tetap lembur, untung saja aku berani untuk mengutarakan apa yang ku rasa beberapa hari lalu kepada Mas Anto. Kalau tidak, mungkin kini aku harus menanggung rasa sakit karena badan yang terus-terusan dipaksa untuk bekerja. 

Karena hari promo puncak semakin dekat, hari ini aku pun datang lebih cepat ke kantor. Aku berangkat dua jam lebih pagi dari biasanya. Meskipun lelah, tapi aku sengaja mengatur waktu agar enggak kewalahan hari ini.  

Sampai di kantor, ternyata Mas Anto sudah datang lebih dulu. Berangkat jam berapa ya dia? gumamku.  

“Hi Bim! Pagi banget ya hari ini,” sapanya kepadaku. 

“Hehe iya, Mas. Biar enggak pulang malem banget hari ini,” jawabku sambil merapikan barang di atas meja. 

“Oh iya, good luck yah. Jangan sakit. Gue lagi back-up kerjaan Via soalnya. Dia dirawat dari tiga hari lalu. Gerd katanya,” ucapnya sambil tetap menatap gawainya. 

“Oh, Mbak Via sampai dirawat, Mas?” tanyaku kaget. Seingatku, Mba Via sangat well performed di meeting terakhir.  

“Iya, parah ternyata sakitnya, Bim. Jaga kesehatan ya, biar bisa sama-sama lewatin tanggal kembar ini bareng-bareng,” ujarnya. 

“Iya Mas. Siap,” jawabku singkat. 

Aku cukup kaget mendengar kabar Mbak Via yang harus masuk rumah sakit. Sebagai rekan kerja yang jauh lebih senior, Mbak Via cukup banyak mengajarkanku cara mengatur waktu agar pekerjaan bisa selesai tepat waktu. Dia juga banyak mengajarkanku perihal menjaga etos kerja dan loyalitas dengan baik. Hanya saja, selama ini Mbak Via memang terlihat lebih sering overwork ketimbang rekan satu timku yang lain. Dia juga tak terlalu terbuka dengan perasaannya, setidaknya dari sudut pandangku. 

Baca juga: Gen Z Tidak Percaya pada Sistem Korporasi dan Reformasi, Mereka Ingin Revolusi

POV Via 

Promo puncak tinggal dua hari lagi, tapi aku malah terkapar di rumah sakit. Aku kalut brand-ku tidak bisa perform dengan cukup baik di promo kali ini. Meski begitu, aku tidak bisa berbuat banyak karena infus yang sudah menempel di punggung tanganku sejak tiga hari lalu.  

Setelah mendadak sakit dan pulang hampir sepekan lalu, aku sempat enggak masuk kantor dua hari. Dengan kondisi lemas, aku masih sempatkan untuk membuka laptop untuk menjadwalkan meeting promo dengan beberapa brand. Setelah minum obat dari dokter lewat aplikasi kesehatan, kupikir aku akan membaik. Tapi ternyata aku salah, kondisiku semakin memburuk. 

Saat itu mulutku rasanya sudah pahit tidak keruan. Perutku mual, dan dadaku terasa panas. Karena kondisinya semakin mengkhawatirkan, aku memutuskan untuk berobat ke rumah sakit. Saat kontrol dengan dokter, badanku pun terasa semakin lemas, sampai-sampai tidak bisa menjelaskan gejala yang kurasa secara baik. Karena saat itu kondisinya terbilang cukup parah, dokter menyarankan untuk rawat inap di hari itu juga.  

Sekarang, dengan sisa satu tangan bebas, aku coba balas semua pesan di ponselku secara perlahan. Aku ambil cuti. Hanya saja, masih ada beberapa pekerjaan yang tidak bisa ditinggal begitu saja. Setidaknya aku berkabar. Aku berupaya sebisanya untuk melakukan pekerjaanku dengan posisi berbaring. Aku enggak mau rawat inap lagi. 

POV Bimo 

Hari H pun tiba. Karena promo puncak lebih membutuhkan banyak tenaga ahli di bidang IT, sebagai account executive, sekarang aku hanya perlu memantau bagaimana penjualan berjalan. Bisa dibilang, di hari-H, kami justru akan jauh lebih santai ketimbang teman-teman yang bekerja mengoperasikan sistem. 

Aku buka laptopku dan mengecek penjualan yang tengah berjalan. Syukurlah, aku sudah menyiapkannya dengan baik, ucapku pelan. Meskipun bukan kali pertama menghadapi tanggal kembar, tapi kurasa, promo puncak bulan ini jadi momen yang akan memorable buatku.  

Di momen 6.6 kali ini, akhirnya aku bisa berani mengutarakan apa yang kurasa. Aku senang, akhirnya aku bisa mengatur alur pekerjaanku dengan caraku sendiri. Semua kusesuaikan dengan kadar kemampuanku. Meskipun tetap terasa lelah, tapi aku tidak kewalahan. Aku masih bisa mengerjakannya dengan baik. Ke depannya, aku berharap pada diriku sendiri untuk jauh lebih sering berterus terang soal bebanku, kapasitasku, dan pekerjaanku. 

POV Via 

Hari ini aku kecewa. Meskipun kondisi kesehatanku makin membaik, tapi enggak bisa hadir secara langsung di kantor. Hari ini adalah (6/6). Harusnya aku sedang stand by di kantor bersama rekanku yang lain untuk menjalankan promo puncak bersama-sama. Biasanya, kalau hari seperti ini selesai, kami akan merayakannya dengan makan malam bersama untuk melepas penat. Ah, bete banget. Aku cuma bisa melihat perayaan mereka di media sosial saja kali ini. 

Karena saat promo puncak semuanya tinggal berjalan, ponselku tidak akan ramai seperti biasanya. Aku jadi banyak merenung. Apa yang bisa kuperbaiki ya ke depannya? Aku tahu, melewatkan jadwal makan memang krusial. Namun, bagaimana dengan pekerjaanku? Apakah wajar apabila aku mendahulukan diriku sendiri? 

Sepertinya kali ini memang aku terlalu keras pada diri sendiri. Aku selalu saja mendahulukan pekerjaan, dan tidak mau terbuka soal bebanku yang terlalu banyak kepada atasan atau rekan kerja. Aku tidak terbiasa untuk berterus terang dan berkomunikasi tentang hal semacam ini, apalagi kepada atasan.  

Sebelum di kantor start-up sekarang, aku bekerja di kantor dengan budaya korporat nan feodal. Aku tidak terbiasa menolak tawaran atasan. Semuanya kutelan, meskipun sering kali sampai mengorbankan kesehatan diri sendiri. Tapi aku tidak bisa terus seperti ini. Aku perlu belajar lagi, setidaknya untuk lebih terbuka soal kondisi diriku sendiri kepada Mas Anto. Semoga ini yang terakhir. Tanggal kembar selanjutnya, akan kulalui dengan jauh lebih baik.  

Ilustrasi oleh: Karina Tungari


Avatar
About Author

Syifa Maulida

Syifa adalah pecinta kopi yang suka hunting coffee shop saat sedang bepergian. Gemar merangkai dan ngulik bunga-bunga lokal

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *