Kelompok Tarbiyah: Bagaimana Gerakan Islam Konservatif Menembus Kampus
Lewat pendekatan lembut dan tanpa kekerasan, gerakan Tarbiyah secara masif menyebarkan paham Islam konservatif yang intoleran di kalangan anak muda.
Ramah, penuh perhatian, dan merangkul adik kelas. Demikianlah kesan para mahasiswa dan alumni universitas mengenai gerakan Tarbiyah, kelompok Islam konservatif yang menyebarkan paham intoleransi di kalangan anak muda.
Pandhita, 32, ingat bagaimana kelompok tersebut sangat intens mendekati para mahasiswa baru di kampus Unviersitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dengan pendekatan yang bersahabat dan ramah. Hal itu membuatnya tertarik mengikuti Asistensi Agama Islam yang diadakan gerakan Tarbiyah itu di masjid kampus pada 2008.
“Friendly dan manis banget. Setelah pertemuan, interaksi berlanjut dengan mentor lewat SMS dan sangat intens. Setiap hari saya dikirimi dengan pesan berisi ceramah agama, potongan ayat, atau sekadar bertanya saya sedang apa,” ujar Pandhita pada Magdalene, Juni lalu.
Program ini merupakan pendamping dari mata kuliah Agama Islam Kontekstual yang wajib diikuti oleh mahasiswa baru yang beragama Islam saat itu. Namun, pada satu titik, ketika sang mentor menjelaskan bahwa ia tidak setuju dengan pluralisme, Pandhita tidak lagi mengikuti kegiatan tersebut karena merasa hal itu bertentangan dengan apa yang diajarkan kepadanya.
Berbeda dengan Kiki, 41, ia mengenal kelompok Tarbiyah di SMA-nya di Cilacap pada 1993, tahun di mana gerakan itu baru berkembang di ranah pendidikan.
“Para anggotanya memang sangat baik dan sangat perhatian. Saya sebelumnya tidak memakai hijab lalu mereka yang membelikan saya jilbab dan baju seragam baru, mereka menyebut itu hadiah,” ujar Kiki pada Magdalene.
Namun semakin ia dekat dengan sang mentor, yang dipanggil Ummi Wiwi, ia merasa kelompok ini ingin menjauhkannya dari tetangga dan keluarganya, ini yang membuatnya merasa tidak nyaman.
“Bapak saya guru ngaji, dan keluarga saya hidup dengan kultur NU (Nadhlatul Ulama). Pada satu titik Bapak sangat marah kepada saya karena apa yang saya praktikkan,” ujar Kiki.
Setelah sempat mengalami pergulatan batin, Kiki kemudian menjauh dari pengajian tersebut, namun bertemu lagi saat ia berkuliah.
“Pendekatannya sama, ramah, tapi karena saya sudah tahu mereka, saya tidak ikut bergabung dengan kelompok tersebut. Saya nyaman dengan apa yang saya percaya saat ini, dan bagaimana saya mengimani Islam itu sendiri,” ujarnya.
Baca juga: Konservatisme Agama di Sekolah dan Kampus Negeri Picu Intoleransi
Tarbiyah dalam bahasa Arab berarti “pendidikan”, dan gerakan ini mulai berkembang pada 1980an dan kemudian bergerak secara masif di sektor pendidikan. Gerakan ini memakai taktik non-kekerasan dan menanamkan paham intoleransi terhadap ajaran lain pada pengikutnya.
Halili, Direktur Setara Institute, lembaga riset dan advokasi tentang demokrasi, kebebasan politik dan hak asasi manusia, mengatakan bahwa gerakan tarbiyah memanfaatkan kesempatan di zaman Orde Baru, yang pemerintahannya ingin menjalin hubungan dengan kelompok Islam selain NU dan Muhammadiyah. Ini merupakan pintu masuk bagi mereka, terutama karena ada kekosongan di kampus-kampus universitas, tidak ada kelompok yang masuk ke sana, ujarnya.
“Mereka (gerakan tarbiyah) menargetkan Infrastruktur pendidikan, karena di tempat itulah (sekolah/kampus) mahasiswa dibimbing dan dibentuk kognisinya, cara pandangnya, dan wataknya,” kata Halili kepada Magdalene.
“Ketika reformasi bergulir, muncul banyak parpol, dan ada parpol yang memanen kader dari kelompok-kelompok mahasiswa tersebut,” tambahnya.
Kelompok ini bisa menjaring anggota karena ada gejala kebutuhan masyarakat urban akan spiritualitas, ujar Halili.
“Yang kedua, mereka pintar mendekati mahasiswa, menawarkan bantuan seperti mencari kos, membantu mengerjakan tugas, termasuk menemukan judul karya ilmiah. Ini yang tidak ditawarkan oleh organisasi mahasiswa lain selain mereka,” kata Halili.
Menguasai wacana keagamaan kampus
Sejumlah literatur menyebutkan bahwa gerakan tarbiyah sangat terinspirasi dari gagasan-gagasan Ikhwanul Muslimin, organisasi muslim tertua di Mesir yang dibentuk pada 1928. Peneliti Rubaidi (2011) dari Universitas Islam Negri Sunan Ampel Surabaya menyebutkan bahwa gerakan tarbiyah dipopulerkan oleh Imaduddin Abdurrahim, alumni Fakultas Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung (ITB) dan juga salah satu pendiri Masjid Salman ITB, melalui diskusi intensif yang menggunakan saluran Lembaga Dakwah Kampus di Masjid Salman.
Gerakan tarbiyah menargetkan Infrastruktur pendidikan karena di tempat itulah mahasiswa dibimbing dan dibentuk kognisinya, cara pandangnya, dan wataknya.
Gerakan tarbiyah ini semakin menguat ketika aktivitas Imaduddin mendapat dukungan dari alumni Lembaga Ilmu Islam dan Sastra Arab (LIPIA) Jakarta yang saat itu masih bernama Lembaga Pengajaran Bahasa Arab (LPBA). Para alumni ini mendapatkan rujukan tentang gagasan Ikhwanul Muslimin melalui interaksi langsung mereka dengan aktivis kelompok tersebut ketika mereka mendapatkan beasiswa sekolah di Timur Tengah.
Menurut Rubaidi, alumni-alumni yang pada tahun 1980 pulang ke Indonesia memiliki peran penting dalam perkembangan gerakan tarbiyah. Mereka menjadi penerjemah buku tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin, dan hasil terjemahan tersebut disalurkan ke lembaga-lembaga dakwah kampus. Selain itu, alumni-alumni Timur Tengah ini langsung berada pada posisi kunci sebagai pendidik di pengajian (liqa).
Di tahun 90-an, aktivis-aktivis gerakan tarbiyah ini secara efektif masuk ke dalam organisasi intra kampus di beberapa perguruan tinggi terkenal. Hal ini ternyata berlanjut sampai sekarang.
Setara Institute pada akhir Mei 2019 mengeluarkan hasil riset mengenai pemetaan wacana dan gerakan keagamaan di kalangan mahasiswa, yang menunjukkan dominasi gerakan tarbiyah.
Penelitian tersebut dilakukan di 10 PTN, yaitu Universitas Indonesia (UI), Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah Jakarta, Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Islam Negeri Sunan Djati Bandung, Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Brawijaya (UNIBRAW), Universitas Airlangga, dan Universitas Mataram. Riset di tiap universitas berlangsung pada Februari-April 2019.
Penelitian tersebut menunjukkan wacana keagamaan di 10 PTN ini dikuasai oleh gerakan tarbiyah dan Eks- Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang bertransformasi menjadi aktivis gerakan tarbiyah. Strategi yang digunakan oleh gerakan tarbiyah pun sangat rapi dan terstruktur. Mereka biasanya melewati organisasi intra-kampus seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), dan lembaga formal kemahasiswaan lainya. Kelompok ini juga menguasai masjid kampus, mengakibatkan dinamika politik kampus yang eksklusif untuk satu golongan dan anti pemimpin dari kalangan nonmuslim, bahkan muslim dari luar kelompoknya.
Bentuk gerakan tarbiyah di universitas negeri bisa beragam, namun narasi yang mereka gaungkan cenderung seragam. Pertama, bahwa ada ancaman terhadap Islam dari musuh-musuh Islam, dan kedua, saat ini mereka sedang menghadapi era perang pemikiran atau sering mereka sebut ghazwul fikr.
“Gerakan tarbiyah ini juga semakin subur akibat surutnya iklim diskusi ilmiah dan kritis di perguruan-perguruan tinggi negeri, dan akhirnya dimanfaatkan oleh mereka dengan kajian-kajian dan diskusi yang mereka buat,” kata Halili.
Advocacy and Campaign Project Officer Wahid Institute, Alamsyah D. Fajar mengatakan bahwa merebaknya gerakan tarbiyah di kampus-kampus negeri juga disebabkan oleh struktur kepengurusan kampus atau birokrasi yang juga mendukung gairah keislaman semacam ini, karena dianggap sebagai simbol kebangkitan Islam.
“Mereka menganggap, sebagai umat Islam harus saling memperkuat. Belakangan, birokrasi kampus berubah setelah melakukan perlawanan dan reaksi balik dari kelompok moderat, termasuk pemerintah,” ujar Alamsyah kepada Magdalene lewat surel (20/6).
Ade Armando, peneliti dan dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik di Universitas Indonesia (UI), memaparkan tren yang sama terkait dengan meningkatnya gerakan Islamis seperti tarbiyah di UI. Salah satu wadahnya, menurut Ade, adalah UKM keagamaan bernama SALAM UI, lembaga dakwah kampus yang resmi didanai oleh UI. UKM ini dipimpin oleh seorang ketua Majelis Syuro (MS), yaitu seorang mahasiswa senior yang dipilih oleh pengurus tarbiyah. MS ini telah menguasai BEM dan mengatur siapa yang akan maju sebagai ketua BEM.
Menurut Ade, tujuan kelompok pada dasarnya adalah politik walaupun mereka tidak mengakuinya. Tetapi mereka menggunakan strategi yang tidak terang-terangan yaitu lewat pendidikan. Tidak hanya di tingkat mahasiswa, gerakan tarbiyah juga berusaha menguasai jajaran dosen, pimpinan fakultas, dan kelembagaan di UI, ujar Ade.
Gerakan tarbiyah semakin subur akibat surutnya iklim diskusi ilmiah dan kritis di perguruan-perguruan tinggi negeri, dan akhirnya dimanfaatkan oleh mereka dengan kajian-kajian dan diskusi yang mereka buat.
“Walaupun memiliki akar yang kuat di kampus ini, namun gerakan ini tidak sepenuhnya mendominasi seluruh struktur politik Universitas Indonesia karena terus berhadapan dengan budaya keilmuan dan politik UI yang sekuler,” ujar Ade saat menjelaskan tentang penelitiannya di sebuah kafe di Jakarta Selatan pada Sabtu (15/6) bulan lalu.
Merespons hasil penelitian dari Ade, SALAM UI pada 7 Juli 2019 mengeluarkan pernyataan resmi mengenai keberatan mereka dengan teknis penyajian penelitian tersebut.
“Kejanggalan ini nampak dari riset yang dituliskan secara naratif tanpa melampirkan satu pun transkrip wawancara yang bersifat otentik, verbatim. Penelitian ini juga tidak melampirkan informed consent dari responden. Selain itu, proses penulisan hasil wawancara pun tidak mencantumkan inisial dari narasumber pada setiap argumentasi,” ujar SALAM UI lewat surat edaran tersebut.
SALAM UI juga menyayangkan mengapa Ade Armando sebagai peneliti belum mengonfirmasi hasil penelitian tersebut kepada pihak SALAM UI, dan mengarahkan pada stigmatisasi terhadap SALAM UI.
Bagaimana mencegahnya?
Alamsyah dari Wahid Institute mengatakan bahwa suburnya gerakan tarbiyah ini karena pola komunikasi dan doktrin keagamaan yang hitam-putih dan jelas, membuat orang-orang yang sedang mencari kepastian lebih mudah menerimanya. Apalagi jika dibandingkan dengan kelompok-kelompok Islam lain seperti NU misalnya, yang lebih fleksibel dan itu artinya dianggap “kurang jelas”, ujar Alamsyah.
Namun meningkatnya konservatisme agama bahkan menjurus ke paham-paham radikalisme di kampus-kampus ini akan membahayakan Indonesia, dan seharusnya pemerintah, lewat Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) mengambil langkah.
Direktur Jenderal Pembelajaran Mahasiswa Kemenristekdikti, Ismunandar mengatakan, dia memberikan apresiasi terhadap penelitian yang telah dilakukan oleh Setara Institute dan lembaga-lembaga lainnya.
“Ini masukan berharga bagi kita semua di Perguruan Tinggi, untuk lebih menguatkan penanaman pendidikan dan pengalaman toleransi dan kebangsaan,” ujar Ismunandar kepada Magdalene lewat pesan singkat Whatsapp.
Baca juga: 3 Tipe Sekolah yang Rentan Radikalisme Agama
Ia menambahkan, Kemenristekdikti juga sudah melakukan upaya-upaya agar perguruan tinggi bersih dari intoleransi dan radikalisme, seperti meningkatkan literasi keagamaan lewat pelajaran agama dan pembekalan dosen di kampus.
“Literasi keagamaan maknanya mendorong semua kita berpegang teguh pada iman masing-masing, namun sekaligus mengimplementasikan keyakinan dan keimanannya secara sosial dan budaya di ruang publik secara bertanggung jawab,” ujar Ismunandar.
Ia juga menyebutkan beberapa upaya Kemenristekdikti lainnya, termasuk Bela Negara, Kuliah Kerja Nyata (KKN) tematik, dan berbagai pekan ilmiah dalam beragam bidang.
Halili dari Setara Institute mengatakan bahwa sejumlah perguruan tinggi negeri yang diteliti lembaganya telah melakukan upaya untuk mencegah merebaknya intoleransi dan radikalisme. UGM merupakan kampus yang pertama kali melakukan upaya pencegahan pada 2012 dengan menghapus program asistensi agama Islam. Hal ini menyusul protes dari sejumlah pihak, termasuk mahasiswa seperti Pandhita.
Di kampus lain seperti IPB, Rektor Arif Satria “membuka” Masjid Alhurriyah untuk paham-paham Islam lainnya, dan memiliki fasilitas peribadatan untuk semua agama.
Pendekatan secara kultural juga digunakan oleh Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dengan membangun lingkungan kampus yang terbuka seperti mengadakan konser band, mengadakan acara kebudayaan bernama Njathil, dan tablig akbar yang mengundang pendakwah moderat, Gus Muwaffiq sekaligus konser Bimbo di areal masjid kampus.
Alamsyah mengatakan selain keberanian dari pihak birokrasi kampus untuk membersihkan paham-paham seperti ini, kelompok moderat seperti NU atau Muhammadiyah sudah sepatutnya lebih aktif menarik masyarakat di luar anggota atau komunitasnya, khususnya di kalangan kelas menengah.
“Karena pemerintah tidak bisa melarang kelompok-kelompok Islam eksklusif untuk tumbuh,
sejauh dilakukan dengan cara-cara non-kekerasan, non-diskriminatif, tidak menganjurkan ujaran kebencian,” ujarnya.
“Mereka memiliki hak yang sama untuk mengembangkan gerakannya. Katakanlah ini seperti hukum bisnis, gerakan baru itu akan ditinggalkan jika memang tak lagi menarik bagi mereka (masyarakat). Atau menjadikan organisasi NU dan Muhammadiyah relevan buat mereka. Di sini pentingnya pertarungan ide, gagasan, dan sikap kritis,” tambah Alamsyah.
Reporter Magdalene Shafira Amalia berkontribusi untuk artikel ini.