Issues Politics & Society

Membangkitkan Gerakan Perempuan Progresif di Arena Politik

Upaya membangun kembali gerakan perempuan progresif di dunia politik Indonesia adalah kunci memperkuat suara perempuan dan mendorong perubahan sosial yang berkeadilan.

Avatar
  • January 5, 2025
  • 6 min read
  • 902 Views
Membangkitkan Gerakan Perempuan Progresif di Arena Politik

Setelah tuduhan kudeta 30 September 1965 dijatuhkan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI), organisasi sayap perempuannya, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), ikut diberangus. Sejak itu, gerakan perempuan di Indonesia seperti kehilangan rohnya. Tak signifikan di politik, dapat bermanuver, namun seperti zombie ceroboh yang tidak dapat berlari cepat. Batu sandungan kecil saja akan membuatnya jatuh.

Hantaman depolitisasi aktivis perempuan yang bermula di pemerintahan Orde Baru begitu mematikan dan menjalar. Ketika rezim otoriter itu tumbang, kelompok-kelompok perempuan merasa seperti ada harapan baru.

 

 

Sayangnya, 26 tahun kemudian, harapan itu belum sepenuhnya berbuah. Misalnya saja, jumlah keterwakilan perempuan dalam DPR periode 2024-2029 memang meningkat menjadi 22 persen, namun masih di bawah harapan untuk mencapai sekurang-kurangnya 30 persen.

Upaya untuk membangkitkan keterlibatan perempuan dalam politik menghadapi tantangan bertubi yang para aktivis tidak perkirakan sebelumnya. Pertama, diskriminasi terhadap politisi perempuan masih mengakar kuat. Namun, yang lebih mengganggu, adalah sistem politik negeri yang berangsur menjadi begitu transaksional dan elitis. Ini menggerus kepercayaan publik dan menimbulkan kekecewaan mendalam terhadap politik praktis mendalam. Keputusasaan dan stigma yang meluas kepada politisi inilah yang kini menjadi beban berat untuk gerak perempuan di politik.

Kubu progresif—mereka yang menginginkan perubahan sosial—dan kelompok-kelompok feminis, kini enggan mendukung sesama aktivis perempuan untuk masuk ke partai politik. Aktivis perempuan akar rumput yang memutuskan bergabung ke partai politik konon sering kali diprotes, bahkan dikucilkan, oleh teman-teman sejawat feminisnya.

Baca juga: Tersandera Kelompok Anti-HAM, Apakah Gerakan Perempuan Masih Relevan?

Stigma Perempuan yang Masuk Politik Praktis

Anindya Joediono, aktivis perempuan dan anggota Partai Buruh, mendapat tentangan keras dari rekan-rekan pegiatnya saat maju sebagai calon anggota legislatif pada 2023.  

“Aku dituduh menggunakan isu [sebagai aktivis] supaya bisa nyaleg,” kata Anindya, yang aktif mengadvokasi soal persekusi pejuang hak asasi manusia (HAM) di Papua.

Ruang gerak Anindya sebagai aktivis perempuan kini semakin sempit. Di organisasi perempuan tempatnya bekerja saat ini, ia mendapat tekanan dari beberapa rekannya karena menjadi anggota partai yang para elitenya bermanuver mendekat kepada Presiden Prabowo Subianto, yang terlibat pelanggaran HAM di masa lalu. Padahal tidak semua anggota Partai Buruh setuju dengan keputusan tersebut, dan sebagian menyampaikan kritik terbuka dan menolak hadir pada acara partai yang mengundang Presiden Prabowo.

Elza Yulianti, anggota serikat buruh dan aliansi perempuan yang juga menjadi caleg Partai Buruh, juga menghadapi kritik dari rekan-rekan pegiat aliansi perempuan. Padahal, kata Elza, ia ingin memperjuangkan hak-hak perempuan lewat parlemen.

“Seluruh kebijakan yang dikeluarkan DPR itu, kan, berasal dari parpol yang dominan di dalam sana,” ujarnya.

Ketakutan para feminis terhadap kegiatan politik praktis, atau dengan kata lain masuk partai, sebetulnya beralasan, menurut Titi Anggraini, peneliti dan dewan pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).

““Itu muncul karena apatisme [terhadap] politik kita yang kadung korup, elitis, dan transaksional. Ada stigma perempuan yang masuk dalam lingkungan politik tidak akan bisa berbuat banyak, dan malah berubah menjadi politisi yang transaksional juga,” ujar Titi.

Saat ini, politisi perempuan yang berhasil menduduki jabatan-jabatan strategis memang masih banyak yang berasal dari dinasti politik dan keluarga oligarki. Penelitian dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menunjukkan bahwa dari 127 legislator perempuan terpilih di 2024, 58 atau hampir setengah di antaranya terasosiasi dengan dinasti politik. Alhasil, misi transformasi mereka rendah atau nihil karena mereka hanya menjadi perpanjangan tangan elite.

Hal ini tentu harus diperbaiki. Namun, kubu progresif belum banyak membicarakan peta jalan solusi untuk merebut kekuasaan dari tangan para elite. Antipati kubu progresif terhadap politik praktis berarti semakin menipisnya harapan gerakan perempuan progresif untuk menumbuhkan pengaruhnya secara signifikan di kancah politik Indonesia.

Baca juga: 4 Fase Gerakan Perempuan di Indonesia dan Apa yang Bisa Kita Pelajari Darinya

Mandat Kongres Perempuan

Pada zamannya, Gerwani adalah gerakan perempuan terbesar ketiga di dunia, kuat dan berpengaruh di Indonesia, serta aktif terlibat dalam pembuatan keputusan politik, termasuk untuk mereformasi hukum perkawinan. Organisasi tersebut mendukung PKI sampai partai tersebut bisa berada di peringkat keempat dalam Pemilu 1955. Enam anggota Gerwani pun masuk parlemen: Suharti Suwarno, Salawati Daud, Suwardiningsih, Maemunah, Umi Sardjono, dan Nyonya Mugdigdo.

Rezim Orde Baru sukses menanggalkan gigi-gigi gerakan perempuan Indonesia, membatasi peran mereka dalam ranah domestik. Namun, tepat sebelum reformasi, gerakan perempuan di ranah politik mulai bermunculan kembali. Salah satunya adalah Suara Ibu Peduli (SIP), yang memantik aksi massa besar-besaran pada 1998 yang pada akhirnya berhasil membuat Soeharto mundur. Kemenangan ini memberikan gairah baru dan melahirkan organisasi-organisasi perempuan seperti Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Rahima, dan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) lahir.

Profesor Saskia Wieringa dari Universitas Amsterdam mengatakan dalam salah satu wawancara dengan media lokal, gerakan feminis di Indonesia memang menjamur setelah reformasi. Keterlibatan perempuan dalam serikat-serikat buruh juga meningkat. Sayangnya, banyak dari gerakan perempuan kini yang berbentuk lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergantung pada pendanaan dari luar.

Komnas Perempuan, dalam sebuah diskusi peringatan 21 tahun Reformasi 1998, membenarkan tendensi ketergantungan pada pendanaan yang menumpulkan kekritisan LSM. Selain itu, lemahnya inovasi, regenerasi, dan konsolidasi juga kerap menambah deret tantangan LSM untuk menjadi poros kekuatan perubahan sosial. Karenanya, agenda politik gerakan perempuan Indonesia untuk meningkatkan representasinya dalam lembaga politik formal tetap menjadi penting. Hal ini juga merupakan mandat Kongres Perempuan pasca-reformasi di Yogyakarta, 22 Desember 1998.

Baca juga: Sulitnya Perempuan Masuk DPR, Kecuali dari Dinasti Politik

Kubu Progresif Harus Bangun Posisi Tawar

Pakar kebijakan publik dari Universitas Diponegoro (Undip) Laila Kholid mengatakan, kecenderungan aktivis perempuan untuk curiga pada partai politik dapat dipahami. Memang tidak mudah untuk menghancurkan karakteristik patriarki di dalam struktur politik yang ada, sehingga banyak aktivis perempuan masa kini yang memilih jalur-jalur politik informal untuk menguatkan representasinya, ujarnya.

“Memang tidak bisa disalahkan begitu saja. Namun, mungkin bisa jadi PR untuk bisa lebih berani atau lebih asertif lagi mendorong representasi perempuan ke politik praktis,” kata Laila.

Titi dari Perludem mengatakan, menggelembungkan kekuatan perempuan di politik adalah kerja berat. Kubu progresif yang tersebar di berbagai organisasi harus bersatu memberikan dukungan pada calon-calon perempuan akar rumput karena dukungan dari eksternal partai amat penting.

Menurut Titi, kubu progresif harus dapat membangun opini dan posisi tawar yang memaksa partai berpihak pada perempuan-perempuan aktivis yang masuk partai. Kubu progresif tidak boleh membiarkan perempuan aktivis yang masuk partai bekerja sendirian.

“Dukungan dari kelompok gerakan tidak bisa on-off atau sporadis… kita berhadapan dengan politisi-politisi yang didukung oleh kekuatan modal yang sangat besar,” kata Titi.

Kelihaian melihat peluang juga penting, tambahnya. Terkadang, ada elite-elite partai yang ingin punya itikad baik untuk menghasilkan gebrakan warisan politik. Tentu saja, semua itu harus dibarengi oleh upaya terus menerus untuk mereformasi sistem partai politik dan pemilu agar uang tidak menjadi faktor determinan kemenangan, ujar Titi.

Elza, politisi perempuan Partai Buruh, mengatakan rekan-rekan partainya berniat melakukan pendekatan lebih gencar untuk Pemilu 2029. Ia berharap kelas menengah di perkotaan dapat lebih terlibat dalam politik karena mereka rentan terkena imbas keputusan politik.

“Kami juga akan meng-upgrade diri dengan mempelajari isu-isu lingkungan, ekonomi, perempuan, kesehatan, sehingga bukan hanya perburuhan saja,” kata Elza.



#waveforequality


Avatar
About Author

Antonia Timmerman

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *