Issues Opini

Menyoal Hadis ‘Perempuan Sumber Fitnah’: Benarkah Ini Ajaran Nabi?

Sejumlah hadis menyebut perempuan sebagai sumber fitnah. Benarkah hadis-hadis ini berasal dari Nabi? Bagaimana keabsahannya jika diuji secara empiris dan rasional?

Avatar
  • February 20, 2025
  • 5 min read
  • 417 Views
Menyoal Hadis ‘Perempuan Sumber Fitnah’: Benarkah Ini Ajaran Nabi?

Dalam tradisi Islam, budaya patriarki yang menindas perempuan tidak hanya dipengaruhi oleh kebudayaan Arab tempat agama ini lahir, tetapi juga diperkuat oleh hadis-hadis misoginis yang telah mengakar dalam hukum Islam. Keulamaan laki-laki sebagai otoritas utama dalam penafsiran agama turut menjadi faktor mengapa perempuan sering kali berada pada posisi yang kurang diuntungkan.

Salah satu contoh paling nyata adalah hadis-hadis yang menggambarkan perempuan sebagai sumber fitnah. Hadis-hadis ini telah digunakan untuk membatasi perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari ruang publik hingga peran sosial mereka. Perempuan sering kali dikucilkan ke ranah domestik, dilihat sebagai objek seksual, atau bahkan dipandang sebagai makhluk berbahaya yang menggoda laki-laki seperti setan.

 

Baca juga: Perempuan Bukan Sumber Fitnah, Pentingnya Pahami ‘Mubadalah’

Hadis-hadis ‘perempuan sumber fitnah’

Beberapa hadis yang sering dikutip untuk menjustifikasi pandangan ini antara lain:

  • Hadis Abu Sa’id al-Khudri: “Bumi ini subur dan indah, dan Tuhan telah menyerahkan amanah kepada kalian untuk melihat amal perbuatan kalian. Jika muncul godaan dunia, berhati-hatilah, dan berhati-hatilah terhadap perempuan, karena fitnah pertama yang menimpa orang Israel adalah fitnah yang berasal dari perempuan.”
  • Hadis Abdullah ibn Umar: “Seluruh tubuh perempuan adalah aurat, sehingga ketika mereka keluar rumah, setan menjadikan mereka sebagai sumber godaan seksual.”
  • Hadis lain: “Saya tidak meninggalkan umat saya dengan fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada fitnah yang dibawa kaum perempuan.”
  • Hadis Ibn Abbas: “Seorang perempuan memiliki sepuluh aurat. Ketika menikah, suaminya menutup salah satunya, dan ketika ia meninggal, maka liang kubur menutup semuanya.”

Hadis terakhir bahkan menyiratkan bahwa satu-satunya cara bagi perempuan untuk benar-benar menutup auranya secara sempurna adalah dengan kematian. Yang menjadi pertanyaan, benarkan ini semua merupakan ajaran Islam yang bersumber dari Nabi? Bukankah hadis-hadis tersebut terkesan sangat kejam pada perempuan dan sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai universalitas Islam?

Untuk menguji keabsahan hadis-hadis ini, kita perlu memahami terlebih dahulu konsep fitnah dalam Islam. Pembahasan ini diperlukan untuk melihat secara empiris dan rasional apakah perempuan memang layak disebut sebagai sumber fitnah? Bukankah laki-laki juga seringkali menjadi sumber kejahatan yang begitu kejam?

Menurut Khaled Abou El Fadl dalam bukunya Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women (2001), fitnah dalam konteks ini merujuk pada sesuatu yang dianggap dapat menggoda atau menyesatkan seseorang dari jalan yang benar. Dalam banyak tafsir klasik, fitnah perempuan dikaitkan dengan daya tarik seksual yang dapat menimbulkan kejatuhan moral laki-laki.

Namun, dalam Al-Quran, kata fitnah tidak selalu merujuk pada godaan seksual. Kata ini lebih sering digunakan untuk menggambarkan ujian hidup, kesulitan, bahkan harta benda. Selain larangan zina, Al-Quran justru lebih menekankan perintah bagi laki-laki dan perempuan untuk menundukkan pandangan, berpakaian sopan, dan menjaga interaksi mereka dengan penuh tanggung jawab.

Jika Al-Quran sendiri tidak pernah menyebut perempuan sebagai satu-satunya sumber fitnah, mengapa hadis-hadis yang terkesan misoginis ini begitu dominan dalam pemikiran sebagian ulama?

Baca juga: Apakah Feminisme Bisa Selaras dengan Ajaran Islam?

Menguji hadis misoginis secara empiris dan rasional

Hadis-hadis yang menyebut perempuan sebagai sumber fitnah sulit dibuktikan keabsahannya jika diuji secara empiris dan rasional. Salah satu alasan utama adalah karena logika yang mendasarinya sering kali tidak adil dan tidak masuk akal. Kebanyakan penetapan tentang masalah fitnah bersandar pada logika yang tidak jelas, yaitu bahwa perempuan harus membayar mahal perilaku laki-laki yang tidak saleh.

Misalnya, jika fitnah dikaitkan dengan godaan seksual, mengapa perempuan yang harus menanggung beban kesalahan itu? Jika masalah utamanya adalah ketidakmampuan laki-laki mengendalikan hawa nafsunya, bukankah laki-laki yang seharusnya diberi batasan lebih ketat?

Dalam Islam, prinsip dasar keadilan menegaskan bahwa tidak ada seorang pun yang menanggung dosa orang lain (QS. Al-An’am: 164). Artinya, setiap individu tidak dibebani tanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan oleh orang lain. Sebaliknya, setiap individu harus mampu mempertanggungjawabkan semua perbuatannya di hadapan Tuhan. Maka, jika ada laki-laki yang tidak mampu mengendalikan diri, perempuan tidak seharusnya dipaksa menanggung akibatnya dengan cara dibatasi, dikucilkan, atau dianggap sebagai ancaman moral.

Hadis-hadis tentang fitnah perempuan juga berkontradiksi dengan fakta bahwa laki-laki pun sering menjadi sumber kejahatan, termasuk kekerasan seksual, pelecehan, atau penyalahgunaan kekuasaan. Jika menggunakan logika yang sama, mengapa tidak ada hadis yang menyebut laki-laki sebagai sumber fitnah bagi perempuan?

Baca juga: Bukan Punya Ayah atau Suami, Tubuh Muslimah Miliknya Sendiri

Dampak hadis perempuan sebagai sumber fitnah

Pemahaman bahwa perempuan adalah sumber fitnah telah mendorong hukum-hukum yang tidak adil terhadap perempuan di berbagai masyarakat muslim. Banyak ulama menggunakan hadis-hadis ini untuk membatasi kebebasan perempuan, melarang mereka bekerja di ruang publik, atau bahkan membatasi akses mereka terhadap pendidikan dan hak-hak sosial lainnya.

Banyak ahli hukum Islam juga memperlakukan perempuan hanya sebagai objek fisik tanpa mempertimbangkan nilai-nilai moralitas yang lebih luas. Mereka lebih berfokus pada tubuh perempuan sebagai godaan, daripada mengajarkan laki-laki untuk memiliki kontrol diri dan rasa hormat terhadap lawan jenis. Pemikiran ini justru bertentangan dengan prinsip moral Islam yang lebih tinggi, seperti keadilan, kesetaraan, dan tanggung jawab individu atas perbuatannya sendiri.

Jika masalah utama dari konsep fitnah adalah bagaimana mengendalikan godaan, maka prinsip keadilan harus ditegakkan. Laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki tanggung jawab moral, dan tidak seharusnya perempuan dipaksa memikul kesalahan laki-laki.

Fakta bahwa hadis-hadis ini bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang lebih luas, serta sulit dibuktikan keabsahannya secara empiris, menunjukkan bahwa hadis-hadis misoginis ini perlu dikaji ulang. Islam sebagai agama yang menjunjung keadilan tidak mungkin mengajarkan bahwa perempuan harus dikekang atau disalahkan atas kelemahan moral laki-laki.

Dalam konteks ini, kita perlu bersikap lebih kritis terhadap hadis-hadis yang bertentangan dengan prinsip keadilan dan kesetaraan dalam Islam. Nilai-nilai fundamental seperti keadilan, kesetaraan, dan hak atas pendidikan tidak boleh dikorbankan demi menjustifikasi konsep fitnah yang keliru dan secara tidak adil dibebankan kepada perempuan.

Rohmatul Izad adalah mahasiswa S3 Studi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.



#waveforequality
Avatar
About Author

Rohmatul Izad

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *