Gender & Sexuality

Hak Kesehatan Remaja yang Terabaikan

Reporter Magdalene Wulan Kusuma Wardhani mendapat beasiswa "Health and Nutrition Journalist Academy" dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Danone Indonesia. Tulisan ini adalah salah satu dari rangkaian tulisan hasil liputan yang didanai beasiswa tersebut.

Avatar
  • July 5, 2017
  • 17 min read
  • 631 Views
Hak Kesehatan Remaja yang Terabaikan

“Elyn”, karyawati swasta berusia 23 tahun, pernah mengalami hal buruk ketika ingin mengakses layanan kesehatan reproduksi di rumah sakit swasta. Waktu itu ia ingin memeriksakan rahimnya karena terjadi kegagalan kontrasepsi akibat ada sobekan di kondom saat melakukan hubungan seksual.
 
Pada pagi hari setelah berhubungan seksual, ia minum nogestat atau pil pencegah kehamilan. Selang dua hari kemudian, ia kembali meminum pil itu karena takut terjadi kehamilan. Namun, hal itu ternyata menyebabkan kekacauan hormon selama dua bulan karena menurut sang dokter, pil itu tak boleh diminum tanpa aturan.
 
Ia kemudian memutuskan pergi ke sebuah rumah sakit swasta di Jakarta Barat. Sang dokter memberikan pelayanan dengan baik dan profesional. “Penjelasannya runut lah, mulai dari penyebabnya dan pantangannya. Dokter sama sekali tak menyinggung masalah pribadi,” ujarnya. Namun, perlakuan tak menyenangkan didapatnya dari perawat di rumah sakit yang sama. 
 
“Dia bertanya, ‘Apakah Anda aktif secara seksual?’. Aku jawab, ‘Ya’. Dia nanya lagi, ‘Apakah sudah menikah?’ Aku jawab, ‘Belum’. Terus dia nanya lagi: ‘Apakah aktif secara seksual?’ Aku jawab, ‘Tadi kan sudah ditanya, mbak.’ Dia bilang, ‘Iya, tapi kan ini penting’. Kemudian dia nanya lagi, ‘Apakah sudah menikah, Bu?’ Saya respons, “Kok nanya lagi?”. Lalu ia bilang, ‘Jadi belum menikah tapi sudah melakukan?’. Nah, di situ lah saya marah,” katanya dengan raut wajah kesal.
 
“Dari empat rumah sakit yang pernah aku kunjungi, perawatnya seperti itu semua. Sialnya, tiga dokter di rumah sakit juga seperti itu. Ketika konsultasi di rumah sakit lainnya terkait kesehatan reproduksi, ada seorang dokter yang pernah berkata, ‘Ya udah, cepat-cepat nikah aja kalau udah kayak gini.’ Mereka memberikan info-info yang tidak relevan dengan apa yang kita konsultasikan. Ini kan rumah sakit ya mbak. Sekali konsultasi di obgyn itu bisa habis 900 ribuan tetapi aku diperlakukan seperti itu,” tambahnya.
 
Salah satu target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang dicanangkan negara-negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada Konferensi Tingkat Tinggi PBB mengenai Pembangunan Berkelanjutan pada 2015 di New York adalah menjamin kehidupan yang  sehat dan mendorong kesejahteraan bagi semua orang di segala usia. Tak terkecuali hak atas kesehatan seksual dan reproduksi.
 
Namun seksualitas dan reproduksi masih saja dianggap tabu sehingga banyak remaja indonesia mendapatkan informasi yang salah mengenai seksualitas atau bahkan sama sekali tak memperolehnya.

Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012 mengungkapkan hanya 52 persen remaja perempuan dan 51 persen remaja laki-laki yang mengetahui bahwa seorang perempuan dapat hamil hanya dengan sekali melakukan hubungan seksual. Kemudian, Survei Nasional Kesehatan Berbasis Sekolah 2015 menunjukkan bahwa 61,241 persen pelajar SMP dan SMA, baik anak laki-laki (63,54 persen) maupun anak perempuan (59,04 persen), tidak pernah diajarkan di kelas mengenai apa yang dapat dilakukan jika seseorang mencoba memaksa untuk melakukan hubungan seksual.

 

 

Dua tahun lalu, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan tinjauan yudisial terhadap Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional agar mencantumkan pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi dalam kurikulum pendidikan. 

Kisah seperti yang dialami Elyn itu umum terjadi pada remaja belum menikah yang mengakses layanan kesehatan reproduksi. Koordinator Advokasi dan Komunikasi Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Frenia Nababan mengatakan diskriminasi untuk remaja terjadi akibat status perkawinan, karena untuk remaja usia 15 atau 20 tahun yang sudah menikah, hal itu tidak menjadi masalah.

“Jadi sebenarnya yang dikontrol itu adalah perempuan yang tidak menikah. Akses kontrasepsi untuk remaja laki-laki (kondom) lebih mudah. Sebenarnya hal itu juga bagian dari masalah demografi. Perempuan diharapkan memiliki anak sekian, untuk dapat menyumbang berapa generasi yang  akhirnya nanti akan jadi tenaga kerja. Memang itu  yang diharapkan dari perempuan sehingga sistem reproduksinya selalu dikontrol,” katanya.
 
Untuk memenuhi hak-hak kesehatan remaja, sejak 2003, Kementerian Kesehatan membuat program Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) di Puskesmas. Eni Gustina, Direktur Kesehatan Keluarga mengatakan bahwa di Indonesia ada 9.700 puskesmas dan baru 4.154 di antaranya yang memiliki PKPR. Selain itu, dari 514 kabupaten kota di Indonesia, PKPR baru terbentuk di 407 kabupaten kota, ujarnya.
 
“Memang sih seharusnya puskesmas di semua kabupaten kota itu punya PKPR tetapi kita tahu bahwa Indonesia itu luas. Kami menargetkan 50 persen puskesmas di kabupaten kota memiliki PKPR. Untuk provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta dan Bali sudah hampir 100 persen . Yang lainnya, seperti  Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara,  Sulawesi Barat, Papua Barat, dan Papua masih di bawah 20 persen,” tuturnya.  
 
Eni menambahkan, PKPR memiliki prinsip “promotif preventif”, jadi, puskesmas lah yang seharusnya mendatangi para remaja. “Tenaga kesehatan PKPR sudah seharusnya menjalin kerjasama dengan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) karena di dalam pelatihan, mereka diberikan materi mengenai bagaimana berjejaring dengan instansi lainnya, termasuk dengan NGO yang bergerak dalam isu isu kesehatan remaja,” ujarnya.

Eni Agustina, Direktur Kesehatan Keluarga di Kementerian Kesehatan.

Meskipun petugas PKPR telah dilatih, Eni mengungkapkan bahwa masih ada tenaga kesehatan yang bersikap pasif. “Sudah kami latih pun masih ada yang bersikap pasif. PKPR itu bukan hanya di lingkup puskesmas, tetapi juga harus ke luar, ke sekolah-sekolah. Mereka harus melakukan ‘promosi’. Para remaja itu jarang sekali datang ke Puskesmas untuk berobat. Kami juga biasanya mengajak petugas kesehatan yang masih muda sehingga mereka (para remaja) seperti berbicara dengan teman dan lebih didengarkan,” tambahnya. 
 
Frenia Nababan menekankan pentingnya tenaga kesehatan untuk memiliki kemampuan konseling. “Mau mendapatkan layanan apa pun kan harus konseling dulu karena remaja tak mendapatkan akses mengenai kesehatan reproduksi sejak kecil. Konselor juga harus paham dengan pilihan pilihan remaja, dan diharapkan tidak mendiskriminasi.”
 
Selain perlunya kemampuan tenaga kesehatan untuk melayani pasien remaja secara profesional, faktor kerahasiaan menjadi hal penting. Eni Gustina mengatakan bahwa meminta remaja untuk bercerita mengenai masalah kesehatan reproduksi bukanlah hal yang mudah.
 
“Pengalaman saya waktu di Karawang, ya seperti itu. Tak ada remaja yang datang (ke layanan kesehatan). Saya pun ‘menjual nomor HP saya’ sehingga mereka banyak yang menelepon.  Saya bilang ke mereka bahwa kalau telepon mahal karena menghabiskan pulsa. Jadi saya minta mereka untuk datang ke puskesmas. Itu pun puskemasnya kami tata. Banyak remaja yang malu apabila masuk lewat pintu depan, jadi, ya, mereka lewat pintu belakang. Ruang konsultasinya pun kami taruh di belakang,” ujarnya. 
           
Secara terpisah, Margaretha Sitanggang, National Programme Officer United Nations Population Fund (UNFPA) Indonesia untuk isu isu kesehatan seksual dan reproduksi remaja menjelaskan bahwa insititusinya memiliki program peningkatan layanan kesehatan remaja di layanan kesehatan milik swasta melalui Klinik Unala.  Klinik ini bukanlah klinik baru, tetapi klinik swasta dengan penguatan pada layanan kesehatan remaja.
 
Klinik tersebut terletak di Provinsi Yogyakarta dan tersebar di lima kabupaten kota. Para dokternya terdiri dari dokter pegawai negeri sipil yang berganti statusnya menjadi dokter swasta ketika berpraktik di klinik ini. Waktu buka klinik ini bervariasi, dari pagi sampai malam, tergantung dari jadwal dokter yang bersangkutan.

Ketika ditanya apakah klinik ini memberikan kontrasepsi kepada remaja, Margaretha menjawab: “Kami memberikan tapi dengan konseling dahulu. Jadi tak menyediakan begitu saja ya. Dokternya kami training untuk dapat menilai kebutuhan remaja. Yang penting dokternya tidak judgemental, bisa ‘menggali’ karena remaja datang biasanya nggak langsung bilang (mengenai keluhannya).” 

Sikap yang berbeda terhadap pemberian pelayanan kontrasepsi pada remaja ditunjukkan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). “Berdasarkan Undang-Undang No. 52/ 2009, BKKBN hanya menyediakan alat kontrasepsi untuk pasangan usia subur. BKKBN tak merekomendasikan alat kontrasepsi untuk remaja yang sudah aktif secara seksual. Kami hanya menyediakan untuk pasangan suami istri. Distribusi-distribusi kami ke layanan kesehatan sesuai dengan sasarannya. Jadi yang dilayani oleh pusat kesehatan adalah orang-orang yang benar-benar pasangan suami istri,” ujar Sugiyatna, Kepala Sub Direktorat Kelembagaan pada Direktorat Ketahanan Remaja BKKBN.

Soal kontrasepsi ini sempat menjadi topik pertemuan remaja di Yogyakarta Maret lalu. Pada pertemuan itu, BKKBN tetap tegas dengan sikapnya karena didukung UU. Meskipun para remaja merekomendasikan alat kontrasepsi ini, BKKBN tetap menolak.

Pelaksanaan PKPR di Puskemas Terisi dan Tantangannya
 
Rendahnya jumlah remaja yang datang ke Puskemas juga dibenarkan oleh Wakiatun Kurniasih, perawat di Puskemas Kecamatan Terisi di Indramayu, Jawa Barat, sekaligus pelaksana program PKPR. Ia menjelaskan, jumlah rata rata pasien remaja yang datang ke PKPR hanya lima orang per hari dan remaja hanya datang apabila mengalami keluhan fisik.

Ketika ditanya apakah ada remaja yang berkonsultasi melalui telepon, ia menjawab tidak ada. “Pernah ada pasien yang awalnya merasakan sakit di bagian intimnya.  Setelah ia merasakan ada keluhan secara fisik, ia baru datang. Padahal saya sudah memberitahukan bahwa puskesmas bukan hanya untuk yang berobat saja,” ujar Wakiatun, yang berstatus PNS.
 
Ia menambahkan bahwa pada setiap penyuluhan di sekolah-sekolah, ia selalu mengajak murid murid agar mereka datang untuk konseling. Namun, Puskemas Terisi tidak memiliki tenaga khusus yang bertanggung jawab sebagai counselor  bagi remaja. “(Tenaga konselor) masih campur baur. Nggak seperti di rumah sakit swasta ya. Di sini, konselornya saya dan ibu dokter kepala puskesmas plus petugas klinik Infeksi Menular Seksual (IMS)”. 
 
Salah satu layanan yang tersedia di PKPR adalah pemeriksaan kehamilan bagi remaja. Wakiatun mengatakan bahwa mayoritas remaja yang hamil di luar nikah tidak pernah memeriksakan diri ke Puskemas dengan alasan privasi. “Biasanya mereka nggak lari ke kami sih, tapi ke keluarga mereka sendiri. Tahu-tahu udah nikah aja. Waktu mau persalinan kami baru tahu bahwa umurnya masih 17 tahun,” ujarnya.
          
Pihak puskesmas sendiri sepanjang ia bekerja di sana belum pernah menangani tindakan aborsi karena pemerkosaan. Sepengetahuannya, apabila ada rencana aborsi karena pemerkosaan, biasanya dilakukan visum terlebih dahulu.
 
Wakiatun mengakui sulitnya mengetahui kasus kehamilan karena pemerkosaan. “Rata rata setelah puskemas mengetahui  kehamilannya, mereka sudah menikah. Kalau di kampung memang begitu sih mbak. (Masalah apa pun) kembali ke keluarga. Karena tingkat pendidikan (yang rendah) dan karena mereka orang awam hukum, jadi penyelesaiannya secara kekeluargaan,” tuturnya. 

Berbeda dengan remaja hamil yang cenderung menyembunyikan kehamilannya, Wakiatun mengatakan remaja yang telah aktif secara seksual biasanya lebih berani untuk berkonsultasi di PKPR.
 
“Saya pernah bertanya kepada mereka, tahu nggak kalau berbuat seperti itu bisa hamil? Mereka bilang tahu. Lalu si remaja bilang, ‘Kalau kata teman saya, kalau nggak pengen hamil, kalau sperma akan keluar, maka dikeluarkan lagi (penisnya)’. Wawasannya anak usia 14 tahun sampai seperti itu, lho, mbak!“ katanya, keheranan.
          
Namun, tambahnya, ada juga remaja yang berpikir bahwa apabila hanya sekali melakukan hubungan seksual, maka mereka tak akan hamil.
 
Untuk menangani remaja, Wakiatun mengatakan tenaga kesehatan harus masuk ke dunia mereka, dengan segala kemanjaan dan kepolosan mereka. “Kami harus seperti itu, kalau mereka dibentak, nanti mereka malah lari”.
 
Hal yang memprihatinkan, ujarnya, adalah ia berulang kali menangani remaja perempuan yang berhubungan seks dengan suami orang lain. “Saya tanya ke mereka, kenapa? Si remaja bilang, ‘Kan istrinya di Arab’. Lalu, Bu dokter Rosi tanya, kalau istrinya pulang, nanti gimana? Si remaja perempuan bilang, ‘Ya cari lagi, Bu,” terangnya.
 
Meskipun berulang kali menghadapi remaja yang telah aktif secara seksual, perawat ini tak setuju apabila remaja diberikan akses kontrasepsi . “Buat apa kontrasepsi wong belum menikah? Berarti kami mengizinkan seks bebas dong kalau ada layanan itu. Layanan kontrasepsi itu hanya untuk yang sudah menikah saja,” tegasnya.
 
Melalui program Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) , para pelaksana program PKPR melakukan pemeriksaan kesehatan dan penyuluhan di sekolah sekolah. Menurut Wakiatun, mereka masih menggunakan cara manual, dengan lembar tanya jawab, untuk memberikan penjelasan. Menurutnya, fasiitas di sekolah harus ditingkatkan. “Kalau diizinkan, lebih bagus apabila menggunakan in focus. Kalau in focus kan ada gambar gambar jadi pusat perhatian mereka ke gambar. Di sekolah, biasanya in focus hanya ada di ruang tertentu sedangkan kami melakukan penyuluhan di beberapa kelas,” ujarnya.
 
Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa ada sekolah tertentu yang tidak menerima mereka dengan baik. “Kalau kami datang, mereka bilang ‘silakan’. Dengan kata ‘silakan’ itu, kami dibiarkan berada di kantor guru. Kalau welcome, seharusnya kan mereka menyediakan ruangannya, berapa kelas yang akan diberikan penyuluhan. Jadi kami menunggu saja di kantor guru sambil bertanya-tanya mulai jam berapa. Itu kan artinya nggak welcome dan nggak kooperatif dengan kami,” katanya.
 
Kegiatan penyuluhan ini, tambahnya, tak diadakan secara berkesinambungan karena pertama, tidak ada anggaran khusus bagi PKPR. Selama ini, program PKPR menginduk kepada program UKS. Anggaran dialokasikan kepada program program inti saja, seperti misalnya kesehatan ibu dan anak. Selain itu, tak ada nota kesepahaman (MOU) antara kedua instansi dalam pelaksanaan program ini.
 
Menanggapi ketiadaan MOU, anggota Komisi VIII DPR Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, mengatakan bahwa untuk lembaga  di level yang paling bawah, MOU itu membantu dan seharusnya bukan halangan. “MOU ini membantu untuk memastikan kalau misalnya pengurusnya sudah ganti, MOUnya kan masih ada, jadi (program) bisa dilanjutkan karena (di MOU itu) sudah tertulis siapa yang punya tugas apa. Tapi  kalau misalkan hal itu tidak ada, maka akan susah untuk menjalankan suatu program apabila nantinya ada perubahan pengurus,” tuturnya.
 
Akses Terhadap Informasi dan Edukasi
 
Frenia Nababan dari PKBI mengatakan layanan kesehatan seksual dan reproduksi tidak lepas dari akses informasi dan edukasi.
 
“Jangan berbicara soal akses layanan kesehatan reproduksi sebelum bicara soal informasi. Permasalahan kita semua adalah bahwa semua orang diharapkan mengetahui sendiri informasinya. Ketika dibiarkan demikian, ada orang yang akan mencari ‘di tempat tempat yang gelap’ karena tak ada informasi yang jelas, misalnya seperti pornografi. Akibatnya, terjadilah kekerasan dalam pacaran, kehamilan tak diinginkan, dan juga penularan HIV/AIDS,” tuturnya.
 
PKBI sendiri, ujar Frenia, harus strategis dalam memberikan edukasi mengenai pendidikan seksual komprehensif. “Ini pernah terjadi di Kalimantan Timur. Ketika kami ingin membicarakan pendidikan seks untuk anak, masyarakat dan masyarakat adat menjadi resisten, sampai ada yang bawa golok. Kemudian namanya diganti dengan ‘pendidikan kecakapan hidup’ namun isinya tetap sama dan tak ada resistensi lagi. Ya, kami harus pintar lah,” ujarnya sambil tersenyum. 

Di BKKBN, Sugiyatna, Kepala Sub Direktorat Kelembagaan pada Direktorat Ketahanan Remaja, mengatakan program pemberian informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi dimanifestasikan melalui program  Genre atau Generasi Berencana. Genre ini direalisasikan dengan membentuk kelompok-kelompok melalui Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIK-R). Beberapa bentuk kegiatannya adalah penyuluhan mengenai kesehatan reproduksi, narkoba dan zat adiktif lainnya, serta HIV/AIDS.  Selain itu, ada pelatihan untuk menjadi konselor sebaya, yaitu remaja yang bertugas memberikan informasi tentang kesehatan dan membantu teman sebayanya untuk mengenali masalahnya dan menyadari adanya kebutuhan untuk mencari pertolongan (rujukan) dalam rangka menyelesaikan masalahnya. 

“PIK remaja bisa dibentuk di sekolah, perguruan tinggi, dan pesantren. Ini namanya PIK Remaja jalur pendidikan dan ada satu lagi, PIK Remaja jalur masyarakat lewat karang taruna, komunitas komunitas remaja, lewat grup hobi , dan sebagainya. Remaja yang jadi sasaran adalah mereka yang berusia 10-24 tahun,” kata Sugiyatna.
 
Ia menambahkan bahwa ada banyak  PIK-R tetapi tak ada kaderisasi. Jadi apabila siswa sudah memasuki kelas 3, maka mereka akan lebih berkonsentrasi untuk mempersiapkan ujian dan sebaliknya, tak akan fokus ke kepengurusan PIK-R.
 
Di sisi lain, Kementerian Kesehatan juga telah berjuang sejak tujuh tahun yang lalu agar pendidikan kesehatan reproduksi dapat masuk ke kurikulum, namun mereka mengalami kesulitan. “Sebenarnya, sejak 2010, Kemenkes memperjuangkan agar pendidikan kespro bisa masuk di kurikulum. Tapi sampai sekarang susah banget ya. Hanya kulitnya saja . Tahun 2014 kami menyusun buku yang bernama Rapor Kesehatanku, yang terdiri dari buku identitas diri, catatan pribadi dan media KIE (Komunikasi Informasi dan Edukasi),” kata Eni Gustina, Direktur Kesehatan Keluarga.
 
Sayangnya, pada 2016 buku media KIE itu diprotes oleh seorang direktur di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akibat ada gambar alat kelamin yang dianggap mengandung unsur pornografi. 

Menanggapi permasalahan antara kedua Kementerian itu, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo dari Komisi VIII DPR yang membidangi isu agama dan sosial, mengatakan bahwa istilah “kesehatan reproduksi” menjadi permasalahan mendasar. “Makanya kalau saya sedang berbicara di daerah pemilihan (dapil), saya hanya menggunakan kata kata ‘kesehatan’ tanpa menggunakan kata reproduksi. Pertama mungkin karena banyak orang yang salah paham mengenai apa itu pendidikan kesehatan reproduksi karena banyak orang yang langsung mengaitkannya dengan pendidikan seks. Sedangkan sex education itself  kan bukan pendidikan untuk bagaimana melakukan hubungan intim. Kan nggak gitu. Tapi ya itu, tabu dan misunderstanding selalu yang menjadi masalah mendasar di Indonesia. Konsep dasar mengenai hal itu belum dibicarakan tapi sudah salah kaprah,” tegasnya.
  
“Karena konsep sexual education sudah disalahpahami, artinya pemahaman mengebai kesehatan reproduksi itu harus disamakan dulu antara stakeholder yang tertinggi. Kita nggak bisa berpikir seperti ini — karena satu pihak sudah mengerti, maka mereka akan menyosialisasikannya ke pihak lain yang tidak mengerti. Koordinasi antar lembaga di Indonesia sangat lemah. Coordination, communication kita sangat buruk di situ. Artinya apa? Bisa saja satu kementerian punya program yang sebenarnya nyambung dengan program di kementerian lainnya tapi semuanya berjalan sendiri sendiri. Nggak ada saling mem-back up. Saking banyaknya birokrasi, terlalu banyaknya layer, yang artinya apa? Untuk menyosialiasikan satu hal saja akan memakan waktu banyak sekali.”
 
Politisi partai Gerindra ini menyatakan bahwa seharusnya Kementerian Kesehatan dan Kemendikbud seharusnya bisa satu suara, terutama dengan adanya Menteri Koordinator (Menko).


Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, anggota Komisi VIII DPR 
 

Perempuan Lebih Berisiko
 
Kehamilan tak direncanakan dan infeksi menular seksual adalah beberapa masalah yang dapat disebabkan oleh rendahnya kualitas akses informasi, pendidikan dan layanan kesehatan seksual dan reproduksi. Dokter Marcia Soumokil, praktisi kesehatan masyarakat , menjelaskan bahwa kesehatan  reproduksi sangat erat kaitannya dengan perempuan karena sistem reproduksinya yang lebih kompleks dan peran reproduksinya (hamil dan melahirkan) sehingga masalah ini lebih banyak dialami oleh perempuan. 
 
“Perempuan juga lebih berisiko terkena AIDS.  Vagina itu kan bentuknya seperti lorong, isinya selaput semua. Jadi penampang luasnya selaput yang bisa menjadi pintu masuk (virus). Kalau penis, selaputnya hanya di ujung sehingga luas penampang luka lebih kecil. Bagian penis lainnya kan berupa kulit, jadi tidak mudah lecet. Penampang selaput mukosa di vagina itu lebih luas sehingga tempat terjadinya perlukaan lebih besar di alat kelamin perempuan,” tuturnya.
 
Satu hal lainnya yang menjadi faktor biologis pada perempuan adalah bahwa sifat vagina sebagai  “penampung”. Sperma yang keluar akan tertampung di dinding vagina sehingga apabila ada virus di dalam sperma, maka virus itu akan berada di situ dalam waktu yang lama dan terlindung dari sinar matahari, yang bisa mematikan virus.
 
Selain itu, risiko kehamilan pada usia muda pun tak kalah berbahaya. Dokter yang seringkali terlibat program peningkatan  kesehatan reproduksi ini menerangkan bahwa organ seksual perempuan dapat dikatakan “matang” pada usia 19 tahun. Meskipun demikian, hal ini juga bergantung dari usia menstruasi pertama.
 
“Dari sisi medis, kami selalu bilang bahwa ibu berisiko tinggi adalah mereka yang hamil di bawah usia 19 tahun dan di atas 35 tahun. Kasus kasus kematian ibu itu banyak ditemukan pada perempuan berusia 19 tahun, misalnya di Jawa Barat,” ujarnya.
 
Mencegah Perkawinan Anak  
 
Ertianti, 18, sedang berada di Puskemas Terisi untuk mendapatkan kontrasepsi suntikan ketika saya temui baru-baru ini. Perempuan lulusan SMP ini telah memiliki seorang anak lelaki berusia satu tahun. Ia mengakui bahwa dirinya hanya bersekolah hingga tingkat SMP karena orangtuanya tak sanggup membiayainya. Ayahnya bekerja sebagai kuli pabrik pembuatan batu bata sedangkan ibunya telah meninggal tahun lalu. Ia mengatakan bahwa niatnya untuk menikah dini adalah karena keinginannya sendiri. Ertianti sama sekali tak pernah mendapatkan pelajaran mengenai kesehatan reproduksi saat masih bersekolah. 

Suaminya, Ajipin, 21, juga berada di Puskesmas untuk menemaninya. Sambil menggendong sang anak dan menunggu sang istri yang sedang mendapatkan layanan kontrasepsi, ia menjelaskan sedikit mengenai kehidupannya.  Biasanya, setiap bulan, Ajipin mendapatkan bagian sebesar Rp 2 juta dari pendapatan total sebesar 20 juta yang diperoleh dari penjualan batu bata. Sebelum bekerja di tempat pembuatan batu bata milik keluarganya, lelaki lulusan SMA ini pernah merantau ke Jakarta untuk bekerja sebagai penjual gorengan. Namun, hal itu hanya bertahan selama sebulan. Ketika ditanya apakah penghasilan sebesar itu cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, ia menjawab, “Ya nggak cukup, makanya saya ngutang di BRI.”
 
Perkawinan anak adalah menjadi salah satu masalah besar di Indonesia. Maria Endah Hulupi, communication officer UNFPA Indonesia mengungkapkan, dari hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2015 terhadap perempuan berusia 20-24 tahun, 24 persen di antaranya pernah menikah sebelum berusia 18 tahun.
 
Martha Santoso Ismail,  Deputi Direktur United Nations Population Fund (UNFPA) Indonesia mengatakan bahwa Indonesia menduduki peringkat kedua tertinggi di Asia Tenggara setelah Kamboja dalam jumlah perkawinan anak. Ia juga mengungkapkan adanya anomali statistik antara tingkat pendapatan dan persentase perkawinan anak. “Indonesia sudah masuk middle income country. Di negara lain, seiring dengan naiknya pendapatan, maka angka perkawinan anak akan turun terus, tapi di Indonesia justru semakin naik.”
 
Selain itu, Martha menambahkan, banyak masyarakat yang beranggapan bahwa apabila seorang perempuan sudah menstruasi maka ia sudah siap untuk menikah. Anggapan itu dipengaruhi oleh faktor pemahaman agama, yaitu bahwa perempuan dan laki laki dianggap siap menikah asalkan sudah akil baligh.
 
Pernyataan Martha di atas juga sejalan dengan penjelasan Margaretha Sitanggang, National Programme Officer UNFPA untuk isu isu kesehatan seksual dan reproduksi remaja. “Menurut saya, mereka nggak mengerti (mengenai kesehatan seksual dan reproduksi) dan hal itu bukan menjadi prioritas karena kalau mereka miskin. Yang mereka pikirkan adalah bagaimana mereka bisa makan pada esok hari supaya bisa tetap hidup. Kesadaran soal kesehatan, membangun keluarga yang baik dan berdaya itu masih rendah,” ujarnya.


Avatar
About Author

Wulan Kusuma Wardhani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *