Hari Janda Internasional: Janda Cerai Hidup atau Mati, Sama-sama Distigmatisasi
Menjadi janda cerai hidup atau mati sama-sama bukan pilihan mudah untuk perempuan.
“Lebih mulia janda ditinggal mati, dong dibanding janda cerai. Itu artinya perempuan sudah terbukti setia sebagai istri. Kalau cerai hidup, nanti takut dianggap yang enggak-enggak juga,” kata Emon, 35.
Pernyataan perempuan yang berdomisili di Depok tersebut tak lahir dari ruang hampa. Ia muncul dari anggapan turun-temurun bahwa perempuan sempurna harus menikah dengan lelaki, melahirkan, serta memiliki keluarga nuklir yang utuh. Sebaliknya, perempuan yang bercerai hidup, entah karena pilihan, kebetulan, atau keadaan, bakal distigma. Berbeda urusan jika cerai karena ditinggal mati suami, yang notabene tak bisa dikontrol.
Anggapan di atas dijelaskan dalam riset Monika Winarnita, dkk. bertajuk “Di bawah bayang-bayang ibu: stigma, rasa malu, dan kesempatan sebagai janda” (2019). Sejak zaman Orde Baru, kita diperkenalkan gagasan ideal feminitas ibuisme. Gagasan itu terus dilanggengkan di ruang-ruang percakapan, institusi pendidikan, dan agama. Bahwa perempuan yang menjadi istri dan ibu artinya mereka telah sukses berkontribusi pada masyarakat dan negara.
Temuan senada juga muncul dalam riset Lyn Parker, profesor sekaligus antropolog dari University of Western Australia. Janda dalam budaya Indonesia dimaknai sebagai perempuan yang tak terikat atau terlindungi oleh lelaki. Sehingga, janda yang memilih cerai hidup, berarti sadar ada konsekuensi anggapan sebagai perempuan yang tersedia secara seksual. Karena pemaknaan itulah, janda rentan jadi objektifikasi seksual bahkan sasaran pelecehan, ujar Parker.
Masalahnya, pernyataan Emon di awal tulisan, sekali pun bisa dimaklumi, tapi juga mengandung banyak bias. Faktanya, menjadi janda, baik karena cerai hidup atau mati, sama-sama bukan pengalaman yang mudah. Dalam riset Parker bertajuk “The stigmatisation of widows and divorcees (janda) in Indonesian society” (2016) disebutkan, janda di Indonesia adalah sasaran empuk kekerasan sekaligus pihak yang penuh label negatif. Mereka dilabeli tak bermoral, gampangan, nakal, genit, penggoda, mata duitan.
Stigma yang masih kekal sampai kini inilah yang terus digaungkan saban peringatan Hari Janda Internasional, 23 Juni. Peringatan itu pertama kali diusulkan Raj Loomba untuk ibunya, janda miskin yang tabah menanggung beban berat di India pada 2005. Pada 2011, Perserikatan Bangsa-bangsa resmi menetapkan Hari Janda Internasional sebagai penghormatan atas perjuangan para janda, tulis United Nations dalam artikel bertajuk “Invisible Women, Invisible Problems”.
Baca juga: Yang Bersembunyi di Balik Pemberitaan Media tentang Janda
Janda Cerai dan Hidup, Apa Bedanya?
Meski secara umum, janda menghadapi stigma dan tantangan yang sama beratnya, tapi ada perbedaan antara mereka yang cerai hidup dan mati. Badan Pusat Statistik menyediakan definisi cerai hidup dan cerai mati dalam laman resminya. Cerai mati atau widow adalah status dari mereka yang ditinggal mati oleh suami/ istrinya dan belum kawin lagi. Sementara cerai hidup atau divorcee adalah status dari mereka yang hidup berpisah sebagai suami istri karena bercerai dan belum kawin lagi.
Meski janda yang dimaksud dalam Hari Janda Internasional adalah widow alih-alih divorcee, tapi perayaan ini dimaksudkan untuk mendukung keduanya. Memang sudah bukan rahasia jika janda cerai mati menghadapi tantangan berat di berbagai dunia. Menurut World Widows Report (2016) yang diterbitkan Yayasan Loomba, populasi janda dunia mencapai 258 juta orang. Mereka mengasuh 585 juta anak seorang diri. Sekitar 38 juta janda di antaranya hidup dalam kemiskinan ekstrem. Jumlah ini diperkirakan meningkat tajam setelah pandemi Covid-19 dan rentetan konflik seperti terjadi di Suriah, Sudan Selatan, Republik Afrika Tengah, Ukraina, dan Palestina.
Nasib janda di dunia bertambah buruk karena norma sosial dan budaya yang berlaku di negara masing-masing. Laporan itu merinci, ada janda yang harus menukar seks untuk roti demi bertahan hidup. Ada pula janda yang wajib meminum air yang telah digunakan untuk memandikan jenazah suaminya dan melakukan hubungan seks dengan kerabat, sehingga semakin merendahkan martabatnya. Janda di India, Nepal, Papua Nugini, dan Afrika kerap dituduh membunuh suami dengan menularkan HIV/ AIDS. Sementara, janda di Afrika dimiskinkan dan digusur dari rumahnya sendiri oleh keluarga mantan suami.
Di Indonesia, situasi janda juga sama beratnya, terlebih untuk janda cerai hidup. Meski kini semakin banyak perempuan yang berani keluar dari pernikahan toksik, bukan berarti stigma atas mereka lenyap secara otomatis. Riset Parker mengutip kondisi buruk para janda di berbagai provinsi di Indonesia. Di Wawonii, Sulawesi Tenggara, janda adalah perempuan yang dikasihani. Meski begitu, mereka didiskriminasi dalam pernikahan. Janda di Wawonii yang akan dinikahi, hanya mendapat mahar 10 pohon kelapa, sedangkan perempuan lajang sebanyak 30 pohon kelapa. Mereka juga kerap diasingkan dari masyarakat, hingga sulit mengakses pekerjaan di ruang publik.
Para janda yang memilih bercerai dari suami juga mendapat segudang stigma buruk. Hal ini dilegitimasi pula oleh pemberitaan media yang kerap mengantagonisasi janda sebagai orang yang buruk. Seperti pernyataan Emon di awal tulisan, janda cerai hidup kerap diasosiasikan sebagai orang yang kurang setia atau gagal mempertahankan pernikahan. Label yang kerap kali hanya membebani perempuan saja, bukan lelaki. Ini termasuk gagal menjadi istri yang baik, gagal melayani suami sehingga ia berpaling, dan kegagalan-kegagalan lainnya.
Janda cerai hidup dalam postingan Instagram @BerandaJanda yang melansir Wise Voter juga menemukan risiko lain. Misalnya risiko pada keuangan, perasaan terisolasi, dan penyesuaian terhadap kehidupan sehari-hari. Dalam beberapa kasus bahkan mereka yang bercerai karena perselingkuhan suami, tetap kesulitan mengurus dokumen resmi, seperti akte kelahiran, ijazah anak, atau transaksi kredit di perbankan. Sebab, aturan yang berlaku di Indonesia bersifat patrilineal, sehingga nama bapak/ eks suami—seburuk apa pun pernikahannya dulu—wajib disertakan.
Hambatan dan stigma ini terus menyandera janda, terutama mereka yang bercerai hidup. Seolah-olah mereka adalah perempuan buangan yang layak dikasihani dan sudah selesai hidupnya. Padahal kita tahu, banyak perempuan bercerai hidup yang memilih jadi berdaya: Melanjutkan hidup, membesarkan anak sendirian, dan berbahagia.
Baca juga: Engkau Janda dan Engkau Terhormat
Mengurangi Stigma dengan Jadi Berdaya
Hari-hari ini semakin banyak perempuan bercerai yang bisa menunjukkan sisi keberdayaan mereka. Apalagi kini sudah semakin banyak komunitas atau peer group yang bergerak di isu ini dan rutin menyemangati perjuangan para janda. Misalnya @BerandaJanda, @SaveJanda, @YayasanPekka, atau akun personal yang vokal seperti @Poppydiharjo. Ada juga Podcast yang dibuat janda untuk mendukung janda lainnya seperti Janda Becanda.
Mereka telah menginspirasi banyak janda di Indonesia untuk tak menyerah pada nasib. Bangkit dan bahkan menemukan kembali cinta baru. Selain dukungan komunitas atau peer group, untuk berdaya, janda juga memerlukan ruang aman dan nyaman dari orang-orang terdekat. Karena itulah sebagai orang sekitar, wajib hukumnya untuk mengedukasi diri sendiri.
Misalnya dengan mengedukasi bahwa stigma negatif janda sudah basi dan tak pernah relevan. Kita juga perlu belajar memahami dan berempati atas pengalaman kawan janda. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, menjadi janda tak pernah jadi pilihan mudah. Ada yang bercerai karena kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perselingkuhan, bahkan yang terbaru, faktor kekerasan ekonomi akibat judi online. Memahami perceraian sebagai peristiwa sosial yang kompleks, akan mengasah kepekaan dan empati kita nantinya.
Baca juga: Bibit-bibit Kekerasan dalam Olok-olok Status Janda
Yang terakhir dan paling penting adalah pemerintah harus andil dalam menyediakan infrastruktur dan regulasi yang memihak para janda. Hambatan janda akan mengakses sumber daya ekonomi, dokumen legal perbankan, pendidikan mesti dihilangkan. Itu artinya, pemerintah perlu merombak besar-besaran berbagai regulasi yang diskriminatif terhadap janda.
Dengan cara-cara inilah, para janda bisa tetap berdaya. Akhirnya, Selamat Hari Janda Internasional untukmu yang merayakan!