Hari Menghapus Stigma Aborsi: Pentingnya Sediakan Layanan Aborsi Aman
Penyediaan layanan aborsi aman adalah masalah struktural yang harus diselesaikan negara.
Mulai tahun ini setiap tanggal 28 Maret diperingati sebagai hari menghapus stigma aborsi. Peringatan ini ditujukan untuk mobilasi kolektif menghapus stigma aborsi, yang diharapkan berdampak pada kebijakan.
Gerakan aborsi aman sebenarnya berevolusi. Awalnya ia dipopulerkan oleh kelompok feminis liberal kulit putih dengan semangat pro-choice, yang menekankan aborsi sebagai pilihan perempuan dan privasi. Mereka menginterpretasikan hak privasi sebagai negative rights, meminta negara untuk tidak mengintervensi.
Dorothy Roberts, mengkritik gerakan ‘pro-choice’ sebagai “hak negatif” karena menggantungkan pada pilihan individu. Padahal tidak semua orang memiliki pilihan. Ada struktur kekuasaan dalam konteks ekonomi, politik, dan sosial yang menyebabkan perempuan tidak memiliki pilihan. Menurut Roberts, konsep pro-choice tidak memberikan perlindungan terhadap otonomi kelompok miskin dan tertindas.
Terdapat juga evolusi interpretasi hak privasi, bahwa inti dari privasi adalah otonomi, yang harus dimiliki setiap orang, dengan memperhatikan akses sosial dan politik seseorang. Penyediaan aborsi aman menjamin otonomi, yang harus dimiliki secara setara. Atas hal itu, gerakan aborsi memperhatikan kerentanan berdasarkan ras dan kelas, terutama untuk mendorong dekriminalisasi aborsi dan keadilan bereproduksi. Penyediaan aborsi aman bukan memberi pilihan, namun melindungi otonomi manusia yang berlandaskan keadilan sosial.
Aparat dan Instrumen Negara yang Perlu Berubah
Di Indonesia, aborsi merupakan masalah keadilan sosial.
Tahun 2018 lalu, WA (16 tahun), dari keluarga miskin di Jambi mengalami kehamilan dan harus melahirkan tidak aman akibat perkosaan. Ia malah dituduh melakukan aborsi, sempat ditahan dan diputus 6 bulan penjara. Kemudian ia dilepaskan oleh pengadilan di tingkat banding, atas dasar daya paksa akibat trauma.
Pada 2021 lalu, M (12 tahun) diperkosa, mengalami kehamilan, memohon layanan aborsi aman, tapi permohonannya ditolak oleh Polres Jombang. Selama proses kehamilan, ia tak mendapatkan layanan kesehatan, hanya pernah diberikan sembako.
Indonesia memang masih melarang berbagai perbuatan aborsi dalam KUHP. Namun sejak 2009, Pasal 75 UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengakui kebolehan aborsi bagi korban perkosaan sampai usia kehamilan 8 minggu. Ketentuan ini kemudian diperkuat Pasal 463 UU No 1 Tahun 2023 tentang KUHP Baru yang memperbolehkan aborsi untuk seluruh korban kekerasan seksual, sampai dengan usia kehamilan 14 minggu. Kebaruan aturan ini kemudian dipertegas dalam Pasal 60 UU Omnibus No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Sayangnya, organisasi profesi IDI dan POGI menolak kebolehan aborsi untuk korban kekerasan seksual dengan batas kehamilan 14 minggu. IDI membenturkan aborsi dengan sumpah dokter. Padahal, sumpah dokter tersebut telah ketinggalan zaman, dan banyak yang telah melakukan revisi seiring kebutuhan layanan, termasuk aborsi.
Direktur Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kemenkes juga menolak menerapkan pedoman World Health Organization (WHO)tentang penyelenggaraan aborsi. Sedangkan POGI membenturkan layanan aborsi dengan preferensi personal, dokter obgyn belum tentu mau menyediakan layanan.
Ketiga aktor tersebut perlu didorong untuk memiliki empati, melihat urgensi menyediakanlayanan aborsi.
Aborsi Aman Adalah Hak Warga Negara
Women Crisis Center (WCC) Jombang melaporkan bahwa terdapat peningkatan kebutuhan aborsi bagi korban kekerasan seksual. Pada 2021, WCC Jombang mendampingi 5 korban, pada 2022 meningkat menjadi 7 korban membutuhkan layanan aborsi aman.
Pasca UU Kesehatan 2009, sebenar telah ada sejumlah kebijakan, sampai dengan adanya Permenkes No. 3 tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi. Sayangnya, Kemenkes belum pernah melaporkan secara resmi bagaimana perkembangan pelaksanaannya. ICJR melakukan penelitian, dan menemukan bahwa belum ada aturan teknis pelatihan, sekalipun sudah menjadi pekerjaan rumah selama 8 tahun. Kemenkes tidak kunjung menujuk fasilitas kesehatan. POGI juga berkelit dengan kendala sistem kesehatan, seolah sistem di Indonesia tidak mampu menyediakan.
Hal ini sebenarnya bertentangan dengan diskursus aborsi secara global. Dalam esai berjudul Maybe Abortion Isn’t as Complic atedas We’ve Been Led to Believe, Presser membahas secara historis, aborsi dilakukan secara aman dengan sederhana. Pada pertengahan abad 19 di benua Amerika, Bidan dan penyedia pengobatan alternatif terbiasa menyediakan layanan restorasi menstruasi pada masa awal kehamilan, dengan obat-obatan dan herbal. Lantas, pada 1840 American Medical Association (AMA) terbentuk dan melakukan kampanye larangan aborsi. AMA menstigma aborsi sebagai amoral, dan memberikan kewenangan aborsi hanya kepada dokter.
Perjalanan awal gerakan aborsi oleh Feminis kulit putih juga problematic karena menempatkan hanya dokter yang dapat melakukannya. Hal ini merupakan preferensi kelas menengah dan akar liberalisasi layanan aborsi.
Pada masyarakat terdahulu negara Muslim di Timur Tengah, praktik restorasi menstruasi di awal kehamilan juga dilakukan. Di Indonesia sendiri, beberapa penelitian membuktikan peluang amannya praktik aborsi mandiri.
Pada 2018, dilaporkan, 73 persen aborsi dilakukan dengan self-managed. Jamu merupakan metode aborsi paling banyak digunakan (40 persen), hanya 8 persen yang mengalami komplikasi. Aborsi juga dilakukan lewat hotline, bahkan untuk kehamilan setelah 12 minggu.
Pada Juli 2012 sampai dengan Oktober 2016, terdapat 96 orang mengakses layanan hotline aborsi. Dari jumlah tersebut, 91-nya memperoleh layanan konseling secara online. Hasilnya, 83 orang (91,2 persen) berhasil menghentikan kehamilannya, tanpa mengakses layanan kesehatan lanjutan, hanya lima orang menunjukkan komplikasi dan membutuhkan layanan, satu orang perlu mengakses layanan karena terminasi kehamilan gagal, sedangkan 2 orang lainnya tidak diketahui. Dari penelitian ini dihasilkan bahwa konseling jarak jauh bisa dilakukan.
Praktik self managed abortion tanpa membebani sistem kesehatan formal sejalan dengan rekomendasi WHO. Bahwa aborsi sampai dengan 12 minggu bisa disediakan dengan memberikan akses obat dan bantuan dokter umum jika diperlukan. Prosedur ini melibatkan dua obat, mifepristone dan misoprostol. Mifepristone untuk memblokir hormon kehamilan, misoprostol menginduksi uterus berkontraksi. Mifepristone adalah obat aborsi, sedangkan misoprostol pertama kali diciptakan untuk mengobati tukak lambung.
Sayangnya, di Indonesia mifepristone tidak terdaftar, sedangkan misoprostol terdaftar sebagai obat maag, hanya dapat dibeli dengan resep dokter. Tak mudah untuk mengaksesnya dalam keadaan negara tak berkomitmen menyediakan aborsi aman.
Padahal, Kehamilan akibat kekerasan seksual banyak ditemukan. Kita bisa mendapatkan informasi pada mesin pencari Google. Dengan kata kunci ‘diperkosa hingga hamil’ paling tidak dalam kurun waktu 1 Januari–24 Maret 2024, ditemukan 12 kasus perkosaan dengan korban hamil, hanya 1 korban yang bukan Anak. Enam korban (50%) diperkosa oleh keluarga, yaitu ayah, kakak, kakak ipar dan paman. Bagaimana mungkin kita membebankan anak, korban kekerasan seksual oleh orang terdekatnya, untuk melanjutkan kehamilan dan mengasuh anak hasil kekerasan.
Jika pemerintah benar-benar ingin menyediakan layanan aborsi aman untuk korban kekerasan seksual, sesederhana menyediakan akses obat, harusnya bisa dilakukan. Tak perlu sampai seperti kasus M yang secara terbuka mengajukan permohonan aborsi kepada otoritas, tapi malah ditolak. Padahal saat itu kehamilannya masih kurang dari 8 minggu, yang seharusnya bisa dilakukan dengan obat.
Maidina Rahmawati, Researcher at Institute for Criminal Justice Reform. Institute for Criminal Justice Reform UNSW. Girlie Ginting, Research Asistant ICJR.