Health Lifestyle

Hidup dengan Gangguan Reproduksi Perempuan dan Tuduhan Bukan ‘Perempuan Utuh’

Hidup dengan gangguan reproduksi di tengah masyarakat yang mengukur keutuhan perempuan dari kemampuan menghasilkan anak terasa tidak adil.

Avatar
  • July 9, 2020
  • 4 min read
  • 1113 Views
Hidup dengan Gangguan Reproduksi Perempuan dan Tuduhan Bukan ‘Perempuan Utuh’

Perhatianku terhadap kesehatan reproduksi bermula saat aku telat menstruasi sampai empat bulan pada awal 2014. Seperti sebagian perempuan lainnya, entah sudah pernah berhubungan seks atau belum, di benakku langsung tebersit soal kehamilan. Padahal, itu tidak mungkin terjadi karena dilihat “Mas crush” saja aku langsung gemetar. Mungkin pikiran ini itu muncul karena waktu kecil terlalu banyak menonton sinetron berisi cerita perempuan hamil.

Saat bercerita pada orang tua, Ibu kemudian menemaniku pergi ke dokter kandungan. Begitu sampai di sana, aku merasa risi sebab hal pertama yang ditanyakan petugas pendaftaran adalah “Sedang hamil atau tidak?”. Nah kan, petugas rumah sakit saja berpikir begitu. Padahal, ya memang begitu prosedur pendaftaran untuk mengetahui riwayat pasien.

 

 

Perasaan risi bertambah saat dokter bertanya, “Sudah pernah ‘berhubungan’ belum?” di depan ibuku sendiri. Sebagai anak yang dibesarkan dari keluarga yang masih menabukan “seks”, rasanya malu bukan main.

Setelah menjawab sejumlah pertanyaan lain dari dokter, saya didiagnosis telat menstruasi karena stres mengerjakan skripsi. Ia pun memberiku obat untuk melancarkan menstruasi. Namun, siklus menstruasiku tetap tak teratur meski telah menelan pil kontrasepsi setiap bulan serta obat hormonal yang diresepkan dokter. Ibaratnya, aku merasakan ghosting, bukan oleh laki-laki, tapi oleh siklus tubuh sendiri.

Akhirnya pada 2017, diagnosis dokter terhadapku bergeser menjadi polycystic ovary syndrome (PCOS). Sederhananya, ini adalah gangguan hormonal yang membuat penderitanya mengalami gejala seperti siklus menstruasi tidak teratur. Sebabnya sendiri masih belum jelas, tapi kemungkinan ada kombinasi antara faktor genetik dan lingkungan. Lebih dari 150 ribu perempuan di Indonesia dilaporkan menderita PCOS setiap tahunnya.

Baca juga: 5 Mitos Soal Seks yang Masih Diyakini Banyak Orang

Dari pengalamanku pergi ke dokter kandungan berulang kali inilah, aku sadar bahwa tidak semua perempuan bisa mendapat akses yang cukup untuk edukasi tentang kesehatan reproduksi. Bahkan, untuk tahu apa yang terjadi di tubuhnya sendiri, banyak perempuan—baik lajang maupun sudah menikah—yang masih enggan pergi ke dokter kandungan. Padahal, anggapan bahwa ke dokter kandungan itu cuma perlu kalau sudah hamil itu keliru.

Pernyataan Sumbang

“Lekas nikah ya, Mbak”.

Begitu pesan generik yang sering aku dengar dari beberapa dokter saat berkonsultasi seputar kesehatan reproduksiku. Bagi perempuan yang memang mau menikah, hal ini tentu bukan masalah, apalagi bagi mereka sudah punya calon. Lain cerita kalau dia belum ada pacar, atau tidak tertarik pacaran dulu lantaran lebih terpikirkan soal, misalnya, meruntuhkan peradaban, menghapus kapitalisme, dan memperjuangkan hak buruh, sehingga dalam prosesnya sama sekali tak terlintas keinginan untuk menikah. Apa iya kalau begini keadaannya, dia mesti didorong menikah juga?

Kesehatan dan pendidikan reproduksi adalah hak semua perempuan terlepas pilihannya mau mengikuti standar masyarakat dengan menikah atau tidak, dan tentang keinginannya untuk hamil atau tidak. Sesederhana karena ia bertanggung jawab penuh atas kesehatan reproduksinya.

Baca juga: Aplikasi Ini Permudah Kita Melacak Siklus Menstruasi

Pernyataan “lekas menikah” ini juga terkesan misleading. Sebagian perempuan mau dan mampu menikah, tetapi sebagian lainnya barangkali memang tidak atau belum mampu melakukannya, misalnya terkait dengan biaya pernikahan. Bayangkan bila kamu seorang perempuan lajang anak sulung, bekerja siang malam di tanah rantau, gaji hanya sebatas upah minimum regional, dan setiap gajian, kamu mesti mentransfer uang untuk biaya sekolah lima adikmu, belum lagi mesti membiayai pengobatan ayahmu, lantas disuruh menikah. Kalau kamu tak lekas menikah, kamu ditakut-takuti akan mengidap PCOS seumur hidup. Mungkin dalam kondisi macam itu, PCOS akan terdengar lebih baik daripada mendengar kabar keluargamu di desa kelaparan.

Pengalaman mengidap PCOS rasanya sudah seperti naik bianglala di pasar malam, tepat saat angin bertiup kencang dan mesinnya berhenti di tengah-tengah. Deg-degan tiap bulan, apalagi setelah aku menikah. Tanda telat menstruasi karena penyakit atau karena hamil menjadi kabur. Setiap kali menggunakan test pack dan melihat hasilnya, juga saat mengecek aplikasi siklus menstruasi, aku tidak pernah tidak merasa cemas. Di tengah perasaan macam itu, kadang ada saja yang menanyaiku, “kapan isi?”. Nah, kalau begini, aku jadi paham kenapa semprotan lada diproduksi.

Hidup dengan PCOS dalam masyarakat yang mengukur keutuhan seorang perempuan dengan kemampuan reproduksinya itu rasanya memang tidak adil. Perjalanan panjang sebagai penyintas mengajarkanku bahwa seharusnya perempuan dibebaskan dalam mempunyai pendapatnya sendiri soal pernikahan dan anak, terlepas apa pun riwayat kesehatannya.



#waveforequality


Avatar
About Author

Dinnar Nabila

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *