Cuaca panas ekstrem menyergap sejumlah negara di Benua Asia, dari Bangladesh hingga Thailand selama April 2023 dan masih berlanjut hingga kini. Tak tanggung-tanggung, suhu rata-rata harian lebih dari 40 derajat Celcius melanda 16 negara di Asia selama lebih dari seminggu sehingga disebut dengan gelombang panas (heatwave).
Untuk disebut heatwave, cuaca panas di atas daratan harus memenuhi tiga kriteria: (1) suhu rata-rata harian melebihi 40 C; (2) terjadi selama minimal tiga hari berturut-turut; (3) terjadi pada wilayah yang luas dengan area mencakup ribuan bahkan ratusan ribu kilometer persegi.
Berdasarkan tiga kriteria tersebut, gelombang panas umumnya terjadi di daratan yang luas seperti benua dengan atmosfer stabil. Di area ini, cuaca panas ekstrem dapat terjadi berhari-hari bahkan berbulan-bulan.
Baca juga: Badai ‘Overheat’ di AS dan Eropa Cetak Rekor, Perburuk Hiper-inflasi
Itu sebabnya mengapa gelombang panas sulit terjadi di Indonesia. Sebab, sebagian besar wilayah Indonesia adalah lautan. Iklim dan cuacanya juga lebih banyak dikontrol oleh parameter angin dan curah hujan.
Sekalipun terjadi, gelombang panas kemungkinan akan melanda wilayah yang berdekatan dengan semenanjung Malaysia dan Selat Malaka seperti Aceh, Sumatra Utara, Riau, ataupun Kepulauan Riau.
Penelitian saya dan tim yang masih dalam proses reviu menemukan Indonesia lebih berisiko mengalami serbuan panas atau hot spells. Fenomena ini dianggap terjadi jika suhu rata-rata harian melebihi 27,8 derajat Celcius dan terjadi berturut-turut minimal tiga hari.
Meski tak separah gelombang panas, hot spells tetap berisiko bagi Indonesia karena bisa meningkatkan risiko perburukan kualitas udara, kasus penyakit menular ataupun tidak menular, serta kebakaran hutan dan lahan.
Distribusi Hot Spells di Indonesia
Indonesia harus bersiap. Frekuensi terjadinya cuaca panas berkaitan erat dengan perubahan iklim global sehingga fenomena hot spells berisiko lebih sering terjadi.
Berdasarkan data selama dekade terakhir (2012–2022), penelitian saya mencatat hot spells di Indonesia dapat terjadi pada setiap bulan kecuali Desember-Januari-Februari atau pada saat musim hujan (lihat gambar).
Hal ini terjadi karena selama musim hujan perubahan cuaca lebih dominan dipengaruhi oleh angin monsun barat dan peningkatan aktivitas konvektif (terkait awan).
Selama Maret-April-Mei (lihat gambar b), hot spells tampak lebih banyak terjadi di Sumatra khususnya pesisir timur yang berhadapan dengan Selat Malaka (Medan, Pekanbaru) dan Laut Cina Selatan (Tanjung Pinang, Bangka). Serbuan panas juga bisa melanda Sumatra bagian selatan seperti Jambi, Palembang, pesisir timur Lampung.
Baca juga: Gara-gara Krisis Iklim, Haruskah Kita Ucapkan Selamat Tinggal pada Piala Dunia?
Selain Sumatra, wilayah lain yang mengalami hot spells di Indonesia adalah Kalimantan bagian selatan (Palangkaraya, Banjarmasin). Sementara itu, di pulau Jawa, pesisir utara Jawa bagian barat, Jawa Timur, dan Madura biasa mengalami hot spells.
Pada Juni-Juli Agustus (lihat gambar c), hot spells hanya terjadi di Sumatra dengan wilayah yang lebih meluas di Sumatra bagian selatan (Palembang dan Jambi) dibandingkan bulan Maret, April, dan Mei. Pada September-Oktober-November, hot spells juga masih terjadi di Sumatera bagian selatan juga di Jawa bagian timur serta sebagian Kalimantan Selatan.
Hasil awal dari studi saya juga menunjukkan gelombang panas di Asia dapat memicu hot spells di Indonesia sejak Maret hingga Mei. Panas ekstrem dari daratan Thailand dapat menjalar ke laut Cina Selatan dan terputus di area sekitar ekuator. Walau begitu, pemanasan suhu udara di atas Laut Jawa dapat terbentuk kembali bahkan meluas ke daratan–ke wilayah pesisir atau dataran rendah di bagian utara Jawa.
Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa wilayah terdampak yang paling rentan dengan hot spells adalah Sumatra bagian selatan. Kawasan ini dilanda serbuan panas sejak bulan Maret hingga November. Sementara itu, untuk Pulau Jawa, wilayah paling rentan adalah pesisir utara Jawa Timur dan Madura.
Proyeksi perubahan iklim hingga 2050 yang dilakukan oleh rekan peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional, Amalia Nurlatifah, bersama tim yang juga masih dalam proses reviu menunjukkan pulau Jawa, khususnya Jawa Timur, mengalami peningkatan suhu maksimum yang merata. Potensi terjadinya hot spells di Indonesia yang perlu diwaspadai di Jawa adalah Jawa Timur termasuk Madura.
Seiring dengan laju kenaikan suhu global yang diprediksi terus meningkat hingga 1,5 C pada 2035, maka hot spells di Indonesia juga berpotensi semakin intens dan meluas.
Rekomendasi Mitigasi Hot Spells
Indonesia perlu melakukan sejumlah langkah strategis maupun taktis untuk meredam dampak apabila hot spells meningkat ataupun meluas.
Pemerintah harus mencegah agar situasi di Indonesia tak seperti India saat dilanda gelombang panas April lalu. Pada waktu tersebut, India biasanya sedang memasuki musim hujan seiring dengan penguatan angin monsun yang berembus dari Teluk Benggala menuju ke daratan India. Situasi terburuk gelombang panas India juga tidak termuat pemodelan iklim oleh ilmuwan setempat.
Ketidaksiapan tersebut membuat heatwave India menewaskan 13 orang karena serangan panas atau heatstroke serta 50 orang dirawat di rumah sakit.
Karena itulah, Pemerintah Indonesia juga perlu membuat skenario terburuk serangan panas hingga 2035 berdasarkan indikasi peningkatan suhu global 1,5 C. Pemerintah bisa memprioritaskan mitigasi di wilayah-wilayah rentan ini: Sumatra bagian utara dan selatan, Kalimantan bagian tengah dan selatan, serta Jatim.
Langkah strategis yang perlu dilakukan pertama kali adalah, pemetaan proyeksi hot spells juga heatwave hingga 2050 di wilayah Indonesia dan ASEAN. Selanjutnya, pemerintah dapat mengevaluasi efektivitas Indonesia dalam menekan emisi karbon untuk meredam perubahan iklim.
Melalui Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Labuan Bajo pada 9–11 Mei 2023 mendatang, Indonesia dapat berinisiatif memimpin negara-negara di ASEAN untuk merumuskan berbagai regulasi regional. Regulasi menjadi komitmen bersama dalam menghambat laju kenaikan suhu di Asia Tenggara sekaligus melindungi negara-negara ASEAN dari potensi heatwave ataupun hot spells yang kian intens.
Baca juga: Perempuan Muslim Jadi Agen Perubahan Iklim, Lelaki ‘Ngapain’?
Pemerintah juga harus meningkatkan koordinasi pusat-daerah dalam merealisasikan kebijakan yang mendukung mitigasi perubahan iklim khususnya untuk daerah-daerah yang rentan terhadap hot spells.
Masyarakat pun perlu mempersiapkan diri secara psikologis dalam menghadapi tahun-tahun mendatang yang lebih panas pada Maret-Mei maupun September–November untuk pulau Jawa, serta Maret hingga November untuk Sumatra dan Kalimantan.
Perlu disadari bahwa tubuh tidak bisa tahan terhadap paparan hot spells. Karena itu, kita harus menjaga tubuh tetap terhidrasi dengan baik dan melindungi kulit dari paparan radiasi ultraviolet, serta mengurangi aktivitas di luar ruangan yang terlalu lama.
Erma Yulihastin, Researcher, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.