December 24, 2025
Issues Opini

Sedia ‘Aku’ Sebelum Hujan: Membaca Idgitaf dari Banjir Bekasi

Di tengah banjir Bekasi, “Sedia ‘Aku’ Sebelum Hujan” terdengar seperti monolog pohon yang lelah. Apa yang kita tukar saat tanah resapan jadi beton?

  • December 24, 2025
  • 5 min read
  • 977 Views
Sedia ‘Aku’ Sebelum Hujan: Membaca Idgitaf dari Banjir Bekasi

Wiper mobil saya bergerak cepat, melawan hujan deras yang sudah hampir seminggu mengguyur Bekasi setiap sore. Di kiri jalan, Pakuwon Mall Bekasi berdiri terang dan rapi, lampu-lampunya memantul di genangan yang makin tinggi. Di depan, di perempatan Pekayon, deretan motor mogok. Para pengendara menuntun kendaraan dengan wajah lelah, basah kuyup, menembus air yang seperti mengejek konsep tata kota kita.

Saya terjebak macet dan hanya bisa memandangi genangan itu dengan perasaan asing—campuran kesal dan kalah. Seingat saya, sebelum bangunan-bangunan raksasa ini datang menggantikan tanah resapan, perempatan ini tidak pernah segini sering tergenang.

Dulu air punya tempat untuk “pulang” ke dalam tanah. Sekarang, rumah air itu kita semen. Kita ganti dengan lantai marmer dingin, lobi apartemen, dan parkiran luas. Kita menukar tanah basah dengan kemewahan, lalu mengeluh ketika alam menagih kembali haknya.

Seolah ingin menjawab pikiran saya, radio memutar lagu Idgitaf yang sedang viral “Sedia ‘Aku’ Sebelum Hujan.” Biasanya lagu ini terdengar seperti lagu cinta-cintaan. Tapi sore ini, di tengah banjir Bekasi dan deru hujan yang marah, liriknya terasa lain. Seperti bukan suara manusia. Seperti suara pohon, suara hutan.

Baca Juga: Dari Banjir ke Banjir, Kenapa Kita Masih Gagap Hadapi Bencana?

​Monolog sang penjaga hutan

“Jadi waktu itu dingin, kuberi kau hangat… Walaupun ku juga beku… Tapi ku aman saat kau nyaman…”

“Jadi waktu itu panas, kuberi kau angin… Walaupun ku juga gerah… Tapi ku penuh saat kau teduh…”

Selama ini saya menganggap lirik ini sekadar gombalan romantis. Tapi ketika saya menoleh ke luar jendela, kalimat-kalimat itu terdengar seperti ketulusan tanpa pamrih yang selama ini kita terima dari hutan.

Hutan memberi “hangat” dengan caranya sendiri: menahan air, menjaga lereng, memeluk tanah dengan akar-akar yang tak pernah kita lihat. Ia menanggung beban itu diam-diam. Ia rela “beku” berdiri lama, kaku, menancap kuat, agar tanah yang kita pijak tetap stabil. Agar banjir dan longsor tidak datang lebih sering, lebih ganas, lebih cepat.

Di siang hari yang panas, pohon memberi “angin”: oksigen dan udara yang lebih bersih, sedikit teduh yang membuat napas terasa lebih panjang. Padahal ia sendiri “gerah”. Diam-diam menyerap racun karbon dan polusi yang kita ciptakan dari knalpot, cerobong, dan asap pembakaran. Pohon menelan “gerah” itu, supaya kita bisa berteduh sejenak tanpa menyadari harga yang ia bayar.

“Sudah paham ‘kan sejauh ini? Ku yang lama di sini… Menjagamu tak patah hati.”

​Hutan seolah bertanya pelan: sudah paham? Seharusnya kita paham. Kita hidup di Nusantara yang kaya, dan tahu persis siapa yang paling lama menjaga. Hutanlah “Aku” yang sudah duluan di sini—penjaga yang membuat kita tidak “patah hati” karena kehilangan nyawa, rumah, dan rasa aman berulang kali.

“Sedia aku sebelum hujan. Apa yang kau butuh, kuberikan.”

​ Ini bukan sekadar kiasan. Hutan memang selalu sedia. Butuh air bersih? Ia simpan melalui akar dan tanah yang sehat. Butuh kayu untuk rumah? Ia relakan batangnya. Butuh udara untuk bernapas? Ia hembuskan setiap saat.

Tetapi kita mengkhianatinya. Kita membiarkan keserakahan masuk, membiarkan hutan gundul atas nama investasi dan pembangunan. Kita merusak kawan yang selama ini pasang badan untuk keselamatan kita.

“Ke mana pun tak akan kau temukan, Yang siapkan bekalmu di peperangan.”

“Peperangan” itu bukan senjata api. Ini perang melawan krisis iklim. Perang yang tidak mengenal garis depan, karena dampaknya masuk ke rumah kita lewat banjir, panas ekstrem, gagal panen, sampai penyakit. Hutan tahu, sejauh apa pun kita mencari, tidak ada jalan pintas yang bisa menggantikannya. Dan sering kali, kita baru sadar setelah kerusakannya terlanjur.

“Jika tak setara, kumaafkan. Memang sebegitunya aku.”

Hubungan manusia dan alam sudah lama timpang. Kita mengambil: kayunya, lahannya, isinya. Kita mengeruk, membabat, mengganti, lalu memberi balik sekadarnya—sering hanya berupa janji. Ekosistem yang butuh ratusan tahun untuk terbentuk bisa “semalam hilang” dilindas alat berat. Sementara kita hidup dengan keyakinan bahwa selalu ada tempat baru untuk dibuka, selalu ada hutan lain untuk diganti.

Dan tetap saja, hutan “memaafkan” dengan caranya: memberi oksigen sampai sisa-sisa napasnya. Menerima beban sampai benar-benar tercabut dari akarnya.

​“Ku tak punya pilihan… Yang dikendali pikiran… Ada namamu disebutkan, ke situlah arahku berjalan.”

Pohon tidak punya kaki untuk lari. Hutan tidak punya mulut untuk protes. Mereka “tak punya pilihan”. Mereka menunggu keputusan dari “pikiran” yang memegang kendali: pikiran kita, manusia. Saat “nama kita” disebutkan atas nama ambisi, atas nama ekonomi, atas nama pembangunan, ke situlah arah nasib mereka berjalan. Kalau kita memilih beton, mereka mati. Kalau kita memilih sawit, mereka terpinggirkan.

Baca Juga: Krisis Iklim Persulit Korban Kekerasan Mengakses Keadilan

Bencana terjadi bukan karena pohon jahat atau alam balas dendam. Bencana terjadi karena kita yang menyetirnya ke sana. Pohon hanya mengikuti arah yang kita tentukan—arah tempat keserakahan berjalan.

Radio beralih ke lagu lain, tapi pertanyaan itu tertinggal, lebih berat dari awan mendung di langit Bekasi. Kalau manusia bisa mendengar suara kepasrahan pohon di lagu ini, apakah banjir di depan mata—atau tragedi yang lebih besar di Sumatera dan wilayah lain—sebenarnya bisa dicegah?

Hujan deras sore ini hanyalah pengingat kecil. Kita terus mengambil tanpa menanam, merusak tanpa memperbaiki, seolah kita punya bumi cadangan. Kita menyebutnya pembangunan, meski yang tumbang lebih banyak dari yang ditanam. Kita menyebutnya kemajuan, meski keselamatan pelan-pelan dipertaruhkan. Dan ketika alam menagih, kita menyebutnya cobaan.

Saya tidak tahu apakah pohon benar-benar memaafkan. Tapi saya tahu, ada batas pada segala hal yang kita anggap “selalu tersedia”. Dan mungkin, kalimat paling jujur dari lagu itu justru peringatan yang sering kita abaikan: Sedia “Aku” sebelum hujan—sebelum terlambat.

Akhmad Yunus Vixroni salah pilih jurusan Psikologi karena malas hitung-hitungan, tetapi malah bertemu Psikometri. Ia tak menyesal, juga tak murung karena belum sempat berkarier di bidang yang pernah ditekuni. Justru cerita bahagia dimulai di jurusan yang laki-lakinya minoritas—ketika bertemu istri yang sangat-sangat dicintai.

About Author

Akhmad Yunus Vixroni