Issues Opini

Getir Perempuan Palestina: Ditundukkan Israel dan Bangsanya Sendiri

Rahim perempuan Palestina sering disebut senjata terbaik rakyat. Terdengar heroik tapi sebenarnya perempuan di sana menerima beban berlapis secara fisik dan psikologis.

Avatar
  • October 26, 2023
  • 6 min read
  • 2945 Views
Getir Perempuan Palestina: Ditundukkan Israel dan Bangsanya Sendiri

Frasa perang, tentara, dan syuhada jadi kata kunci yang mendominasi wacana geopolitik di balik serangan Israel ke Palestina. Sebagaimana atribut yang sering diasosiasikan setiap kali perang berlangsung, percakapan yang maskulin memenuhi ruang televisi, tajuk berita, maupun media sosial. Pertanyaan kritis akhirnya muncul: Di mana para perempuan Palestina?

Pertanyaan tersebut sekaligus menggeser perhatian yang tadinya cuma fokus pada konflik budaya dan agama, menjadi isu perempuan akibat kolonialisme Israel. Isu ini sama pentingnya, tapi sayang tak banyak kita beri porsi perhatian yang layak di media.

 

 

Mengenal Subaltern

Istilah subaltern sebenarnya diperkenalkan pertama kali oleh Antonio Gramsci. Namun, secara populer digunakan oleh feminis pascakolonial, Gayatri Spivak, untuk mengritik tradisi Sati di India. Subaltern merujuk pada populasi yang secara sosial, politik, dan geografis ditundukkan oleh kelompok yang menguasai mereka. Orang-orang ini tidak punya agensi. Dengan kata lain, mereka adalah liyan yang terliyankan

Dalam banyak literatur dan praktik, perempuan disebut sebagai kelompok liyan hampir dalam berbagai bidang kehidupan. Akan tetapi, subaltern memiliki nasib yang lebih menderita dari liyan karena mereka menerima subordinasi secara berlapis. Keberadaan subaltern sering dikaitkan dengan konteks kolonialisme, di mana kelompok ini menerima penjajahan dan di waktu yang sama tidak memiliki kesempatan untuk bersuara. Sejarahnya kerap kali tidak terdokumentasikan, sehingga banyak yang tidak menyadari bahwa kelompok ini ada.

Kolonialisme telah berlangsung lama di Palestina, dan selama itu pula kita tidak pernah tahu bagaimana suara para perempuan di sana sebenarnya. Selama ini perempuan, terutama para Ibu, di Palestina, digambarkan sebagai pejuang karena peran keibuannya. Bagaimana penggambaran ini berpotensi dalam menciptakan ketidaksetaraan gender dan subordinasi?

Baca juga: Kenapa Serangan Israel ke Palestina adalah Isu Feminis

Konsep Keibuan dan Subordinasi di Palestina

Laporan Gender Equality and Women’s Rights in Palestinian Territories (2011) yang diterbitkan European Parliament melaporkan, organisasi-organisasi sosial di Palestina masih didominasi corak patriarki klasik. Itu dapat dipastikan masih tumbuh subur beriringan dengan terus berlangsungnya konflik dan perang hingga sekarang. Status laki-laki yang memiliki otoritas dan kontrol, sementara perempuan jadi inferior.

Mengingat ketidakstabilan yang terus bergulir, keluarga dianggap sebagai institusi sosial paling vital di Palestina. Sementara sang suami pergi berperang, istri diharapkan dapat melakukan peran reproduksi dan domestiknya. Keluarga sangat mungkin menjadi institusi yang patriarkis, misalnya diungkapkan oleh Erich Fromm (1955), keluarga adalah sistem budaya yang mendukung sistem dominasi lainnya.

Dalam konsep ibu Palestina, melahirkan dan membesarkan anak memainkan peran sentral dalam mendefinisikan status perempuan dalam masyarakat. Selain itu, “menjadi keibuan” memiliki makna politik dan dianggap sebagai tugas nasional bagi perempuan dalam perlawanan Palestina terhadap pendudukan Israel.

Perempuan didorong untuk memiliki banyak anak dan mendidik mereka dengan sejarah dan nilai-nilai Palestina. Hal ini menandakan, tubuh perempuan dan perilaku reproduksi mereka adalah peran yang paling bermartabat. Ini juga membatasi bentuk-bentuk perjuangan perempuan lain dalam upaya kemerdekaan Palestina, misalnya melalui gerakan-gerakan kesetaraan maupun pemberdayaan perempuan.

Konsep ibu Palestina berusaha untuk terus dikonstruksi dan dilanggengkan oleh mendiang pemimpin Palestina, Yasser Arafat. Ia kerap menyebut rahim perempuan Palestina sebagai “senjata terbaik rakyat Palestina”. Sekilas jargon ini terdengar heroik dan mengharukan, namun yang sebenarnya terjadi adalah perempuan menerima beban berlapis secara fisik juga psikologis. 

Setelah dibebankan untuk melahirkan dan mendidik, ibu-ibu Palestina harus mengorbankan anak-anak mereka di medan perang. Studi empiris menunjukkan, ibu-ibu Palestina secara luas menderita depresi, gangguan stres pasca-trauma dan masalah mental dan psikologis lainnya yang disebabkan oleh kehilangan anak-anak mereka. Tanpa kita sadari, para perempuan di Palestina tidak diberikan opsi untuk memilih kehidupan sendiri, bahkan tidak pernah ditanya. Posisi inilah yang menyebabkan para ibu Palestina masuk ke dalam subaltern. 

Kisah dan pengalaman mereka jarang diangkat di media. Sekali pun ada, wacana yang lebih banyak dibangun adalah menjadi ibu dan merelakan anak-anak mereka dalam perjuangan kemerdekaan Palestina adalah pengorbanan yang heroik dan penuh keberanian. Narasi ini mengaburkan fakta bahwa ibu Palestina sejatinya adalah para individu yang memiliki pilihan, seolah satu-satunya pilihan untuk berjuang adalah dengan menjalankan peran reproduksinya dan tidak pada bentuk pilihan lainnya.

Baca Juga: Magdalene Primer: Yang Perlu Diketahui tentang Isu Palestina-Israel

Setelah Subordinasi, Perempuan Palestina juga Terancam oleh Kekerasan

Kekerasan adalah hal yang mustahil dilepaskan dari perang maupun konflik. Dalam artikel Clark dkk. bertajuk Association between exposure to political violence and intimate-partner violence in the occupied Palestinian territory: a cross-sectional study (2010) diterangkan, kekerasan politik dapat berkontribusi pada kekerasan lain, baik secara psikologis, fisik, dan kekerasan seksual terhadap pasangan intim.

Setelah dibebankan secara reproduksi dan psikologis, ibu Palestina memiliki potensi yang besar untuk menerima kekerasan dari pasangan. Konflik yang terus menerus terjadi dan konsekuensi ekonomi yang menyertainya sangat mungkin mendorong kekerasan dalam rumah tangga. Para ibu berada dalam posisi yang rentan, bahkan tidak hanya di luar rumah oleh para tentara Zionis, tetapi di dalam rumah oleh pasangannya sendiri.  

Tidak hanya itu saja, kekerasan terutama kekerasan seksual juga banyak diterima oleh ibu atau perempuan Palestina dari pasukan militer Zionis. Penindasan kolonialis dan seksis telah terjadi sejak peristiwa Nakba (1948) meskipun belum sepenuhnya terungkap.

Dalam buku yang berjudul The Palestine Nakba: Decolonising history, narrating the subaltern, reclaiming memory (2012), Masalha menyampaikan tubuh perempuan Palestina dijadikan target utama kekerasan Zionis selama Nakba dengan tujuan membantai, meneror, dan mengusir orang-orang Palestina secara sengaja dan sistematis selama penghancuran desa-desa mereka.

Dalam beberapa penelitian lainnya, kekerasan seksual terhadap perempuan Palestina juga disebutkan banyak terjadi hingga saat ini, meskipun tidak banyak yang dilaporkan dan diberitakan.

Kekerasan seksual pada masa konflik bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja. Chintya Enloe (2000) mengamati salah satu motif pemerkosaan dalam peperangan ialah untuk mempermalukan laki-laki. Itu secara eksplisit dapat ditangkap, pemerkosaan sengaja dimiliterisasi atas dasar keputusan militer.

Dengan konteks patriotisme dan agama yang begitu kuat, pemerkosaan sangat mungkin dapat diartikan sebagai bentuk pelecehan terhadap bangsa Palestina. Kita baru bicara dampaknya terhadap negara, belum terhadap perempuan yang menjadi korban lebih jauh. Setiap kekerasan seksual meninggalkan dampak dan trauma yang sangat besar. 

Baca juga: Ahed Tamimi’s Resistance Should Remind Us of Our Anti-Colonialism Stance

Kapan Ibu Palestina Tidak Menjadi Subaltern?

Pertanyaan ini menimbulkan rasa getir dan sakit hati yang luar biasa. Setiap konflik tidak bisa hanya dipandang secara vis-à-vis antara Palestina dan Israel saja. Namun harus dipahami dengan dampak gender yang mengikutinya. Kita tentu sepakat segala bentuk subordinasi dan penindasan terhadap perempuan Palestina akan berangsur membaik ketika perdamaian terjadi. Kita membutuhkan kepedulian global untuk turut merasakan duka dari sistem dominasi yang mematikan, lalu bersiap secara kolektif mengusahakan pertolongan dan perdamaian. Sebab selama perang dan konflik masih pecah, selama itu pula Ibu Palestina menjadi subaltern yang ditundukkan oleh Israel dan bangsanya sendiri.

Laila Hanifah memiliki minat terhadap dunia aktivisme dan riset, terutama soal gender dan ilmu hubungan internasional, studi perdamaian, dan iklim. Laila dapat dihubungi melalui [email protected].


Avatar
About Author

Lala Hanifah