December 6, 2025
Issues Politics & Society

KPI Daerah Jakarta Larang Media Siarkan Kekerasan Terkait Demo, Potensi Ganggu Kebebasan Pers 

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jakarta imbau media tidak menayangkan liputan unjuk rasa yang dianggap provokatif. LBH Pers bilang surat itu bahayakan kebebasan pers.

  • August 29, 2025
  • 5 min read
  • 1782 Views
KPI Daerah Jakarta Larang Media Siarkan Kekerasan Terkait Demo, Potensi Ganggu Kebebasan Pers 

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) DKI Jakarta mengeluarkan imbauan tidak menayangkan liputan aksi unjuk rasa yang bermuatan kekerasan, viral di sosial media (29/8). Dalam surat edaran bertanggal 28 Agustus 2025, KPID DKI Jakarta mengimbau lembaga penyiaran agar, “Tidak menayangkan siaran atau liputan unjuk rasa yang bermuatan kekerasan secara berlebihan.” Surat itu ditujukan pada 37 lembaga penyiaran.

KPID DKI Jakarta juga melarang lembaga penyiaran untuk menayangkan siaran atau liputan yang provokatif, eksploitatif, dan mengeskalasi kemarahan masyarakat. Tak hanya itu, KPID mengimbau lembaga penyiaran untuk mengutamakan liputan yang bernuansa “sejuk” dan “damai”.  Magdalene mencoba mengonfirmasi surat ini pada Bambang Pamungkas Komisioner KPID Jakarta, tapi belum mendapat respons hingga berita ini ditulis.

Kepala Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik Pemprov DKI Jakarta sekaligus PPID Utama Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta Budi Awaluddin mengatakan, bahwa urusan penyiaran menjadi kewenangan pemerintah pusat. “Tidak ada (pembatasan aktivitas jurnalistik),” tandas Budi, pada Kompas.

“Berdasarkan hasil koordinasi dengan Ketua KPID DKI Jakarta, imbauan tersebut dikeluarkan oleh KPID dan menjadi kewenangan KPID dengan maksud sebagai imbauan normatif,” ujar Budi saat dihubungi Kompas.com, Jumat (29/8/2025). Ia menjelaskan, sesuai dengan UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, sub urusan penyiaran, tugas KPID tidak termasuk dalam urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah.

Kebijakan KPID DKI Jakarta ini menimbulkan kekhawatiran terkait kebebasan pers. Istilah-istilah yang digunakan, seperti “berlebihan” atau “provokatif”, dinilai subjektif sehingga berpotensi menimbulkan pembatasan terhadap liputan yang mengandung represivitas aparat kepolisian. Hal ini dinilai bertentangan dengan UU Pers No 40 Tahun 1990 yang telah menjamin kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara.

Baca Juga: Terobos Kerumunan Massa Aksi, Kendaraan Taktis Brimob Lindas Ojol

Berpotensi Ancam Kebebasan Pers

Perlu diketahui, berdasarkan Pasal 4 UU Pers ditegaskan bahwa pers berhak mencari, memperoleh, dan menyebarkan gagasan serta informasi ke ruang publik. Dalam menjalankan tugas untuk menyampaikan informasi, media tidak boleh dicekal atau dilarang menyiarkan. 

Hal ini diperkuat dengan aturan yang termuat dalam Pasal 6, pers berperan dalam memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan demokrasi, melakukan pengawasan, kritik, dan memperjuangkan kebenaran.

Namun, beberapa frasa di dalam imbauan, seperti “berlebihan”, “provokatif”, atau “bernuansa sejuk” dinilai dapat mengancam kebebasan pers dan tidak sesuai dengan ketentuan pers nasional. Hal ini disampaikan oleh Andreas Harsono, jurnalis sekaligus peneliti di Human Rights Watch.

Menurutnya, imbauan KPID Jakarta soal tidak boleh menayangkan kekerasan secara berlebihan kabur. Definisi berlebihan tersebut tidak jelas. “Katakanlah, kasus mitra Gojek yang dilindas kendaraan baracuda milik Brimob, tidakkah ia termasuk berlebihan? Dilindas kan berlebihan? Apakah ini tak boleh ditayangkan? Saya kira ia terlalu besar buat tak dimuat,” papar Andreas.

Andreas menyampaikan Istilah “provokatif” dan “sejuk” pun multitafsir. Menurut Andreas sebaiknya KPID Jakarta mengacu pada pedoman penyiaran buatan Komisi Penyiaran Indonesia serta Kode Etik Wartawan Indonesia hasil kesepakatan puluhan organisasi wartawan di Indonesia. 

Baca Juga: Di Tengah Aksi Buruh dan Mahasiswa, DPR Ramai-ramai WFH

“Biarlah tafsir terhadap istilah ‘provokatif’ atau ‘sejuk’ jadi ranah Dewan Pers. Bila ada orang mengadukan media tertentu, dia bisa lapor ke Dewan Pers,” jelas Andreas. 

Dengan demikian, imbauan KPID yang menekankan norma subjektif dapat menyalahi hak pers yang dijamin undang-undang karena potensial membatasi liputan kritis dan kontrol sosial. Liputan kritis bukan hanya hak media, tapi juga masyarakat untuk memperoleh informasi yang lengkap dan akurat. 

Media tetap memiliki ruang untuk melaporkan fakta di lapangan, selama mematuhi pedoman jurnalistik mengenai akurasi, keseimbangan, dan etika media. 

Andreas menerangkan, imbauan itu berpotensi membingungkan redaktur media karena berbagai frasa yang multi tafsir. Ia juga berpesan agar KPID mengikuti kesepakatan jurnalistik dan standar nasional kebebasan pers yang sudah ada.

“Lebih baik KPID mengacu pada kesepakatan jurnalistik dan standar internasional di bidang kebebasan pers dan arus informasi,” pungkas Andreas. 

Baca Juga: Kejarlah Demonstran Pelajar, Kutangkap Polisi

LBH Pers: Pelarangan Penyiaran Aksi Demonstrasi Adalah Pelanggaran Hak atas Informasi

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers turut menanggapi imbauan KPID. Berdasarkan rilis pers yang didapatkan Magdalene, LBH Pers menilai surat edaran tersebut tidak tepat dan berpotensi menghambat peranan Pers sebagai kontrol sosial dan penyampai informasi. 

Menurut mereka, Pertama, LBH Pers menilai pelarangan penayangan aksi unjuk rasa melanggar hak konstitusional warga atas informasi sebagaimana diatur dalam Pasal 28F UUD 1945. Media justru berperan penting dalam menyiarkan kekerasan yang dialami demonstran sebagai bentuk kontrol sosial dan pengawasan publik.

Kedua, larangan liputan demonstrasi dianggap bertentangan dengan prinsip jurnalistik yang menekankan keberpihakan pada kebenaran. Liputan aksi adalah informasi faktual, bukan hasutan, dan penting untuk menyingkap kesewenang-wenangan aparat agar akuntabilitas dapat ditegakkan.

Ketiga, KPID DKI tidak memiliki standar jelas untuk menilai tayangan “provokatif” atau “eksploitatif”. Hal ini membuka ruang tafsir sepihak yang bisa berujung pada penyensoran tidak sah dan berpotensi membungkam kritik masyarakat atau pemberitaan faktual yang tak sesuai narasi resmi.

Keempat, imbauan agar media menghadirkan nuansa “sejuk dan damai” berisiko memanipulasi fakta dengan menghapus kekerasan nyata dari pemberitaan. Pendekatan ini justru menyesatkan publik, mengikis peran pers sebagai pengawas kekuasaan, dan memperlebar ruang misinformasi.

Menindaklanjuti imbauan KPID DKI Jakarta tersebut, LBH Pers mendesak:

  1. KPID DKI Jakarta untuk mencabut surat edaran Nomor 309/KPID-DKI/VIII/2025 perihal imbauan siaran/liputan pemberitaan dalam aksi (demonstrasi) massa tertanggal 28 Agustus 2025;
  2. KPID DKI Jakarta untuk menjamin keberlangsungan kebebasan pers dengan menyatakan bahwa setiap media berhak melakukan penayangan siaran/liputan aksi demonstrasi dan hal-hal maupun isu yang berkembang di tengah masyarakat;
  3. Dewan Pers untuk turut serta mendorong KPID DKI Jakarta agar menjamin pemenuhan hak atas kebebasan pers.
  4. Mengimbau seluruh insan Pers menjalankan peran penyampai informasi dan kontrol sosial untuk menjamin kedaulatan rakyat, khususnya memenuhi hak warga atas informasi.
About Author

Muhammad Rifaldy Zelan and Safika Rahmawati