Opini Safe Space

KDRT Tak Pandang Bulu: Kenapa ‘Influencer’ Sembunyikan Derita demi Citra Bahagia

'Influencer' yang membuka KDRT tak cuma memberdayakan diri sendiri tapi juga memecah stigma dan mendukung korban lainnya.

Avatar
  • August 27, 2024
  • 6 min read
  • 614 Views
KDRT Tak Pandang Bulu: Kenapa ‘Influencer’ Sembunyikan Derita demi Citra Bahagia

Selebgram perempuan, C angkat bicara tentang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialaminya. Kabar ini relatif mengejutkan, mengingat citra yang ditampilkan di media sosialnya tampak sempurna dan sepintas baik-baik saja. Persona diri menarik dengan karier yang mapan dan citra “istri salihah” membuat publik tak menyangka, korban mengalami KDRT dan diselingkuhi oleh pasangan.

Ini menunjukkan bagaimana KDRT bisa terjadi pada siapa saja, tidak pandang bulu, termasuk influencer media sosial. Sebelumnya, kasus KDRT seringkali dianggap hanya terjadi pada keluarga dengan status sosial tertentu dan kalangan ekonomi menengah ke bawah.

 

 

Kasus-kasus KDRT, termasuk perselingkuhan, mengungkapkan, visibilitas publik tidak selalu menawarkan perlindungan dari kekerasan berbasis gender. Data dari Komnas Perempuan pada tahun 2023 mencatat lebih dari 339 ribu kasus kekerasan berbasis gender, dengan 99 persen di antaranya terjadi di ranah domestik. Ini menunjukkan KDRT adalah masalah serius yang meluas di seluruh lapisan masyarakat apapun kelas sosialnya.

Baca juga: Ketika Menghadapi Orang yang Mengalami KDRT: Ini yang Bisa Kamu Lakukan

Persona Publik vs Derita Pribadi

Di media sosial, para influencer sering kali tampil dengan citra kehidupan yang glamor dan penuh kesuksesan. Namun realitas di balik layar bisa sangat berbeda. Pengalaman pribadi yang menyakitkan, seperti KDRT, sering kali tersembunyi di balik citra publik mereka. Ini menciptakan kontras yang tajam antara kehidupan online dan realitas offline.

Dalam banyak kasus, para publik figur kerap menghadapi tantangan besar dalam mengelola persona publik sekaligus menghadapi kekerasan yang mereka alami dalam rumah tangga. Ini juga tampak dalam kasus viral influencer yang menyoroti kontras antara citra kekuatan dan popularitas yang mereka tampilkan dengan kenyataan pahit yang harus mereka hadapi dalam kehidupan pribadi mereka.

Tekanan sosial, profesional, serta ketakutan akan hilangnya dukungan pengikut dan sponsor membuat mereka menyembunyikan kenyataan pahit tersebut. Ironisnya, citra ideal yang diproyeksikan justru memperburuk situasi mereka, menambah beban psikologis, dan memengaruhi pengikut dengan standar kehidupan yang tidak realistis.

Namun, beberapa selebgram memilih berbicara terbuka tentang pengalaman mereka, yang tidak hanya memberdayakan diri sendiri tetapi juga membantu memecahkan stigma dan mendukung korban lain dalam situasi serupa.

Baca juga: Komnas Perempuan: Kasus KDRT Terhadap Istri Tetap Tertinggi Setiap Tahun

Ketimpangan Gender Tak Kenal Kelas Sosial

Perspektif feminis sangat relevan dalam memahami bagaimana KDRT tidak bisa dipisahkan dari dinamika kekuatan gender yang tidak seimbang. Kekerasan berbasis gender tidak hanya terjadi di “rumah-rumah biasa”, tetapi juga di kalangan mereka yang terlihat kuat dan berpengaruh di mata publik.

Teori feminisme menyoroti bahwa KDRT adalah hasil dari ketidaksetaraan gender yang mendalam dan struktur patriarki yang memperkuat posisi dominan laki-laki atas perempuan.

Di Indonesia, perempuan masih sering menjadi korban utama KDRT, meskipun ada juga kasus ketika perempuan menjadi pelaku. Namun, dalam banyak kasus, pelaku KDRT adalah suami, pasangan, atau anggota keluarga laki-laki lainnya, yang memiliki kekuasaan lebih besar dalam rumah tangga.

Ketimpangan ini sering kali diperkuat oleh norma-norma sosial yang mengakar misalnya norma agama, yang membuat korban merasa sulit untuk melawan atau mencari bantuan.

Meskipun tidak menghadapi kesulitan ekonomi, KDRT sering terjadi karena keinginan untuk mempertahankan kontrol dan dominasi dalam hubungan. Dalam kasus selebgram, kekerasan dapat digunakan oleh pasangan laki-laki sebagai cara untuk mengatasi perasaan inferioritas atau kehilangan kontrol, meskipun perempuan memiliki kekuatan finansial dan sosial yang besar.

Ini menunjukkan bahwa akar masalah KDRT sering kali terletak pada upaya mempertahankan dominasi emosional dan psikologis, bukan hanya kekuasaan fisik atau finansial.

Baca juga: Bibit-bibit Kekerasan dalam Olok-olok Status Janda

Peran Medsos

Media sosial telah menjadi platform yang sangat berpengaruh dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam mengungkap kasus-kasus KDRT. Di satu sisi, media sosial dapat menjadi alat yang kuat untuk mobilisasi dukungan dan meningkatkan kesadaran tentang kekerasan berbasis gender. Kasus-kasus yang dibagikan di media sosial sering kali mendapatkan perhatian luas dan memicu diskusi publik tentang pentingnya menangani KDRT secara serius.

Namun, di sisi lain, media sosial juga dapat memperburuk situasi dengan memperkuat budaya menyalahkan korban. Misalnya, dalam beberapa kasus, korban KDRT yang berbicara di media sosial justru menerima serangan balik dari pengguna lain, yang menuduh mereka memanfaatkan situasi untuk mencari simpati atau popularitas. Ini menunjukkan bahwa meskipun media sosial memiliki potensi besar untuk mendukung korban, platform ini juga bisa menjadi tempat yang tidak aman, terutama bagi mereka yang rentan terhadap serangan daring.

Penelitian menunjukkan bahwa pengguna media sosial sering kali bersikap ambivalen terhadap isu-isu yang baru atau kontroversial, yang dapat memperburuk polarisasi dan menambah beban psikologis bagi korban KDRT. Dalam konteks ini, penting untuk memahami bagaimana media sosial dapat berfungsi sebagai pedang bermata dua dalam upaya untuk mendukung korban kekerasan.

Baca juga: Nyaring dan Sunyi KDRT: Suramnya Budaya Kepemilikan dalam Keluarga

Tantangan Sistemis

Mengatasi KDRT memerlukan pendekatan yang lebih komprehensif, yang mencakup perlindungan hukum yang lebih kuat serta perubahan budaya yang mendasar.

Di Indonesia, Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga(KDRT) telah diberlakukan sejak tahun 2004, namun implementasinya masih menghadapi banyak tantangan.

Salah satu tantangan terbesar adalah kurangnya kesadaran dan pemahaman di masyarakat tentang hak-hak korban dan mekanisme hukum yang tersedia untuk melindungi mereka. Banyak korban yang masih merasa takut untuk melapor atau mencari bantuan karena khawatir dengan stigma sosial atau tuntutan dari pelaku.

Selain perlindungan hukum, perubahan budaya juga sangat diperlukan untuk mengatasi KDRT. Edukasi publik melalui kampanye di media sosial dan media massa dapat memainkan peran penting dalam meningkatkan kesadaran tentang KDRT dan mendorong masyarakat untuk mengambil sikap proaktif dalam melawan kekerasan ini.

Kampanye semacam ini tidak hanya harus fokus pada korban, tetapi juga harus melibatkan pelaku dan masyarakat luas untuk menciptakan lingkungan yang mendukung bagi mereka yang membutuhkan bantuan.

Baca juga: Jangan Takut Mencampuri, 4 Hal yang Bisa Kamu Lakukan untuk Bantu Korban KDRT

Tindakan Konkret Dukung Korban KDRT

Kekerasan dalam rumah tangga, terutama yang dialami oleh influencer media sosial, menunjukkan bahwa kekerasan berbasis gender adalah isu yang kompleks dan luas, yang memerlukan perhatian dan tindakan dari seluruh lapisan masyarakat.

Dalam menghadapi masalah ini, solidaritas, empati, dan perubahan sistemis sangat penting untuk menciptakan masyarakat yang lebih aman dan adil. Pemerintah juga memiliki tanggung jawab besar untuk memperkuat perlindungan hukum dan mengimplementasikan kampanye pendidikan yang efektif untuk mencegah KDRT.

Tindakan nyata dari berbagai pihak diperlukan, termasuk penegakan hukum yang tegas dan perubahan budaya, untuk mendukung korban KDRT. Media sosial harus melindungi pengguna dari kekerasan daring dengan mekanisme pelaporan yang efektif. Setiap individu juga berperan penting dalam mengatasi KDRT melalui empati dan penolakan terhadap kekerasan.

Dengan langkah-langkah komprehensif, kita bisa menciptakan masyarakat yang aman dan adil, yang tidak lagi harus hidup dalam ketakutan.

Sry Lestari Samosir, S.Pd., M.Sos, Dosen Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Medan.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Ilustrasi oleh Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Sry Lestari Samosir

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *