Saat mendengar berita tentang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), sebagian besar fokus kita adalah memberikan perlindungan pada korban. Tak lupa mendorong korban untuk meninggalkan pelaku.
Akan tetapi, pernahkah berpikir sebenarnya kita dapat melakukan upaya pencegahan agar enggak jadi korban KDRT?
Selain mempelajari ciri-ciri dari pelaku KDRT, pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara melakukan inner work atau memperbaiki diri dari dalam. Ketika kita sudah healed, maka kita tidak akan menarik orang yang memiliki tendensi untuk bersikap toksik.
Baca juga: Saya Korban KDRT, Bercerai, Jadi Penyintas Kanker, dan Berhasil Bertahan
Don’t Settle for Less
Sebelum ada kasus KDRT yang menimpa selebgram “C”, publik sempat dihebohkan dengan kasus dr. Q, dokter yang praktik di rumah sakit daerah Bogor. Diduga Q mengalami KDRT, sehingga memutuskan kabur dari rumah.
Kesamaan antara kasus C dan Q adalah korban sama-sama perempuan yang menurut saya punya jabatan sosial lumayan. Q adalah dokter sedangkan C merupakan ibu rumah tangga sekaligus mantan atlet anggar dengan masa depan cerah.
Lalu, mari bandingkan dengan pasangan mereka. Pasangan Q dan C memiliki kesamaan: Value mereka sebenarnya tidak sebanding dengan istri masing-masing. Jika mau, istri mereka sebenarnya bisa mendapatkan lelaki yang bisa jadi lebih mapan secara finansial atau status sosialnya lebih tinggi.
Jangan salah paham dulu. Saya tak sedang menghakimi para perempuan korban. Mereka tentu punya pertimbangan hingga akhirnya memutuskan menikah dengan pasangan masing-masing pada mulanya.
Namun lepas dari itu, apa sebenarnya hubungan status sosial, value, dan fenomena KDRT?
Sebagai perempuan, kita sering diminta untuk tidak neko-neko alias mematok standar terlalu tinggi dalam mencari pasangan. Alasan-alasan yang sering digunakan, seperti umur atau keterbatasan pilihan untuk perempuan dengan karier dan pendidikan tinggi. Akibatnya, banyak perempuan yang sebenarnya memiliki value tinggi, memilih pasangan yang secara kualitas ada di bawah mereka. Ungkapan yang biasa digunakan adalah “Yang penting bisa jadi imam yang baik”.
Yang jadi masalah, apakah ketidaksetaraan tersebut tidak berpengaruh terhadap kemampuan laki-laki menjalankan perannya dalam hubungan?
Menurut John Gray, dalam bukunya, Men are from Mars, Women are from Venus (1992), salah satu kebutuhan laki-laki dalam hubungan adalah untuk diapresiasi. Sayang, sebagian laki-laki memiliki ego yang rapuh. Mereka meletakkan rasa keberhagaan dirinya hanya pada hal-hal yang bersifat material, seperti kekayaan dan karier.
Akibatnya, saat pasangannya memiliki karier yang lebih maju, kondisi finansial mapan, atau status yang lebih disegani di masyarakat, maka laki-laki berego rapuh itu akan mencoba mengontrol pasangannya.
Pertama, ia akan melakukan kekerasan dalam bentuk kata-kata (verbal abuse), dengan harapan dapat merontokkan kepecayaan diri pasangan. Kedua, ia akan menggunakan physical abuse atau KDRT fisik, di mana perempuan tidak bisa melawan karena sudah kalah tenaga. Ketiga, kadang diselingi juga dengan perselingkuhan untuk menunjukkan dia masih memiliki daya tarik di mata lawan jenis, atau karena ia ingin mendapatkan validasi akan nilai dirinya.
Perlu kita ingat juga KDRT secara fisik jarang berdiri sendiri. Pasti akan disertai oleh bentuk kekerasan lain. Selain itu, seseorang yang sudah sering melakukan verbal abuse, sangat memiliki kemungkinan di masa depan akan melakukan physical abuse juga.
Baca juga: Risiko Mediasi dan Rekonsiliasi Antara Penyintas dan Pelaku KDRT
Belajar Meregulasi Emosi
Salah satu penyebab seseorang melakukan KDRT fisik adalah ketidakmampuan untuk memproses dan mengekspresikan emosi negatif yang dirasakan secara sehat.
Kemampuan regulasi emosi artinya cara memahami emosi yang diri sendiri rasakan, kemudian mengelolanya agar tidak merusak diri dan orang lain. Banyak kekerasan yang terjadi disebabkan karena ketidakmampuan untuk mengelola emosi ini. Ketika seseorang merasa ter-trigger atau merasakan perasaan tidak nyaman, alih-alih bertanya kepada diri sendiri mengapa merasakan hal itu, mereka justru menyerang orang yang menyebabkan emosi tersebut terpantik.
Saat seseorang sudah mampu meregulasi emosi, ia akan menyelesaikan permasalahan dengan menggunakan diskusi, kompromi, dan negosiasi. Alih-alih mengungkapkan emosi dengan cara destruktif dan tanpa tujuan, ia akan berusaha menyampaikan keinginannya dengan cara asertif dan empatik.
Akan tetapi, hal tersebut harus dimulai dari diri kita sendiri. Sulit membayangkan kita dapat satu frekuensi dengan seseorang yang sudah terampil meregulasi emosinya, jika kita sendiri belum mampu melakukannya.
Baca juga: ‘Safety Plan’ dari KDRT di Tengah Wabah Corona
Sembuhkan Inner Child
Salah satu upaya untuk mencegah kita berpasangan dengan pelaku KDRT adalah dengan mengobati inner child sendiri. Inner child adalah pengkondisikan yang kita terima dari kecil, yang kemudian memengaruhi bagaimana seseorang bersikap.
Mengapa mengobati inner child menjadi hal yang penting?
Pelaku KDRT umumnya berasal dari keluarga disfungsional. Mereka meniru cara menyelesaikan masalah dengan kekerasan dari bagaimana penyelesaian masalah di rumah tangga orang tua mereka dulu. Walaupun memahami apa yang dilakukan oleh orang tua mereka tidak benar, tapi karena conditoning atau programming yang diterima, mereka tidak tahu ada cara lain untuk menyelesaikan perselisihan.
Meillia Christia, psikolog klinis dari Universitas Indonesia, seperti dilansir Antara.com, mengatakan, anak yang berasal dari keluarga KDRT akan memiliki tendensi untuk menormalisasi kekerasan. Hal itu karena anak secara otomatis akan menjadikan hubungan orang tuanya sebagai standar dari hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Saat mengobati inner child atau toxic pattern sendiri, maka akan mudah bagi kita untuk mengenali pola-pola sikap toksik yang dialami oleh orang lain, termasuk calon pasangan. Saat sudah rajin melakukan inner work (memperbaiki diri dari dalam), kita akan mudah untuk mengidentifikasi apakah ia bergerak dari kondisi psikologis yang sehat atau tidak. Kita juga tidak akan tertarik pada seseorang yang diketahui memiliki luka batin yang belum sembuh, lalu dilampiaskan pada orang-orang sekitarnya.
Sekali lagi tanpa bermaksud menghakimi perempuan. Saya yakin ada lapis-lapis isu gender yang muncul dalam kasus C dan Q. Namun secara umum, saya harus sepakat: You attract who you are. Jadi kalau kita ingin memiliki jodoh yang secara emosi sudah stabil, tahu bagaimana berdiskusi dan berkompromi untuk menyelesaikan masalah serta sudah sembuh dari segala toxic pattern, kita pun harus menjadi orang yang seperti itu.
Pada akhirnya, perlu ditekankan upaya pencegahan KDRT tidak bisa menjadi dibebankan hanya pada perempuan. Masalah KDRT berkaitan dengan kultur dan mindset yang sudah diterapkan dari generasi ke generasi. Seluruh perspektif yang saya tawarkan dari artikel ini hanya merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan oleh perempuan, dalam aspek yang bisa mereka kelola. Tentu, ini tidak bisa menghapus semua usaha yang harus dilakukan secara kolektif untuk memberantas KDRT.
Rizkiya Ayu Maulida adalah Dosen Ilmu Komunikasi yang tertarik pada isu kesetaraan gender, keadilan sosial, dan dinamika relasi antarmanusia. Ia senang berbagi perspektif personal di Instagram @rizkiyamaulida.