Jika COVID-19 Terjadi 20 Tahun Lalu
Jika wabah virus corona terjadi 20 tahun yang lalu, saya akan terperangkap dalam hubungan keluarga yang toksik.
Sebuah meme beredar belakangan di kalangan warganet. Gambar sebuah gawai lawas dengan spesifikasi amat sederhana pada masanya. Tulisan di meme tersebut mengandaikan jika pandemi COVID-19 terjadi 20 tahun lalu, kita akan dibanjiri ratusan pesan, karena terbatasnya paket telepon dan internet.
Melihat meme itu, saya tidak habis bersyukur bahwa pandemi virus corona tidak terjadi 20 tahun lalu, saat saya masih tinggal bersama orang tua nan toksik.
Ayah saya adalah pelaku poligami. Fakta itu terkuak saat saya berusia 10 tahun, waktu menginjak kelas lima sekolah dasar, meski ibu saya telah menaruh curiga jauh sebelumnya. Semua penilaian ideal saya terhadap Ayah runtuh. Sosok yang tidak berhenti menyemangati saya menjadi yang terbaik di kelas, mengantarkan saya sekolah, menjemput les di akhir minggu, dan membelikan saya buku-buku. Tidak mudah bagi seorang anak harus menerima kenyataan pahit itu: Ayah yang saya kagumi justru menyakiti kami. Saya tidak ingat berapa malam yang Ibu habiskan menangisi dan meratapi nasibnya.
Ada malam-malam saat Ayah pulang larut, dan Ibu siap dengan semua amarah yang dia lontarkan begitu keras. Ayah menghadapinya dengan tenang, setenang perasaan tidak bersalahnya. Namun setelah bertengkar, saya kerap dibuat bingung dengan bagaimana mereka menghabiskan waktu liburan seolah-olah semuanya baik-baik saja.
Di waktu lainnya, pada suatu pagi, Ibu meraung-raung kesakitan. Saat itu saya sudah duduk di bangku SMP dan saya akhirnya tahu Ibu baru saja menenggak cairan pengusir serangga. Itu adalah upayanya mencegah Ayah pergi bekerja. Karena jika Ayah pergi bekerja, maka dia akan bertemu istri keduanya, menghabiskan waktu bersama, lalu kembali ke rumah seolah tidak terjadi apa-apa. Bahkan, ada kalanya tidak hanya hitungan hari, tapi berminggu-minggu, Ayah tidak pulang ke rumah.
Baca juga: Oh, Ibu dan Ayah, Putuskan Rantai Kekerasan terhadap Anak
Ibu saya selamat pada percobaan bunuh diri itu. Para kerabat keluarga menguatkan Ibu, seolah ada label “istri penyabar” yang disematkan. Berkali-kali Ibu mengajukan usul bercerai, namun hal itu tidak pernah sampai pada langkah nyata. Ibu saya bertahan di tengah sakitnya, fisik dan psikis.
Beranjak remaja, saya memberanikan diri bersuara dan menyampaikan kalau saya akan berjuang untuk ibu dan adik, yang penting kita bisa lepas dari situasi ini. Ibu saya menolak, menuduh saya tidak paham dan menganggap remeh persoalan.
Namun lepas dan pergi dari rumah adalah bunuh diri sebenarnya. Tidak akan ada yang peduli dan bisa menghidupi kami selain Ayah, meskipun dia pelaku poligami. Kehidupan ekonomi tercukupi, sekolah anak-anak aman terkendali, dan kebutuhan operasional rumah tangga terpenuhi. Ibu saya kerap mengingatkan hal itu pada kami anak-anaknya. Pesan itu bahkan terus dia ingatkan sampai dia berpulang akhir tahun 2018 lalu.
Enggan berpisah, tapi penuh kekerasan
Kekerasan adalah hal yang biasa terjadi di rumah sejak saya usia SD: Perkataan kasar, bentakan, kecurigaan, pukulan, hantaman, rasa sakit, serta trauma. Saya tidak bisa dan tidak mau membayangkan jika wabah COVID-19 terjadi pada masa itu. Saya tidak bisa lari sebentar ke rumah seorang kawan, karena anjuran berada di rumah menjadi keharusan. Saya tidak bisa mencari pertolongan profesional, karena bahkan untuk menelepon saja dibatasi dan dicurigai. Saya tidak bisa lari ke mana pun; saya akan diminta di rumah saja. Tapi justru situasi ini yang sedang dialami oleh banyak dari kita. Terperangkap melalui karantina bersama orang tua yang toksik.
Baca juga: Warisan Ayah: Memutus Rantai KDRT
Data Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) menyebutkan bahwa kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan kasus tertinggi kedua di sepanjang masa karantina akibat Covid-19. Korban tidak bisa pergi dan mencari pertolongan secara fisik karena situasi yang serba terbatas. Pada situasi normal saja, korban KDRT sulit melaporkan apalagi di tengah kondisi krisis saat ini. Anak-anak dan perempuan adalah kelompok paling rentan mengalaminya.
Tentu tidak cukup mengirimkan pesan “kita sama-sama berjuang”, atau “stay strong” dan sejenisnya. Hal itu tidak akan banyak membantu korban. Kepada mereka yang membaca ini dan sedang tinggal bersama orang tua yang toksik, saya berpesan: Ingat, catat, tulis, dan dokumentasikan semua kekerasan itu. Segera cari pertolongan. Kamu berhak mendapatkan keadilan dan hidup yang lebih baik, bahagia, jiwa dan raga. Perlahan kikis perasaan malu dan bersalah. Percayalah, ini bukan salahmu.
Saat kamu sudah beranjak dewasa dan perlahan lepas dari mereka, pulihkan semua trauma serta luka itu. Tidak ada formula instan penyembuh luka, kawan. Kita mesti rela melewati fase naik turun memulihkan trauma. Memilih teman yang tepat, perlahan membangun sistem pendukung yang kuat, mencari bantuan profesional, menuliskan setiap memori baik dan buruk, melaluinya dengan sabar dan sadar. Tapi ingat: Putus rantai kekerasan itu di kamu.
Saya, kamu, tidak sendirian. Percayalah, semua situasi ini hanya sementara. Semoga kita semua masih punya pilihan untuk berjuang bersama.
Ilustrasi oleh Karina Tungari