Jojo dan ‘Backlash’ Terhadap Feminis
Objektifikasi kepada Jojo tidak akan membuat laki-laki menjadi target kekerasan seksual sebagaimana yang telah laki-laki lakukan terhadap perempuan selama ratusan tahun lamanya.
Keberhasilan pemain badminton Jonatan “Jojo” Cristie dalam mendulang emas pada perhelatan Asian Games bulan ini memicu kebahagiaan masyarakat Indonesia. Warganet terutama bersorak-sorai ketika ia membuka kaos dan memamerkan tubuhnya yang dihiasi otot dan peluh, membuat perempuan dan laki-laki ikut terpesona.
Komentar-komentar seperti “rahim anget” atau “duh, becek nih, bang” bertebaran dari akun-akun di media sosial, yang disorot kebanyakan perempuan. Ekspresi-ekspresi seksual dari para warganet perempuan ini kemudian menjadi pembicaraan, bahwa perempuan ternyata juga melakukan pelecehan.
Apakah benar mengomentari laki-laki seksi termasuk pelecehan? Mengapa jika terjadi sebaliknya justru tidak diperbolehkan? Dan mengapa kelompok feminis disalahkan dan disebut berstandar ganda dalam objektifikasi seksual terhadap laki-laki? Tulisan ini bertujuan untuk mengupas bagaimana teori-teori feminis dari berbagai gelombang memosisikan objektifikasi seksual.
Dalam teori-teori feminisme, ada banyak perspektif dari yang menyatakan bahwa objektifikasi yang dilakukan oleh perempuan dan laki-laki adalah tidak sama. Beberapa argumen saya ambil dari teori feminisme, khususnya dari gelombang kedua, yang menyediakan argumentasi yang kuat dalam analisis patriarki.
Perspektif pertama yang paling sederhana adalah perspektif budaya pemerkosaan. Budaya pemerkosaan memosisikan perempuan selalu sebagai objek seksual yang agensinya tiba-tiba berubah ketika ia menjadi korban. Perempuan selalu dilihat sebagai tubuh dan wajahnya saja, tidak peduli apa pun profesinya, apakah seorang jurnalis, hakim, akuntan, atau dokter, sehingga selalu ada embel-embel kondisi fisik seperti “politikus cantik”, “dokter cantik”, sampai “mayat cantik”. Tetapi ketika perempuan menjadi korban pelecehan dan pemerkosaan, perempuan disalahkan karena dianggap memancing tindakan-tindakan tersebut.
Objektifikasi perempuan terjadi karena masyarakat kita mempunyai budaya pemerkosaan yang menyerang feminitas. Perempuan yang memiliki keperempuanan dianggap inferior dan wajar apabila dikuasai melalui pemerkosaan. Objektifikasi perempuan adalah bagian dari penguasaan kelelakian terhadap keperempuanan dan dalam bentuk-bentuk lebih lanjut menjadi pelecehan atau pemerkosaan.
Pemerkosaan terjadi karena kekuasaan yang timpang, ada relasi kuasa yang tidak seimbang antara perempuan dan laki-laki. Karena lelaki diposisikan lebih tinggi daripada perempuan, maka lelaki menganggap perempuan bisa diperkosa. Budaya ini tidak berlaku ketika perempuan melakukan objektifikasi seksual, karena perempuan tidak punya kuasa untuk memerkosa. Kalaupun ada kasus-kasus pelecehan dan perkosaan terhadap lelaki, yang harus dicek adalah relasi kuasa yang membuat pemerkosaan bisa terjadi.
Pengalaman dan ekspresi yang berbeda
Karena feminisme tidak bisa dilepaskan dari empirisisme, maka untuk pendekatan kedua adalah soal pengalaman perempuan. Laki-laki dan perempuan dibesarkan dengan cara yang berbeda dan sudah tentu pengalaman akan keduanya pun berbeda.
Carol Gilligan, seorang feminis dan psikolog asal Amerika Serikat, dalam bukunya Ethics of Care menjelaskan bahwa apa yang perempuan maksud dengan berperilaku adil berbeda dengan konsep laki-laki tentang keadilan. Singkatnya, Gilligan menyatakan bahwa apa yang disebut adil bagi perempuan adalah sebuah tindakan yang paling sedikit merugikan orang lain, dan ini sangat berbeda dengan konsep adil ala laki-laki.
Perbedaan dalam berekspresi juga terjadi antara perempuan dan laki-laki. Mengutip penulis/akademisi L. Ayu Saraswati dalam bukunya Putih, perempuan dan lelaki berbeda dalam mengekspresikan rasa malu khususnya di Indonesia, perempuan akan menarik diri apabila merasa malu sedangkan lelaki akan menimbulkan perilaku penolakan yang agresif. Objektifikasi seksual yang dilakukan oleh perempuan kepada Jojo, pemain bulu tangkis berprestasi yang melepas bajunya, atau kepada artis-artis Korea Selatan, berbeda dengan ketika rapper Indonesia Younglex menyebut artis Korea Lisa Blackpink sebagai bahan coli (masturbasi). Hanya ada kesenangan ketika berkata “rahim hangat” dan tidak ada tatapan penguasaan dan kebolehan dalam melampiaskan hasrat seksual sebagaimana yang terjadi pada laki-laki ketika bilang, “seksi sekali sih, mbak” ketika melakukan catcalling pada perempuan di jalan.
Perspektif selanjutnya adalah male gaze yang dikemukakan oleh kritikus film Laura Mulvey. Ia mengatakan bahwa banyak sekali objektifikasi seksual terjadi atas perempuan dalam film, karena sebagian besar penulis cerita, sutradara, hingga produser pembuat film adalah laki-laki. Karena seluruhnya dibuat oleh laki-laki, maka para lelaki tersebut juga mengasumsikan bahwa seluruh konsumen film sama seperti mereka: lelaki heteroseksual yang mempunyai hasrat kepada perempuan cantik.
Wajar banyak orang membenci feminisme karena feminisme mengganggu kenyamanan mereka dalam menindas perempuan.
Konsep male gaze atau tatapan laki-laki ini dikemukakan dalam esai Mulvey yang berjudul “Visual Pleasure and Narrative Cinema” (1975). Dalam male gaze, perempuan adalah objek yang sifatnya pasif dan laki-laki adalah subjek yang aktif. Male gaze sering disamakan dengan scopophilia, tatapan hasrat seksual, seperti misalnya yang dilakukan Younglex terhadap foto Lisa Blackpink. “Bahan coli” adalah bentuk scopophilia. Melalui gambar, representasi perempuan diposisikan sebagai pasif dan objek coli, sedangkan laki-laki adalah aktif, subjek yang melakukan coli. Hal ini tidak bisa terjadi sebaliknya karena objek yang pasif tidak dibenarkan untuk menunjukkan seksualitasnya. Untuk itu, perempuan yang terbuka akan seksualitasnya dianggap bukan perempuan baik-baik dan punya banyak label buruk terhadapnya.
Argumen yang terakhir didasarkan pada sejarah panjang kekerasan terhadap perempuan. Perempuan dibebani tugas reproduksi yang berujung pada naturalisasi terhadap kondisi biologis perempuan. Kepemilikan atas rahim, payudara, dan vagina membuat perempuan mendapatkan banyak kekerasan selama hidupnya, mulai dari dilarang berkarier, aturan pakaian, aturan jam malam, sampai upah yang rendah. Belum lagi kekerasan bersifat seksual seperti pelecehan dan pemerkosaan.
Butuh waktu panjang bagi perempuan di seluruh dunia, melalui feminisme, untuk menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah kriminalitas. Di Indonesia, baru pada 2004 ada perlindungan bagi perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga, setelah mungkin ratusan perempuan dibunuh oleh suaminya di rumahnya sendiri. Namun sampai hari ini, negara ini belum memiliki payung hukum yang melindungi korban kekerasan seksual.
Feminisme tidak berusaha membalik sejarah kekerasan terhadap perempuan menjadi kekerasan terhadap lelaki akibat dari sejarah panjang tersebut. Sebaliknya, feminisme berusaha membuat laki-laki untuk tidak memperkosa dan perempuan yang mengekspresikan seksualitasnya tidak berarti mau melakukan kekerasan terhadap lelaki.
Jadilah feminis!
Sebelum feminisme menjalar ke seluruh dunia, sulit bagi perempuan dilepaskan dari kewajiban reproduksi sosial. Kegiatan biologis ini dinaturalisasi oleh masyarakat menjadi tuntutan menjadi seorang ibu, pengasuh, dan penjaga moral. Feminisme hadir untuk membuat perempuan sadar akan keadaan tersebut dan bersama-sama mengubahnya.
Feminisme telah berjalan panjang untuk memahami bahwa yang mereka lakukan mengubah banyak hal, menggoyang status quo dan kenyamanan lelaki yang sebelumnya di posisi lebih tinggi dari perempuan. Wajar banyak orang membenci feminisme seperti kolonial membenci gerakan nasionalisme yang dilakukan oleh priayi baru. Mereka membenci feminisme karena feminisme mengganggu kenyamanan mereka dalam menindas perempuan.
Penolakan besar-besaran terhadap feminisme sudah diprediksi oleh feminis gelombang kedua, Susan Faludi, dalam bukunya Backlash: The Undeclared War Against American Women. Buku itu menceritakan bagaimana feminisme ditentang karena telah mengobrak-abrik struktur lama. Feminisme dianggap sudah berhasil dan slogan-slogan “thanks to feminism” seakan-akan memberikan indikasi bahwa perempuan sudah sepenuhnya setara dengan lelaki. Padahal masih banyak tugas feminisme dan kesetaraan itu masih butuh banyak perjuangan, khususnya di Indonesia, dengan tingginya tingkat pernikahan anak, bagaimana perempuan masih bisa dipenjara karena melakukan aborsi, dan sangat sedikit perempuan yang mampu meraih gelar doktor dibandingkan laki-laki.
Backlash atau reaksi buruk terhadap feminisme membuat prasangka bahwa seluruh perempuan sudah menyamai laki-laki dalam bentuk pengalaman dan capaian. Hal ini terjadi di media sosial yang memosisikan pengguna sebagai egaliter dan ekspresi seksualitas perempuan dianggap sama dengan pengalaman lelaki yang melecehkan perempuan. Selanjutnya bisa terlihat, perlawanan panjang para aktivis menyuarakan kekerasan perempuan yang mulai kencang akhir-akhir ini, dipukul mundur oleh gerakan backlash dengan memosisikan perempuan dan lelaki sebagai entitas yang sama persis, dan dianggap sudah setara.
Oleh karena itu, objektifikasi yang dilakukan perempuan yang memuji keseksian Jojo dan dan Younglex mengomentari Lisa sebagai bahan coli sungguh kasus yang sama sekali berbeda. Dan bukan berarti boleh menuduh para feminis melakukan standar ganda. Feminisme mengupayakan kesetaraan gender, bukan kesamaan gender. Dan tugas para feminis adalah membuat argumentasi yang logis dan empiris untuk menjelaskan apa yang terjadi. Objektifikasi kepada Jojo tidak akan membuat lelaki menjadi target kekerasan seksual seperti sebagaimana yang telah laki-laki lakukan terhadap perempuan selama ratusan tahun lamanya.
Simak mengenai siapakah yang bisa disebut sebagai feminis?