‘End Game’ Jokowi, Kontroversi Kebijakan, dan Warisan Politik Dinasti
Dulu kita mati-matian membela Jokowi. Kini, hidup kita yang dibuat mati-matian karena berbagai kebijakan kontroversialnya di akhir jabatan.
“A New Hope”.
Judul majalah TIME edisi 27 Oktober 2014 itu dicetak besar dengan potret wajah Joko Widodo “Jokowi” sebagai latar. Mengenakan batik berkelir cokelat, Jokowi yang saat itu baru saja mengalahkan Prabowo Subianto di Pemilihan Presiden (Pilpres), dianggap sebagai harapan baru untuk Indonesia.
Tak berlebihan jika banyak orang di Tanah Air menaruh harap padanya. Citra sebagai pemimpin merakyat, bekerja nyata, dan tak banyak fafifu memang relatif melekat. Sebelum jadi RI-1, kita masih ingat betapa populernya blusukan ala Jokowi, untuk menuntaskan masalah rakyat. Bahkan saat memimpin Jakarta pada 2012, foto blusukannya di gorong-gorong Jalan MH Thamrin itu pun terus dikenang.
Pria kelahiran 1961 tersebut mendadak jadi media darling. Sosok dan kiprahnya di bidang politik, difilmkan dalam sejumlah judul, seperti “Jokowi” (2013) dan “Jokowi adalah Kita” (2014). Kita terpikat pada janjinya menghilangkan korupsi, membangun infrastruktur untuk rakyat, dan memperjuangkan meritokrasi. Sayang, tak lama berselang, kita melihat perubahan besar pada Jokowi. Bahkan di bulan-bulan terakhir sebelum lengser Oktober 2024.
Seperti domino, kita melihat satu per satu pilar demokrasi ditumbangkan paksa. Pertama adalah memuluskan jalan putra mahkota, Gibran Rakabuming Raka jadi pendamping Prabowo di Pilpres 2024. Usianya yang belum genap 40 tahun tak jadi soal karena pamannya, Anwar Usman—yang belakangan dipecat jadi Ketua Mahkamah Konstitusi—meneken uji materi terkait batas usia capres-cawapres perkara nomor 90/PUU-XXI/2023. Kita tahu ending-nya, langkah Gibran ke Jakarta gol tahun ini.
Upaya menciptakan dinasti semakin paripurna seiring wacana anak bontotnya, Kaesang Pangarep, 29, menjadi bakal calon Wakil Gubernur Jakarta di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. Wacana pencalonan ini dilakukan dengan merevisi Pasal 4 ayat 1 huruf d PKPU Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati, dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota. Hanya dalam tiga hari, Kaesang memungkinkan untuk maju di Pilkada Jakarta. Sebab, usia minimal untuk jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur diubah jadi 30 tahun, terhitung saat pelatikan, dan batas usia 25 tahun untuk calon Bupati dan Wakil Bupati atau calon Wali Kota dan Wakil Wali.
Wacana pencalonan Kaesang akan semakin mengamini tajuk media-media asing yang menyebut Jokowi sedang membangun dinasti yang sangat orbais. Sebelumnya, kita tahu, sang menantu Bobby Nasution jadi Wali Kota Medan, dan diisukan, menantu lainnya, Erina Gudono bakal diplot jadi calon Bupati Sleman usai masuk radar Gerindra. Meskipun yang terakhir ini telah dibantah sendiri oleh Kaesang. Jangan lupakan juga kecurigaan nepotisme Jokowi seiring dengan duduknya dua keponakan sebagai petinggi di Pertamina. Mereka adalah Bagaskara Ikhlasulla Arief yang menjabat manager non-government relations dan Joko Priyambodo, menantu Anwar Usman sebagai Direktur Pemasaran dan Operasi Patra Logistik, anak usaha Pertamina Patra Niaga.
Tak cuma membangun dinasti dan melakukan praktik nepotisme, Jokowi juga membombardir kita dengan berbagai kebijakan nan memberatkan. Laporan Tempo mencatat, sekurang-kurangnya ada enam kebijakan kontroversial terbaru Jokowi. Pertama, menaikkan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang kata Jokowi, bakal dimulai tahun depan. Kedua, mengerek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen, yang berpotensi menaikkan harga barang dan jasa. Ketiga, menaikkan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras di delapan wilayah sejak Maret 2024. Keempat, mewajibkan pekerja membayar iuran Tabungan Penerimaan Rakyat (Tapera) sebesar 3 persen. Kelima, memperpanjang kontrak PT Freeport Indonesia hingga 2061. Keenam, organisasi masyarakat (ormas) keagamaan boleh kelola tambang.
Baca juga: Target Penurunan Kemiskinan Jokowi Tak Tercapai
Tak Ada Anomali Lame Duck, Jokowi Saja yang Tak Paham
Sejarah mencatat pola serupa saat pemimpin negara atau parlemen menunggu hari-hari terakhir kekuasaannya. Mereka menyebutnya dengan lame duck session atau masa bebek lumpuh. Congressional Research Service dalam artikel “Lame Duck Sessions of Congress, 1935 – 2018 (74th-115th Congresses)” pada 2022 menyebutkan, istilah ini merujuk pada bebek yang terluka dan lumpuh akibat luka tembak. Penggunaan istilah ini sendiri meluas ke pemimpin di masa akhir jabatan, yang menunggu pemimpin baru dilantik di tanggal yang telah diketahui.
Di Amerika Serikat (AS), lame duck session ini dipersingkat jadi 75 hari saja. Sebab, di masa-masa ini, banyak kebijakan buruk tanpa kalkulasi politik, yang justru lahir bak kejar setoran. Artikel jurnalis AS Dave Roose di History bertajuk “7 Major Events That Happened During Lame Duck Sessions” merinci beberapa contoh kebijakan buruk yang diambil di masa ini. Pada 1801, Presiden AS John Adams menunjuk lusinan hakim untuk menduduki kursi yang dibentuk Kongres Federalis. Tujuannya demi membatasi kekuasaan Presiden Thomas Jefferson dan sekutunya di Kongres.
Pada 1861, Presiden James Buchanan tak melakukan apa pun untuk menghentikan pemisahan negara-negara bagian Selatan, karena menganggapnya sebagai masalah Abraham Lincoln, presiden berikutnya. Ada juga Presiden Benjamin Harrison dan Presiden Herbert Hoover yang tak mau mengubah arah kebijakan ekonomi, hanya demi mempersulit presiden berikutnya.
Di lame duck session, pemimpin negara rentan mengeluarkan berbagai kebijakan strategis yang seringnya, kontroversial. Dalam teori End Game, langkah ini diambil semata-mata demi meninggalkan warisan tanpa khawatir takkan terpilih lagi di Pemilu mendatang. Pasalnya, mereka sendiri toh tak bisa lagi berlaga di Pemilu. David R. Mayhew dalam buku “Congress: The Electoral Connection” (1974) menjelaskan, politisi di akhir masa jabatan kerap bermanuver agar bisa terpilih kembali. Namun, kala isu elektoral tak jadi soal, mereka cenderung bebas mengambil keputusan.
Di Indonesia, lame duck session juga pernah menyandera Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam artikel “Sitting Duck” (2012) yang terbit di The Economist dikatakan, kepercayaan publik pada SBY di masa transisi, longsor seiring banyaknya kader yang terjerat korupsi dan para menterinya yang beralih fokus ke urusan Pemilu ke depan. Di lame duck session, SBY beruntungnya tak banyak mengeluarkan kebijakan yang relatif menyulitkan rakyat. Berbeda dengan Jokowi. Mulanya, kekuasaan Jokowi diprediksi akan mengalami erosi karena ia bukan petinggi partai di PDIP.
Nyatanya prediksi itu tak terbukti, sehingga sejumlah kalangan menyebut fenomena ini sebagai anomali. Di masa akhir jabatan, Jokowi justru menggulirkan pelbagai kebijakan dengan percaya diri. Itu didorong oleh penerimaan publik pada Jokowi yang masih tinggi. Survei Analitika (2024), dilansir Antara menunjukkan, 81,7 persen publik puas dengan kinerja Jokowi, bahkan 9,3 persen sangat puas. Cuma 14,5 persen yang merasa tak puas, termasuk 2,3 persen yang merasa tidak puas sama sekali, sisanya 3,8 persen tak tahu/ tak menjawab.
Pernyataan umum budayawan kondang macam Goenawan Mohamad yang mengaku kecewa berat pada Jokowi, fakta di film “Dirty Vote” (2024), politisasi bantuan sosial, nepotisme yang tak malu-malu, hingga berbagai pelanggaran peraturan, tak membuat Jokowi keder. Bahkan besarnya power Jokowi terbukti dengan keberhasilan Prabowo-Gibran jadi pemimpin RI di Pilpres 2024.
Baca juga: Jokowisme, Trumpisme, dan Dinasti Politik: Nafsu Kekuasaan yang Kikis Demokrasi
Pakar komunikasi politik dari Universitas Paramadina Abdul Rahman Makmun atau Aman menjelaskan, besarnya kuasa Jokowi di lame duck session sebenarnya bukan anomali. Menurutnya, Jokowi bukanlah politisi atau negarawan yang punya standar etis. Sehingga, kebijakan yang ia buat dihitung berdasarkan kalkulasi strategis saja.
“Berbeda seperti kita yang terpapar etika, punya standar moral, Jokowi sendiri adalah seorang pebisnis. Jadi dalam kamusnya tak ada sesuatu yang nista selama menurutnya itu strategis. Jokowi juga tak terpapar dan tak memahami etika,” ujarnya pada Magdalene, (10/6).
Ini terbukti dengan berbagai kebijakan Jokowi yang jika diperhatikan memang berorientasi pada keuntungan bisnis, alih-alih rakyat. Misalnya, menghapus ketergantungan masyarakat terhadap subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), yang membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Liputan BBC menjelaskan, kebijakan yang bikin rakyat menjerit—karena biasanya kenaikan BBM, diikuti kenaikan bahan pangan pokok—membuka ruang fiskal lebih lebar.
Dengan demikian, akan ada dana untuk membangun infrastruktur dan membuka keran investasi seluas-luasnya buat pada pemodal. Jangan lupakan karpet merah pembangunan infrastuktur dan investasi bernama Omnibus Law UU Cipta Kerja. Enggak heran, di masa Jokowi, berderet proyek-proyek ambisius, mulai dari proyek Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung senilai Rp18,36 triliun, pusat wisata, puluhan proyek bendungan baru, jalan tol, LRT fase 2, MRT, bandara, dan lainnya. Pembangunan-pembangunan ini menghasilkan ekses penderitaan rakyat dan kerusakan lingkungan yang tak main-main, seperti terjadi di Wadas, IKN, Mandalika, hingga Rempang.
Kebijakan yang cuma berorientasi pada keuntungan inilah yang belakangan juga mengantarkan Indonesia sebagai negara dengan kualitas demokrasi dan indeks korupsi yang buruk. Dilansir dari Kompas, V-Dem Democracy Index 2024 melaporkan, ranking Indonesia terjun bebas dari 79 ke 87. Skornya turun dari 0,43 menjadi 0,36 mendekati 0. Lebih rendah dari Papua Nugini dan Timor Leste.
Indikatornya terlihat dari sejumlah kasus, termasuk didudukkannya kerabat Jokowi dalam pemerintahan dan posisi strategis perusahaan. Belum lagi pembungkaman kritik rakyat lewat berbagai mekanisme di UU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) hingga UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Dirangkulnya para oposisi sebagai watch dog kekuasaan hingga penangkapan aktivis.
Sedangkan indeks persepsi korupsi menurut Transparancy International yang dilansir oleh BBC, pada 2022 menunjukkan pencapaian terburuk dalam satu dekade terakhir. Ini tak lepas dari pengangkatan Firli Bahuri yang punya rapor merah sebagai pucuk pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga revisi UU KPK.
Pakar komunikasi politik Aman menjelaskan, dengan latar sebagai pebisnis inilah, Jokowi menjual dan memengaruhi orang. Tak peduli demokrasi atau masa depan negara jadi taruhan sekali pun. Sementara, kita dengan senang hati memberi cek kosong. Padahal kita tahu, citra Jokowi yang populis, merakyat, wong cilik, anak kandung Reformasi ini sebenarnya hanya strategi agar kita kepincut.
Tak lama, sosok aslinya sebagai seorang politisi pragmatis dan oportunis, yang melihat peluang untuk mempertahankan status quo-nya bisa muncul kapan saja. Ia sebenarnya bisa saja lengser dengan bermartabat dan menegakkan kepala, tapi justru menunjukkan jati diri sebenarnya sebagai sebenar-benarnya oligark.
Baca juga: Putusan MK Soal Batas Umur Capres-Cawapres dan Potensi Dinasti Politik Jokowi
Adakah Hal Terakhir yang Bisa Kita Lakukan?
Situasi yang terjadi saat ini mengingatkan Aman pada kondisi akhir Orde Baru. “Di era 1990-an, rakyat mungkin pesimis kekuasaan begitu adidaya yang dibentuk Soeharto bakal bisa digoyang pada 1997-1998. “Kekuasaan yang begitu lama, membuat kita kehilangan harapan. Rasa-rasanya mustahil apa pun kritik kita akan berdampak,” tandasnya.
Namun, peristiwa Reformasi menjadi bukti bahwa optimisme itu perlu terus kita nyalakan apinya. Karena itulah, ia menekankan pentingnya menjaga sikap tetap kritis, waras, terliterasi, dan tak terburu-buru.
“Terlebih menurut saya, politik akan selalu berjalan dinamis. Kita tak tahu apa yang menunggu kita di masa depan. Dengan Prabowo sebagai pemimpin baru, banyak hal bisa terjadi, bisa membaik atau malah lebih buruk. Namun, dengan latar Prabowo sebagai seorang militer yang sangat berbeda dengan Jokowi, kita melihat ada peluang juga meski kecil dan tak ideal,” ungkapnya.
Ia menambahkan, saat ini situasi politik di Indonesia sangat mungkin berubah. Sebagai contoh, resistansi di kalangan pendukung oligarki Jokowi pun tetap bermunculan. Misalnya dalam kasus IKN, kita melihat berbagai fenomena resistansi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang menolak dipindah ke IKN, opini Parlemen yang menginginkan IKN hanya jadi ibu kota eksekutif saja, hingga mundurnya dua petinggi Otorita IKN.
Artinya, imbuh Aman, sampai ada perubahan terjadi, yang bisa kita lakukan adalah tetap menjadi rakyat yang kritis dan optimis. Kita bisa terus bersuara dan mengedukasi diri sendiri. Kita bisa terlibat untuk terus menjadi pemantau kekuasaan yang berpotensi korup.
Mengutip Made Supriatma dalam artikelnya Langkah Politik Jokowi: Dari Populis ke Oportunis? (2023), hanya satu yang tak bisa dikontrol Jokowi, keluarga, dan kroni-kroninya: Rakyat. Adalah kita.