Politics & Society

Juli dan Doa Seorang Penyintas Kekerasan Seksual

Seorang korban kekerasan seksual cenderung menutup mulut karena takut dianggap menjadi aib keluarga dan takut dianggap sebagai manusia yang tidak berguna.

Avatar
  • July 10, 2018
  • 4 min read
  • 710 Views
Juli dan Doa Seorang Penyintas Kekerasan Seksual

Seorang siswi sekolah dasar melangkah tergopoh-gopoh ke salah satu ruangan yang berada di ujung koridor. Ruangan tersebut temaram dan hanya  ada beberapa guru yang sedang bercakap-cakap di sana sembari menikmati sarapan mereka. Suara-suara mesin mobil terdengar bersahut-sahutan, pertanda beberapa mobil pengantar anak-anak sekolah tersebut telah kembali, karena peraturan sekolah yang tidak membolehkan mereka masuk dan berlama-lama di sekolah. Anak-anak harus mandiri bersama guru, ujar pihak sekolah.
 
Jantung “Juli” berdegup kencang, Ia masih tidak percaya dengan apa yang dilakukannya sampai sejauh ini. Biasanya berlindung di bawah meja sudah cukup baginya. Diam tanpa suara, yang penting hari tersebut segera berlalu baginya. Kali ini, ia lari ke ruang guru untuk mengungkapkan apa yang ada di dalam pikirannya, berharap ia bisa menjadi orang yang cukup berani untuk dapat berucap secara jelas. Juli hanyalah murid kelas 4 SD, bahkan ia tidak tahu apa yang dialaminya salah ataupun benar.
 
Namun ketika sudah berdiri di depan ruang guru, ia hanya bisa berdiri dan terdiam. Mulutnya ingin bercerita namun kakinya beku bak ditimpa semen basah yang kemudian mengering. Juli menangis, bukan hanya karena perlakuan yang ia dapatkan di dalam kelas. Namun juga karena ia tidak dapat bersuara ketika sebenarnya ia masih dapat bersuara.
 
Juli sempat berpikir bahwa perlakuan yang ia alami dari salah seorang kawan laki-lakinya adalah salah akibat dari bentuk tubuhnya sendiri. Juli takut dengan komentar dari lingkungannya atas apa yang terjadi padanya, atas apa yang telah tumbuh pada badannya sendiri. Ia takut dimarahi dan diberikan stempel “anak nakal” karena perbuatan kawan sekelasnya itu. Ia tak pernah menyangka, bentuk tubuhnya yang kata kawan-kawannya tak lazim itu telah membawa pelecehan seksual. Anak sekecil Juli harus berpikir keras untuk menemukan jawaban “apa salahnya tumbuh payudara?” pada tubuhnya itu. Toh dia tidak pernah berbuat apa-apa.
 
Kini, setelah ia berumur 23 tahun, barulah ia tahu bahwa apa yang dialaminya bukanlah setitik pun kesalahannya. Ia menjadi korban tindak kekerasan seksual dari kawannya yang memiliki relasi kuasa. Anak laki-laki itu adalah seorang “jagoan” di kelas tersebut. Ini yang menyebabkan tidak ada satu pun siswa lain yang berani melawannya. Termasuk kawan-kawan di dalam lingkarannya.
 
Kini Juli mencoba berdiri di atas sebelah kakinya, mencoba agar tetap seimbang meski ia tahu kaki sebelahnya tidak pernah ia latih untuk berlari. Ia tumbuh berdasarkan logika, dan mencoba mematikan hatinya karena ia terlalu takut untuk ditikam kembali.
 
Kisah tersebut adalah pengalaman nyata seorang penyintas kekerasan seksual ketika ia masih kecil. Tidak banyak yang terlalu peduli dengan permasalahan ini, padahal kekerasan seksual dapat terjadi di mana saja, kapan saja, dan kepada siapa saja, dari anak-anak sampai dewasa. Apa yang dihadapi Juli bisa saja terjadi pada kita, anak kita kelak, keponakan kita, adik kita, atau orang-orang terdekat kita.
 
Seorang korban kekerasan seksual cenderung menutup mulutnya rapat-rapat karena takut dianggap menjadi aib keluarga dan takut dianggap sebagai manusia yang tidak berguna. Ini terjadi pada anak-anak dan juga orang dewasa. Ketika kekerasan seksual datang, ia khas. Ia bicara mengenai pengalaman ketubuhan seseorang. Bahkan jiwa dan raganya  bisa menjadi mati karena itu. Kekerasan seksual adalah kejahatan kemanusiaan, kejahatan kriminal karena ada niatan untuk merusak diri orang lain. Menurut saya, ini tidak dapat dianggap sepele dan dilihat semata-mata sebagai persoalan moralitas saja.
 
Banyak Juli yang lain di dunia ini. Mereka diam dalam kesunyian, tidak jarang mereka berdiri hanya di sebelah kakinya sedangkan kaki yang lainnya lumpuh. Terseok-seok menjalani tuntutan hidup, berada di ambang hidup dan mati. Karena hidup terlalu berat dan mati belum tentu menjadi jawaban dari semua pertanyaan. Apakah mati benar-benar dapat menghabiskan semua ingatan, keperihan, dan juga keputusasaan?
 
Juli adalah saya. Juli adalah kamu yang teriris saat membaca kisahnya. Juli adalah kita. Saya rasa saya dapat mengaminkan doa bahwa kelak akan ada keadilan yang nyata untuk penyintas-penyintas seperti Juli. 
 
Jadilah cahaya dan jangan memberikan beban tambahan pada Juli. Juli, dan penyintas lainnya berhak untuk bahagia. Ia berhak untuk berlari meski hanya ditopang sebelah kaki.
 
Bunga adalah seorang penyintas yang akan selalu mengabdikan dirinya untuk isu-isu perempuan dan kemanusiaan, saat ini Ia bekerja di isu body positivity bersama komunitasnya di @perutpuan.

Ilustrasi oleh: Karina Tungari

 

 



#waveforequality


Avatar
About Author

Bunga

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *