December 14, 2025
Events Issues Technology

Jurnalisme di Persimpangan AI: Ancaman Ekonomi hingga Etika Redaksi 

AI memang merugikan jurnalistik dari berbagai aspek. Karena itu, media perlu untuk menyesuaikan diri, tanpa masuk ke dalam godaan.

  • November 24, 2025
  • 4 min read
  • 1168 Views
Jurnalisme di Persimpangan AI: Ancaman Ekonomi hingga Etika Redaksi 

Peneliti Monash University Indonesia, Ika Idris, menjabarkan serangkaian kerugian yang media tanggung sejak kemunculan Akal Imitasi (AI) belakangan. Berbicara dalam Pesta Literasi 5.0 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, (22/11), hadir pula Editor Magdalene, Aulia Adam, serta Pemimpin Redaksi IDN Times, Uni Lubis. Mereka berbagi pengalaman soal cara masing-masing media bertahan menghadapi disrupsi AI. 

Ika membuka gelar wicara “Eksplorasi Jurnalisme di Era AI dan Ekonomi Kreator” dengan paparan riset yang menunjukkan traffic media sudah anjlok sejak publik mulai menggunakan ChatGPT. Namun penurunan semakin terasa ketika Google merilis fitur Overview di mesin pencarinya. 

Baca juga: Realita, Cinta, dan Dunia ‘Roleplay’ 

AI juga Menurunkan Pendapatan Media 

Fitur Akal Imitasi (AI) yang merangkum informasi dari berbagai sumber membuat pengguna tak perlu lagi membuka situs media. Mereka cukup membaca ringkasan yang muncul di bagian teratas pencarian Google. Perilaku ini menggerus jumlah pengunjung situs sekaligus pendapatan iklan. 

Padahal, seperti dijelaskan Ika, AI sendiri masih sarat bias. Ia menemukannya ketika diminta Google melatih data AI terkait reproduksi perempuan. Untuk konsultasi, “Saya sedang menstruasi, lalu suami mengajak untuk berhubungan seksual, saya perempuan di Aceh,” ChatGPT dan Google akan meminta pengguna berdiskusi dengan suami. 

“Itu rentan lead into kekerasan rumah tangga. Tapi setelah kita lihat wah ini banyak banget biasnya. Jadi itu yang barangkali orang-orang enggak sadar, karena kita sudah berubah perilakunya hanya mengandalkan generative AI. Padahal lupa banyak bias-bias di sana,” katanya. 

Selain menurun­kan traffic, perusahaan AI juga merugikan media lewat praktik penggalian data. Robot-robot perayap dikirim ke situs media untuk mengambil data berkualitas—yang tidak mereka dapat dari media sosial. Aktivitas ini justru meningkatkan traffic teknis yang berdampak pada beban server

Masalahnya, biaya berlangganan server bergantung pada jumlah traffic. Semakin tinggi traffic, semakin mahal pula biaya yang harus ditanggung. “Ada media yang bilang, ‘Mbak kita tuh sampai Rp120 juta untuk ini’, jadi dia sudah turun traffic, enggak dapat dari Google, tapi ketika nge-crawl dan berpengaruh ke cost media, itu yang akan sangat merugikan.” 

Baca juga: #GenerasiCemaZ: Dituntut Terus Produktif, Hilang Ruang Buku, Pesta, dan Cinta 

Tak Harus Anti 

Meski membawa kerugian, perkembangan AI tidak dapat begitu saja ditolak. Menurut Aulia Adam, media perlu memahami bias-bias dalam AI agar bisa menentukan porsi pemanfaatan yang tepat. Magdalene sendiri belum mengandalkan AI secara masif. Teknologi ini baru digunakan untuk pekerjaan teknis seperti transkripsi subtitle

Ide untuk artikel maupun konten media sosial masih dibahas melalui rapat proyeksi, seperti praktik tradisional redaksi pada umumnya. Kurasi pun diperketat. “Itu bisa dilihat sebagai keuntungan, karena karya jurnalistik yang dihasilkan mungkin akan lebih bisa dipertanggung-jawabkan, karena proses manusianya lebih besar di situ,” terangnya. 

Di sisi lain, Uni Lubis menilai berbagai disrupsi—mulai dari digitalisasi, pandemi, hingga AI—seharusnya dilihat sebagai ruang belajar. Termasuk belajar menahan godaan. Saat ini IDN Times sedang mengembangkan fitur untuk me-repackage artikel menjadi konten carousel menggunakan AI. 

“Kalau dari segi proses kerja bagaimana mendapatkan ide masih sama kayak zaman dulu kala, zaman saya kerja di media cetak, ada rapat redaksi, beneran rapat redaksi. Cuma teknologi tuh membantu, tapi so far tidak membuat tergoda untuk melakukan pelanggaran,” ungkap Uni. 

Baca juga: Jejak Karbon Makin Banyak, Yakin Masih Mau Pakai Spotify? 

IDN Times sempat tergoda menulis artikel dengan ChatGPT. Pendiri sekaligus CEO, Winson Utomo, pernah mencoba menghasilkan 100 artikel per hari menggunakan teknologi itu. “Dari awal saya sudah tolak, cuma jalan sebulan, habis itu Winson tahu kalau ternyata enggak oke. Waktu itu untuk artikel SEO, tapi yang ngerjain bukan redaksi, itu tim SEO.” 

Pada akhirnya, AI bisa menjadi alat bantu—bukan pengganti manusia. Seperti yang Ika tegaskan, batas etika penggunaan AI adalah tidak bergantung dari hulu hingga hilir. Karena itu, media perlu kembali pada praktik konvensional seperti rapat redaksi untuk memperketat kurasi informasi. 

Ilustrasi oleh Karina Tungari

About Author

Andrei Wilmar

Andrei Wilmar bermimpi buat jadi wartawan desk metropolitan.